Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Praktik Kartel Menurut Maqāṣid Asy-Syarī’ah (Studi Analisis Pasal 50 huruf b UU No. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat) azzarqa, azzarqa; Kapindo, Rifki Putra
Az-Zarqa': Jurnal Hukum Bisnis Islam Vol. 6 No. 2 (2014): Az-Zarqa'
Publisher : Sharia and Law Faculty of Sunan Kalijaga Islamic State University Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/azzarqa.v6i2.1321

Abstract

Perjanjian kartel merupakan salah satu perjanjian yang dilarang dilakukan demi terselenggaranya persaingan usaha yang baik dan terjauh dari praktik monopoli. Terselenggaranya persaingan usaha yang sehat menjadi fokus pemerintah setelah terjadinya krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997-1998 yang menyebabkan turunya nilai rupiah serta membangkrutkan hampir semua pelaku usaha. Hal ini disebabkan karena adanya pemusatan kekuasaan ekonomi pada perorangan atau kelompok tertentu. Keadaan ini mendesak Indonesia kemudian meminta bantuan kepada IMF sebesar US$ 43 miliar dengan syarat Indonesia melaksanakan reformasi ekonomi dan hukum ekonomi tertentu, salah satunya adalah membuat peraturan mengenai persaingan usaha. Akhirnya pada 5 Maret 1999 diundangkanlah UU N0. 5 Tahun 1999 tentang Larangan Praktek Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat. Dalam Undang-undang tersebut terdapat ketentuan pengecualian salah satunya adalah Pasal 50 huruf b, yaitu perjanjian apapun termasuk perjanjian kartel yang berkaitan dengan perlindungan HaKI dan mengenai waralaba. maqāṣid asy-syarῑ’ah dengan konsep kemaslahatannya mencoba untuk menganalisis mengapa terdapat pengecualian dalam Pasal 50 huruf b dan mengategorikan dalam kemaslahatan apa pengecualian tersebut. Dari hasil analisis tersebut, akhirnya terjawab bahwa konsep kemaslahatan maqāṣid asy-syarῑ’ah juga sejalan dengan pengecualian yang terdapat dalam Pasal 50 huruf b. Ḥifẓ al-‘aql merupakan kemaslahatan pertama yang diraih dengan adanya perlindungan HaKI serta perlindungan hak lisensi yang timbul dari perjanjian-perjanjian yang berkaitan dengan waralaba. Pemeliharaan akal ini dinilai sebagai stimulan untuk menghasilkan karya yang lebih kreatif dan inovatif, serta mendapatkan manfaat dari hasil karyanya. Pemaknaan pemeliharaan akal kini tidak lagi sebatas mencoba unutk memelihara akal agar berfungsi sebagaimana mestinya yaitu untuk berpikir, namun juga perlu dipahami sebagai upaya untuk melakukan perlindungan atas hasil karya yang dihasilkan oleh akal itu sendiri. Kemaslahatan ini dikategorikan sebagai sarana untuk mengantarkan kepada suatu kemaslahatan lain yang memiliki oerientasi nasional, yaitu ḥifẓ al-mảl atau pemeliharaan harta. Dalam upaya kontemporerisasi konsep maqāṣid asy-syarῑ’ah pemeliharaan harta tidak hanya sebatas pemeliharaan harta setiap individu, namun juga pemeliharaan dalam menjaga stabilitas ekonomi nasional dengan upaya pencegahan perbuatan-perbuatan curang para pelaku usaha seperti praktek monopoli dan lain sebagainya.
Urgensi Nasionalisasi Lembaga Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah azzarqa, azzarqa; Kapindo, Rifki Putra
Az-Zarqa': Jurnal Hukum Bisnis Islam Vol. 7 No. 1 (2015): Az-Zarqa'
Publisher : Sharia and Law Faculty of Sunan Kalijaga Islamic State University Yogyakarta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/azzarqa.v7i1.1495

Abstract

Setiap perusahaan yang menjalankan bisnisnya memerlukan suntikan dana segar yang bertujuan untuk mengembangkan bisnis tersebut. Dalam kerangka perekonomian Indonesia, Pemerintah telah menyediakan suatu lembaga keuangan yaitu Perbankan, baik Bank Umum maupun Bank Umum Syariah. Konsekuensinya, sebagai peminjam dana bank juga sering dirugikan oleh debitur-debiturnya yang tidak bisa melunasi utang-utangnya. Atas dasar tersebut, maka perbankan bertindak selaku kreditor terhadap berbagai perusahaan peminjam dana kemanakah mengajukan permohonan pailit terhadap perusahaan yang menjalankan bisnis dengan prinsip syariah. Sampai saat ini segala perkara kepailitan diselesaikan di Pengadilan Niaga yang berada dalam lingkungan peradilan umum. Hal ini didasari oleh ketentuan Pasal 1 angka 7 dan Pasal 300 yang menekankan pengadilan yang dimaksud dalam Undang-undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah Pengadilan Niaga dalam lingkungan Pengadilan Umum. Namun seiring banyaknya pertumbuhan perusahaan biasa maupun perusahaan yang berperan sebagi lembaga keuangan baik bank maupun non-bank, pemerintah seharusnya merespon dengan menyediakan pengadillan khusus untuk menyelesaikan perkara perniagaan yang dilakukan oleh perusahaan-perusahaan syariah. Dengan demikian perlu kiranya Pengadilan Niaga yang berada dalam lingkungan Pengadilan Agama dibuat demi memenuhi kepastian hukum, kebermanfaatan serta unsur keadilan bagi badan hukum perusahaan yang menjalankan bisnisnya dengan prinsip-prinsip syariah.