This Author published in this journals
All Journal Padma
Dra. Sri Sulistiani
Unknown Affiliation

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Pengamen Jalanan: Tinjauan Faktor yang Mendorong Seseorang Memilih Profesi sebagai Pengamen Jalanan Drs. Sukarman, ; Dra. Sri Sulistiani,
Padma Vol 5, No 2 (2012)
Publisher : Padma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

PENGAMEN JALANAN : TINJAUAN FAKTOR YANG MENDORONG  SESEORANG MEMILIH PROFESI SEBAGAI PENGAMEN JALANAN Oleh : Drs. Sukarman, M.Si Dra. Sri Sulistiani, M.Pd.   Abstrak Penelitian  tentang  profesi pengamen jalanan di Kotamadya Surabaya terutama untuk membuat profil  penyanyi jalanan sampai saat ini sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan, yaitu   berkaitan dengan  analisis pekerja anak dan permasalahan pendidikan dasar di Jawa Timur yang didalamnya menyoal pula tentang pengamen anak-anak oleh Bogang Suyanto (1995-1999). Pada tahun 2008, peneliti telah melakukan penelitian pendahuluan pada penelitian fundamental dengan judul ”Pengamen merupakan Profesi Baru sebagai Refleksi Memudarnya Nilai Budaya dalam Masyarakat Jawa: Studi Kasus di Kota Surabaya” yang menitikberatkan pada kajian pergeseran nilai budaya khususnya pada penyanyi jalanan di angkutan umum dan terminal. Pada tahun 2009 penelitian fundamental lanjutan lebih menitikberatkan pada pengamen dari rumah ke rumah. Pada penelitian  yang akan dilakukan ini menitikberatkan pada pendokumentasian pengamen (penyanyi jalanan) di kota Surabaya. Komunitas  pengamen  adalah sebuah fenomena. Organisasi ini didirikan untuk melawan aksi pemerasan yang sering dilakukan para preman terhadap pengamen. Komunitas pengamen selalu mendapatkan citra negatif, karena pengamen itu  dipandang sebagai orang-orang yang menyanyi di setiap perempatan lampu merah, di bus kota, dari rumah ke rumah dengan membawa gitar  dengan senar berjumlah tiga atau alat musik sederhana lainnya. Sudah bukan pemandangan aneh, saat kita naik bus kota atau berada di sebuah rumah makan, tiba-tiba nyelonong seseorang atau beberapa anak muda yang membawa peralatan musik seadanya, bernyanyi dengan suara keras, terkadang juga sering sumbang. Mereka langsung pergi atau tidak menyelesaikan lagu yang sedang dinyanyikannya, ketika ia diberi upah atau uang sekedarnya. Mereka biasa disebut dengan pengamen, atau lebih mereka lebih suka disebut dengan ” penyanyi jalanan”. Sementara itu, musik yang mereka mainkan sering mereka sebut sebagai, ”musik jalanan”. Sebenarnya pengertian ”musik jalanan” dan ”penyanyi jalanan”, tidaklah sesederhana terminologi yang mereka sebutkan seperti di atas. Musik jalanan dan penyanyi jalanan mempunyai disiplin dan pengertian yang spesifik, bahkan merupakan suatu bentuk dari sebuah warna musik yang berkembang di dunia kesenian.
PENGAMEN JALANAN : TINJAUAN FAKTOR YANG MENDORONG SESEORANG MEMILIH PROFESI SEBAGAI PENGAMEN JALANAN Drs. Sukarman, ; Dra. Sri Sulistiani,
Padma Vol 6, No 2 (2012)
Publisher : Padma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Penelitian  tentang  profesi pengamen jalanan di Kotamadya Surabaya terutama untuk membuat profil  penyanyi jalanan sampai saat ini sepengetahuan peneliti belum pernah dilakukan. Penelitian yang pernah dilakukan, yaitu   berkaitan dengan  analisis pekerja anak dan permasalahan pendidikan dasar di Jawa Timur yang didalamnya menyoal pula tentang pengamen anak-anak oleh Bogang Suyanto (1995-1999). Pada tahun 2008, peneliti telah melakukan penelitian pendahuluan pada penelitian fundamental dengan judul ”Pengamen merupakan Profesi Baru sebagai Refleksi Memudarnya Nilai Budaya dalam Masyarakat Jawa: Studi Kasus di Kota Surabaya” yang menitikberatkan pada kajian pergeseran nilai budaya khususnya pada penyanyi jalanan di angkutan umum dan terminal. Pada tahun 2009 penelitian fundamental lanjutan lebih menitikberatkan pada pengamen dari rumah ke rumah. Pada penelitian  yang akan dilakukan ini menitikberatkan pada pendokumentasian pengamen (penyanyi jalanan) di kota Surabaya. Komunitas  pengamen  adalah sebuah fenomena. Organisasi ini didirikan untuk melawan aksi pemerasan yang sering dilakukan para preman terhadap pengamen. Komunitas pengamen selalu mendapatkan citra negatif, karena pengamen itu  dipandang sebagai orang-orang yang menyanyi di setiap perempatan lampu merah, di bus kota, dari rumah ke rumah dengan membawa gitar  dengan senar berjumlah tiga atau alat musik sederhana lainnya. Sudah bukan pemandangan aneh, saat kita naik bus kota atau berada di sebuah rumah makan, tiba-tiba nyelonong seseorang atau beberapa anak muda yang membawa peralatan musik seadanya, bernyanyi dengan suara keras, terkadang juga sering sumbang. Mereka langsung pergi atau tidak menyelesaikan lagu yang sedang dinyanyikannya, ketika ia diberi upah atau uang sekedarnya. Mereka biasa disebut dengan pengamen, atau lebih mereka lebih suka disebut dengan ” penyanyi jalanan”. Sementara itu, musik yang mereka mainkan sering mereka sebut sebagai, ”musik jalanan”. Sebenarnya pengertian ”musik jalanan” dan ”penyanyi jalanan”, tidaklah sesederhana terminologi yang mereka sebutkan seperti di atas. Musik jalanan dan penyanyi jalanan mempunyai disiplin dan pengertian yang spesifik, bahkan merupakan suatu bentuk dari sebuah warna musik yang berkembang di dunia kesenian.  
PEMERTAHANAN WAYANG KRUCIL JAWA TIMUR (STUDI KASUS WAYANG THIMPLONG NGANJUK) Dra. Sri Sulistiani, ; Drs. Sukarman,
Padma Vol 5, No 1 (2012)
Publisher : Padma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-format:other; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin-top:0cm; margin-right:0cm; margin-bottom:10.0pt; margin-left:0cm; line-height:115%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; mso-bidi-font-size:11.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-language:EN-US; mso-no-proof:yes;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-size:10.0pt; mso-ansi-font-size:10.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt;} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> Abstrak Wayang krucil di kabupaten Nganjuk disebut dengan nama wayang Thimplong atau wayang Gung. Sebagai seni tradisi, wayang Thimplong dalam kondisi yang memprihatinkan. Dalam satu tahun hanya mampu menggelar tak lebih dari 5 kali pentas untuk memenuhi permintaan masyarakat. Pagelaran wayang Thimplong saat ini hanya diperuntukkan kegiatan ritual yaitu untuk prosesi bersih desa yang tergolong sakral. Faktor yang mendukung kebertahanan wayang Thimplong terdiri atas faktor internal yang meliputi aspek bentuk dan aspek fungsi. Faktor eksternal mengarah pada kondisi sosial masyarakat. Fungsi yang diemban wayang Thimplong adalah fungsi ritual, didaktis, hiburan, dan kritik sosial. Beberapa faktor yang mengancam eksistensi wayang Thimplong adalah kenakalan remaja yang berkelahi saat ada pagelaran, keberadaan TV swasta, dan pembinaan pihak pemerintah yang nyaris tidak ada.  Berbagai langkah menjaga kebertahanan wayang Thimplong adalah regenerasi dalang dalang dan penabuh gamelan tetap berjalan, meningkatkan kecakapan dalang, pagelaran rutin di masyarakat yang dibiayai pemerintah daerah, pembinaan secara kontinu oleh pemerintah, mengadakan pagelaran gabungan dengan seni lain.  
BENTUK KEGIATAN SENI PENGAMEN "DARI RUMAH KE RUMAH" (SEBAGAI PERSPEKTIF PERGESERAN BUDAYA MENUJU PROFESIONALISME) Drs. Sukarman, ; Dra. Sri Sulistiani,
Padma Vol 5, No 1 (2012)
Publisher : Padma

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"MS Mincho"; panose-1:2 2 6 9 4 2 5 8 3 4; mso-font-alt:"MS 明朝"; mso-font-charset:128; mso-generic-font-family:modern; mso-font-pitch:fixed; mso-font-signature:-536870145 1791491579 18 0 131231 0;} @font-face {font-family:"Cambria Math"; panose-1:2 4 5 3 5 4 6 3 2 4; mso-font-charset:1; mso-generic-font-family:roman; mso-font-format:other; mso-font-pitch:variable; mso-font-signature:0 0 0 0 0 0;} @font-face {font-family:"@MS Mincho"; panose-1:2 2 6 9 4 2 5 8 3 4; mso-font-charset:128; mso-generic-font-family:modern; mso-font-pitch:fixed; mso-font-signature:-536870145 1791491579 18 0 131231 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"MS Mincho"; mso-ansi-language:EN-GB; mso-fareast-language:JA;} p.MsoTitle, li.MsoTitle, div.MsoTitle {mso-style-unhide:no; mso-style-qformat:yes; mso-style-link:"Title Char"; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; text-align:center; line-height:200%; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:EN-US; mso-fareast-language:EN-US;} span.TitleChar {mso-style-name:"Title Char"; mso-style-unhide:no; mso-style-locked:yes; mso-style-link:Title; mso-ansi-font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman","serif"; mso-fareast-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:EN-US; mso-fareast-language:EN-US;} .MsoChpDefault {mso-style-type:export-only; mso-default-props:yes; font-size:10.0pt; mso-ansi-font-size:10.0pt; mso-bidi-font-size:10.0pt; mso-fareast-font-family:"MS Mincho";} @page Section1 {size:612.0pt 792.0pt; margin:72.0pt 72.0pt 72.0pt 72.0pt; mso-header-margin:36.0pt; mso-footer-margin:36.0pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} --> Abstrak Perubahan sosial kemasyarakatan lebih tampak di perkotaan. Kota identik dengan kemewahan, industri, keramaian, peluang kerja, dan tempat merubah nasib. Itulah sebabnya kelompok usia kerja produktif banyak yang melakukan urbanisasi ke kota untuk mengadu nasib. Fenomena kota sebagai tujuan urbanisasi melanda semua kota besar. Dampak yang nyata adalah muncul berbagai penyakit masyarakat di Surabaya yang diakibatkan oleh urbanisasi,  seperti gelandangan, pengemis, anak jalanan, penodongan, penjambretan, perampokan, dan sebagainya. Beberapa orang nyang memiliki kecakapan bermusik walaupun tidak begitu baik, memilih pekerjaan mengamen untuk mencari nafkah. Jumlah pengamen di Surabaya pada saat ini ratusan. Pada akhir-akhir ini pengamen memperjuangkan statusnya sebagai profesi yang tidak berbeda dengan profesi lain. Sebagai suatu profesi baru, pengamen dituntut selalu berkarya dan berkreativitas. Adapun bentuk kesenian yang ditawarkan oleh pengamen dari rumah ke rumah, antara lain: menyanyi, berkaraoke, jaranan dan reog, mbarang siter atau mbarang kentrung, dan mbarang ledhek kethek.