Sholehudin Zuhri
Pasca Sarjana Konsentrasi Tata Kelola Pemilu Universitas Padjajaran Jl. Dago Utara No. 25 Bandung

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Peran Ahli Hukum dalam Persidangan Mahkamah Konstitusi Sholehudin Zuhri
Jurnal Konstitusi Vol 16, No 4 (2019)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (81.583 KB) | DOI: 10.31078/jk1644

Abstract

Mahkamah Konstitusi kerap membuka persidangan dengan agenda mendengar keterangan ahli hukum sebagai bagian dari pembuktian. Hal ini menjadi sebuah kelaziman yang dipraktekkan tanpa adanya kritisi. Keberadaan ahli hukum dalam sebuah forum yang dipimpin oleh majelis hakim yang dianggap memenuhi persyaratan akan penguasaan isu konstitusi dan ketatanegaraan, secara tersirat, berarti mempertanyakan kualifikasi dari hakim konstitusi itu sendiri. Tulisan ini bermaksud mencari tahu mengapa praktek mendengar keterangan ahli hukum dalam persidangan Mahkamah Konstitusi dilakukan. Selain itu, tulisan ini juga bermaksud untuk memberi masukan dalam hukum acara agar peran ahli hukum yang didengar keterangannya tidak memasuki ranah wewenang majelis hakim dalam menafsirkan konstitusi. Dalam rangka mencapai tujuan penulisan, pembahasan dalam tulisan ini dibagi dalam empat bagian yaitu (i) mengidentifikasi kriteria siapa yang disebut sebagai ahli; (ii) melihat kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti dan bagaimana majelis hakim menilai alat bukti tersebut; (iii) menelisik pengaruh keterangan ahli dalam pengambilan putusan oleh majelis hakim konstitusi dalam praktek selama ini, dan (iv) mengukur apakah keterangan ahli hukum masih dibutuhkan dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi.      The Constitutional Court has often heard the opinion of legal experts as part of the examination of evidence. This is a common practice that was taken for granted. The very notion of having legal experts opinion in a forum led by judges who considered tohave  meet the qualification to be an experts in constitutional law is implicitly, means questioning the experties of the constitutional judges itselves. This paper intends to find out why the practice of hearing the legal experts opinion in the trial of the Constitutional Court still occurs. In addition, this paper also intends to provide input in the procedural law so that the role of legal experts does not enter the domain of the judges in interpreting the constitution. In order to achieve the objectives, the discussion in this paper is divided into four parts, (i) identifying the criteria of who is qualified as an expert; (ii) assess  the position of expert's opinion as evidence and how the panel of judges evaluate the evidence; (iii) examine the influence of expert opinion in decision making, and (iv) measure whether legal experts opinion is still necessary in the trial of the Constitutional Court.
Resultan Politik dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam Politik Hukum Pemilu Sholehudin Zuhri
Jurnal Konstitusi Vol 15, No 2 (2018)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (538.708 KB) | DOI: 10.31078/jk1525

Abstract

Dalam perkembangan politik hukum kontemporer, keputusan politik dalam pembentukan regulasi sering dihadapkan pada dua persoalan sekaligus yang saling berhadapan. Konfigurasi politik dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, partai politik di parlemen tidak hanya merepresentasikan kepentingan politiknya, tetapi juga dihadapkan pada keharusan mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 sebagai koreksi keputusan politik yang otoriter. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode kualitatif, studi ini menitikberatkan pada pemahaman komprehensif yang meliputi interaksi politik dan hukum dalam terciptanya konfigurasi politik hukum pemilu. Hasil studi ini dapat menjelaskan kepatuhan partai politik terhadap hukum dalam menciptakan konfigurasi politik di parlemen, namun di sisi lainnya lemahnya partai politik dalam membangun koalisi dalam mewujudkan sistem pemilu demokratis justru menjadikan keputusan politik yang dipilih menjadi otoriter dalam pelaksana teknisnya. Kehadiran hukum dalam perkembangan konfigurasi politik kontemporer, dapat menjadi paradigma baru dalam terciptanya konfigurasi politik demokratis yang pada akhirnya terbentuknya hukum pemilu yang demokratis.In the development of contemporary political laws, political decisions in regulatory formation are often confronted with two issues at once facing each other. The political configuration in the Law No. 7 year 2017, political parties in parliament not only represent political interests but also face the necessity to accommodate the decision of the Constitutional Court Number 14/ PUU-XI/2013 as a correction of authoritarian political decisions. This research is normative juridical research with qualitative method. The results of this study can explain the compliance of political parties to the law in creating the political configuration in parliament. Yet on the other hand, the weakness of political parties in building coalitions in realizing the democratic election system makes the selected political decision become authoritarian in its technical execution. The presence of law in the development of contemporary political configuration can be a new paradigm in creating democratic political configuration which ultimately the formation of democratic law of elections.
Peran Ahli Hukum dalam Persidangan Mahkamah Konstitusi Sholehudin Zuhri
Jurnal Konstitusi Vol 16, No 4 (2019)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (464.113 KB) | DOI: 10.31078/jk1644

Abstract

Mahkamah Konstitusi kerap membuka persidangan dengan agenda mendengar keterangan ahli hukum sebagai bagian dari pembuktian. Hal ini menjadi sebuah kelaziman yang dipraktekkan tanpa adanya kritisi. Keberadaan ahli hukum dalam sebuah forum yang dipimpin oleh majelis hakim yang dianggap memenuhi persyaratan akan penguasaan isu konstitusi dan ketatanegaraan, secara tersirat, berarti mempertanyakan kualifikasi dari hakim konstitusi itu sendiri. Tulisan ini bermaksud mencari tahu mengapa praktek mendengar keterangan ahli hukum dalam persidangan Mahkamah Konstitusi dilakukan. Selain itu, tulisan ini juga bermaksud untuk memberi masukan dalam hukum acara agar peran ahli hukum yang didengar keterangannya tidak memasuki ranah wewenang majelis hakim dalam menafsirkan konstitusi. Dalam rangka mencapai tujuan penulisan, pembahasan dalam tulisan ini dibagi dalam empat bagian yaitu (i) mengidentifikasi kriteria siapa yang disebut sebagai ahli; (ii) melihat kedudukan keterangan ahli sebagai alat bukti dan bagaimana majelis hakim menilai alat bukti tersebut; (iii) menelisik pengaruh keterangan ahli dalam pengambilan putusan oleh majelis hakim konstitusi dalam praktek selama ini, dan (iv) mengukur apakah keterangan ahli hukum masih dibutuhkan dalam proses persidangan di Mahkamah Konstitusi.      The Constitutional Court has often heard the opinion of legal experts as part of the examination of evidence. This is a common practice that was taken for granted. The very notion of having legal experts opinion in a forum led by judges who considered tohave  meet the qualification to be an experts in constitutional law is implicitly, means questioning the experties of the constitutional judges itselves. This paper intends to find out why the practice of hearing the legal experts opinion in the trial of the Constitutional Court still occurs. In addition, this paper also intends to provide input in the procedural law so that the role of legal experts does not enter the domain of the judges in interpreting the constitution. In order to achieve the objectives, the discussion in this paper is divided into four parts, (i) identifying the criteria of who is qualified as an expert; (ii) assess  the position of expert's opinion as evidence and how the panel of judges evaluate the evidence; (iii) examine the influence of expert opinion in decision making, and (iv) measure whether legal experts opinion is still necessary in the trial of the Constitutional Court.
Resultan Politik dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 dalam Politik Hukum Pemilu Sholehudin Zuhri
Jurnal Konstitusi Vol 15, No 2 (2018)
Publisher : The Constitutional Court of the Republic of Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (538.708 KB) | DOI: 10.31078/jk1525

Abstract

Dalam perkembangan politik hukum kontemporer, keputusan politik dalam pembentukan regulasi sering dihadapkan pada dua persoalan sekaligus yang saling berhadapan. Konfigurasi politik dalam pembentukan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017, partai politik di parlemen tidak hanya merepresentasikan kepentingan politiknya, tetapi juga dihadapkan pada keharusan mengakomodir putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 14/PUU-XI/2013 sebagai koreksi keputusan politik yang otoriter. Penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif dengan metode kualitatif, studi ini menitikberatkan pada pemahaman komprehensif yang meliputi interaksi politik dan hukum dalam terciptanya konfigurasi politik hukum pemilu. Hasil studi ini dapat menjelaskan kepatuhan partai politik terhadap hukum dalam menciptakan konfigurasi politik di parlemen, namun di sisi lainnya lemahnya partai politik dalam membangun koalisi dalam mewujudkan sistem pemilu demokratis justru menjadikan keputusan politik yang dipilih menjadi otoriter dalam pelaksana teknisnya. Kehadiran hukum dalam perkembangan konfigurasi politik kontemporer, dapat menjadi paradigma baru dalam terciptanya konfigurasi politik demokratis yang pada akhirnya terbentuknya hukum pemilu yang demokratis.In the development of contemporary political laws, political decisions in regulatory formation are often confronted with two issues at once facing each other. The political configuration in the Law No. 7 year 2017, political parties in parliament not only represent political interests but also face the necessity to accommodate the decision of the Constitutional Court Number 14/ PUU-XI/2013 as a correction of authoritarian political decisions. This research is normative juridical research with qualitative method. The results of this study can explain the compliance of political parties to the law in creating the political configuration in parliament. Yet on the other hand, the weakness of political parties in building coalitions in realizing the democratic election system makes the selected political decision become authoritarian in its technical execution. The presence of law in the development of contemporary political configuration can be a new paradigm in creating democratic political configuration which ultimately the formation of democratic law of elections.