Claim Missing Document
Check
Articles

Found 8 Documents
Search

POLA PEMUKIMAN TRADISIONAL ENDE DALAM KONTEKS TRADISI MEGALITIK Retno Handini
Forum Arkeologi VOLUME 24, NOMOR 1, APRIL 2011
Publisher : Balai Arkeologi Bali

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3694.931 KB) | DOI: 10.24832/fa.v24i1.506

Abstract

POLA PEMUKIMAN KAMPUNG ADAT ANAKALANG: KEBERLANJUTAN BUDAYA MEGALITIK DI SUMBA TENGAH Retno Handini
KALPATARU Vol. 28 No. 2 (2019)
Publisher : Pusat Penelitian Arkeologi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/kpt.v28i2.580

Abstract

AbstractThis research aims to determine how the settlement pattern of Anakalang community in Central Sumba which are supporters of the megalithic tradition. This research also aims to determine the extent of sustainability of megalithic culture in the Anakalang region. The research methods carried out were participation observation, in-depth interviews and literature studies. Through the participatory observation method, the author is easier to know and understand the interconnectedness of the cultural elements of the Sumba community, especially concerning the place of residence. In-depth interview techniques were carried out on the informants. The results of the study show that the pattern of occupancy of traditional villages in Anakalang is almost entirely linear with houses facing each other, in the middle part of the village is a field (talora) where there are stone graves and traditional rituals are performed. Although many old traditional villages were abandoned and they established villages in new places, the strong kinship made the Anakalang community always return to their villages if there were traditional ritual events. As a settlement that has the characteristics of a megalithic tradition, traditional houses in Anakalang are almost certainly always associated with stone graves and menhirs. The establishment of stone tombs and traditional rituals are united in the daily lives of the Anakalang community, with a background of religious conceptions that are seen as ancestral heritage that must be held firmly. The variety of megalithic cultures in Anakalang has through the time period in a theoretical way, and continues to this day as a tradition. Keywords: Residential pattern, megalithic, Anakalang, Sumba Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola pemukiman masyarakat Anakalang di Sumba Tengah  yang merupakan pendukung tradisi megalitik. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keberlanjutan budaya megalitik di wilayah Anakalang.   Metode penelitian yang dilakukan adalah observasi partisipasi, wawancara mendalam dan studi pustaka. Melalui metode observasi partisipasi,  penulis lebih mudah untuk mengetahui dan memahami keterkaitan unsur-unsur budaya masyarakat Sumba terutama menyangkut tempat tinggal. Teknik wawancara mendalam dilakukan terhadap para informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pemukiman kampung adat di Anakalang hampir seluruhnya  berbentuk linier dengan rumah yang saling berhadapan, di bagian tengah kampung merupakan lapangan (talora) tempat kubur-kubur batu dan tempat melakukan ritual adat. Meski banyak kampung adat lama ditinggalkan dan mendirikan kampung di tempat baru   namun kuatnya kekerabatan membuat masyarakat Anakalang  selalu kembali ke kampung asal jika ada acara ritual adat. Sebagai pemukiman yang memiliki ciri tradisi megalitik, rumah adat di Anakalang hampir pasti selalu berasosiasi dengan kubur-kubur batu dan menhir.  Pendirian kubur batu dan ritual adat menyatu dalam keseharian masyarakat Anakalang, dengan latar belakang konsepsi religi yang dipandang sebagai warisan nenek moyang yang harus dipegang teguh. Ragam budaya megalitik di Anakalang telah menembus batas periode waktu secara teoritis, dan berlangsung hingga kini sebagai sebuah tradisi. Kata kunci : Pola hunian, megalitik, Anakalang, Sumba 
SARKOFAGUS DAN RITUAL SEDEKA ORONG DI SITUS AI RENUNG, SUMBAWA Retno Handini
Naditira Widya Vol 11 No 2 (2017): Naditira Widya Volome 11 Nomor 2 Oktober 2017
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (786.724 KB) | DOI: 10.24832/nw.v11i2.230

Abstract

Situs Ai Renung merupakan situs kompleks megalitik di Desa Batu Tering, Kec. Moyo Hulu, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat yang terbagi menjadi 5 situs yakni Ai Renung 1, 2 3, 4 dan 5 dengan temuan utama berupa sarkofagus. Penelitian bertujuan untuk mengetahui bentuk dan ornamen sarkofagus di Situs Ai Renung  serta ritual yang dilakukan masyarakat Batu Tering yang memanfaatkan keberadaan sarkofagus tersebut. Metode yang dilakukan adalah observasi atau pengamatan langsung serta wawancara mendalam dengan informan.Hasil penelitian menunjukkan bahwa Situs Ai Renung merupakan wilayah yang dianggap sakral, terutama di Situs Ai Renung 2 yang merupakan lokasi ritual sedeka orong.Sarkofagus Ai Renung memiliki kekhasan dari segi bentuk dan teknologi pahatan, berupa manusia kangkang dan buaya yang dipahatkan hampir di seluruh permukaan batuan.
“Memasyarakatkan” Living Megalithic: Pesona Masa Lalu Yang Tetap Bergema Retno Handini
KALPATARU Vol. 21 No. 1 (2012)
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

“Socializing” Living Megalithic: The Charm of the Past that Still Exists. The living megalithic sites and cultures in Indonesia such as Nias, Toraja, Sumba, Sabu, Ngada, and Ende are exotic attractions both from scientific perspective and from the point of view of public attractions as cultural items. The scientific side requires academic explanation about their cultural processes since their initial emergence ± 2,500 years ago up to now. Meanwhile, “socializing” living megalithic culture is due to its charm as the “window to the past,” which is rarely the case with other types of archaeological remains. To see and enjoy living megalithic culture are spectacular from the point of view of cultural tourism, especially the process of building a megalithic structure using simple traditional techniques without modern technology. Such experience will enhance the value of cultural tourism. Therefore living megalithic traditions need to be socialized to the general public. Situs dan budaya megalitik berlanjut (living megalithic) yang ada di Indonesia seperti Nias, Toraja, Sumba, Sabu, Ngada, dan Ende memiliki daya tarik eksotis, baik bagi ilmu pengetahuan maupun untuk dinikmati khalayak ramai sebagai sebuah tampilan budaya. Segi-segi ilmiah tetap menuntut penjelasan akademis tentang proses budaya sejak diperkirakan muncul sebelum Tarikh Masehi hingga mampu bertahan sampai saat ini, sementara “memasyarakatkan” budaya megalitik yang masih hidup merupakan sebuah pesona tersendiri, karena merupakan “window to the past”, yang jarang terjadi pada tinggalan arkeologis. Melihat dan menikmati budaya megalitik yang masih berlanjut adalah sebuah atraksi wisata budaya yang sangat luar biasa, apalagi ketika menyentuh tata cara pendirian bangunan megalitik dengan teknik-teknik sederhananya, saat teknologi modern tidak digunakan. Situasi seperti ini akan memberi nilai wisata budaya yang tinggi, dengan daya tarik tersendiri, sehingga living megalithic perlu dimasyarakatkan.
NEKARA, MOKO, DAN JATI DIRI ALOR Truman Simanjuntak; Retno Handini; Dwi Yani Yuniawati-Umar
KALPATARU Vol. 21 No. 2 (2012)
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Moko is a unique type of objects that plays an important role in the socio-cultural life of Alor people. Interestingly, although mokos were not produced in Alor, they are being kept from generation to generation, not only as heirloom but also as a symbol of social status, dowry, currency, musical instrument, or instrument in rituals (in the events of death, house-building, harvest, marriage, etc.). In fact, moko used to have far more complex function in the past. Aside from being a substitute of the soul of people who was killed or died in accident, mokos were also functioned as religious-magic objects that can provide prosperity, success in families, destroy harvest if a traditional custom was violated, as well as a tool to traditionally-solved social problems. In short, mokos have played an important role in various aspects of life among the Alor people since hundreds or even thousands of years ago. The object, which was a substitute for kettledrum, is the identity of the Alor people. Therefore research, preservation, and actualization of its intrinsic and extrinsic values are very important to strengthen local identity in the attempt to develop national identity based on diversity. Moko merupakan benda unik yang memegang peran penting dalam kehidupan sosial-budaya masyarakat Alor. Menariknya, walaupun benda ini tidak diproduksi di Alor, tetapi tetap dipertahankan secara turun-temurun, tidak sebatas benda pusaka tetapi juga sebagai lambang atau status sosial, mas kawin (belis), alat tukar, alat musik, alat-alat upacara dalam kematian, pendirian rumah, pesta panen, perkawinan, dll. Bahkan konon dahulu, moko memiliki fungsi yang jauh lebih kompleks. Selain sebagai pengganti nyawa manusia yang dibunuh atau karena kecelakaan, moko berfungsi sebagai benda religius-magis yang dapat memberi kemakmuran, keberhasilan bagi keluarga, merusak panen bagi yang melanggar ketentuan adat, termasuk sebagai alat untuk menyelesaikan masalah sosial secara adat. Singkatnya moko telah menempati peran yang sangat penting dalam berbagai kisi kehidupan masyarakat Alor sejak ratusan, bahkan ribuan tahun yang lalu. Benda yang merupakan substitusi nekara ini menjadi jati diri Masyarakat Alor. Oleh sebab itu penggalian, pelestarian, dan aktualisasi nilai-nilai intrinsik dan ekstrinsiknya menjadi sangat penting bagi penguatan jati diri lokal dalam pengembangan jati diri kebangsaan yang berlandaskan kebhinnekaan.
BALUNG BUTO DALAM PERSEPSI MASYARAKAT SANGIRAN: ANTARA MITOS DAN FAKTA Retno Handini
KALPATARU Vol. 24 No. 1 (2015)
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This article is a study on ‘balung buto’ (which means giant’s bone), a myth or belief shared by the communities that live in areas where prehistoric fossils are found in Java. The study is focused at the World Heritage Site of Sangiran to understand the way of thinking and perception of the inhabitants around the site in viewing the existence of fossils, which are found in abundance on their agricultural fields or house yards. The method used here is insightful interview with the people who live at Sangiran. The study reveals that although believed by less and less people and no longer inherited to the young generation, there are some people who still believe the myth. To them the myth of ‘balung buto’ still influences their pattern of thoughts and behaviour so that directly or indirectly it has impacts on fossil-collecting behaviour and site preservation. Tulisan ini merupakan kajian tentang “balung buto”, sebuah mitos atau kepercayaan masyarakat yang menghuni wilayah penemuan fosil-fosil purba di Jawa. Penelitian ini difokuskan di Situs Sangiran sebagai Situs Warisan Dunia untuk memahami pola pikir dan persepsi masyarakat penghuni situs dalam memandang keberadaan fosil yang banyak ditemukan di sekitar lahan tegalan atau pekarangan mereka. Metode yang digunakan adalah wawancara mendalam pada masyarakat yang tinggal di Sangiran. Hasil penelitian menunjukkan walaupun saat ini sudah semakin ditinggalkan dan tidak lagi diturunkan pada generasi muda, namun mitos “balung buto” masih mempengaruhi pola pikir dan perilaku kalangan tertentu yang mempercayainya. Hal tersebut secara langsung ataupun tidak berdampak pada pencarian fosil dan pelestarian situs.
POLA PEMUKIMAN KAMPUNG ADAT ANAKALANG: KEBERLANJUTAN BUDAYA MEGALITIK DI SUMBA TENGAH Retno Handini
KALPATARU Vol. 28 No. 2 (2019)
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This research aims to determine how the settlement pattern of Anakalang community in Central Sumba which are supporters of the megalithic tradition. This research also aims to determine the extent of sustainability of megalithic culture in the Anakalang region. The research methods carried out were participation observation, in-depth interviews and literature studies. Through the participatory observation method, the author is easier to know and understand the interconnectedness of the cultural elements of the Sumba community, especially concerning the place of residence. In-depth interview techniques were carried out on the informants. The results of the study show that the pattern of occupancy of traditional villages in Anakalang is almost entirely linear with houses facing each other, in the middle part of the village is a field (talora) where there are stone graves and traditional rituals are performed. Although many old traditional villages were abandoned and they established villages in new places, the strong kinship made the Anakalang community always return to their villages if there were traditional ritual events. As a settlement that has the characteristics of a megalithic tradition, traditional houses in Anakalang are almost certainly always associated with stone graves and menhirs. The establishment of stone tombs and traditional rituals are united in the daily lives of the Anakalang community, with a background of religious conceptions that are seen as ancestral heritage that must be held firmly. The variety of megalithic cultures in Anakalang has through the time period in a theoretical way, and continues to this day as a tradition. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pola pemukiman masyarakat Anakalang di Sumba Tengah yang merupakan pendukung tradisi megalitik. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui sejauh mana keberlanjutan budaya megalitik di wilayah Anakalang. Metode penelitian yang dilakukan adalah observasi partisipasi, wawancara mendalam dan studi pustaka. Melalui metode observasi partisipasi, penulis lebih mudah untuk mengetahui dan memahami keterkaitan unsur-unsur budaya masyarakat Sumba terutama menyangkut tempat tinggal. Teknik wawancara mendalam dilakukan terhadap para informan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pola pemukiman kampung adat di Anakalang hampir seluruhnya berbentuk linier dengan rumah yang saling berhadapan, di bagian tengah kampung merupakan lapangan (talora) tempat kubur-kubur batu dan tempat melakukan ritual adat. Meski banyak kampung adat lama ditinggalkan dan mendirikan kampung di tempat baru namun kuatnya kekerabatan membuat masyarakat Anakalang selalu kembali ke kampung asal jika ada acara ritual adat. Sebagai pemukiman yang memiliki ciri tradisi megalitik, rumah adat di Anakalang hampir pasti selalu berasosiasi dengan kubur-kubur batu dan menhir. Pendirian kubur batu dan ritual adat menyatu dalam keseharian masyarakat Anakalang, dengan latar belakang konsepsi religi yang dipandang sebagai warisan nenek moyang yang harus dipegang teguh. Ragam budaya megalitik di Anakalang telah menembus batas periode waktu secara teoritis, dan berlangsung hingga kini sebagai sebuah tradisi.
SITUS LAMBANAPU: DIASPORA AUSTRONESIA DI SUMBA TIMUR Retno Handini; Truman Simanjuntak; Harry Octavianus Sofian; Bagyo Prasetyo; Myrtati Dyah Artaria; Unggul Prasetyo Wibowo; I Made Geria
AMERTA Vol. 36 No. 2 (2018)
Publisher : Badan Riset dan Inovasi Nasional

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Abstract. Lambanapu Site: Diaspora Austronesia In East Sumba. The research at Lambanapu Site aims to determine the position of Lambanapu in the distribution and development of Austronesian ancestors and their culture in Sumba. The method used is survey, excavation, analysis, and interpretation. The results of the research are skeletal findings and urn burial also artifacts which are pottery, beads, metal jewelry, and stone tools. From the dating result it is known that Lambanapu Site was inhabited at least 2.000 years ago and from paleantropology analysis, it is estimated that the individuals found from primary and secondary burial in Lambanapu are a mixture of Mongoloid and Australomelanesoid. Genetic mixing is very possible, given the history of the archipelago's occupation which was filled by several waves of great migration in the past. The Lambanapu site has provided an overview of Sumba's ancestral life in the context of the archipelago. The Lamabanapu research results show us, how Lambanapu and Sumba in general rich with historical and cultural values of the past that are very useful for today's life. The wealth of historical and cultural values is not only for local interests, but also to fill the rich history and culture of the archipelago, and even contribute to global history. Keywords: Lambanapu, prehistoric, Austronesian Abstrak. Penelitian di Situs Lambanapu bertujuan untuk mengetahui posisi Lambanapu dalam persebaran dan perkembangan leluhur Austronesia dan budayanya di Sumba. Metode yang dilakukan adalah survei, ekskavasi, analisis, dan interpretasi. Hasil penelitian berupa temuan rangka dan kubur tempayan serta artefak berupa gerabah, manik-manik, perhiasan logam, dan alat batu. Dari hasil pertanggalan diketahui bahwa setidaknya Situs Lambanapu telah dihuni 2.000 tahun yang lalu. Hasil analisis paleoantropologi diperkirakan individu yang ditemukan di Lambanapu, baik kubur primer maupun sekunder, merupakan percampuran antara Mongoloid dan Australomelanesoid. Percampuran genetika memang sangat memungkinkan terjadi mengingat sejarah hunian Nusantara yang terisi oleh beberapa gelombang migrasi besar pada masa lampau. Situs Lambanapu telah memberikan gambaran kehidupan leluhur Sumba dalam konteks Nusantara. Hasil penelitian memperlihatkan betapa Lambanapu dan Sumba pada umumnya memiliki kekayaan nilai sejarah dan budaya masa lampau yang sangat bermanfaat bagi kehidupan masa kini. Kekayaan nilai sejarah dan budayanya tidak hanya untuk kepentingan lokal, tetapi juga untuk mengisi kekayaan sejarah dan budaya Nusantara, bahkan kontribusi bagi sejarah global. Kata Kunci: Lambanapu, prasejarah, Austronesia