Sri - Iriantini
Program Studi Sastra Jepang, Universitas Kristen Maranatha

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

VERBA BANTU BENEFAKTIF TEKURERU DAN TEMORAU DALAM KALIMAT BAHASA JEPANG Sri - Iriantini
Metahumaniora Vol 9, No 2 (2019): METAHUMANIORA, SEPTEMBER 2019
Publisher : Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24198/metahumaniora.v9i2.23617

Abstract

Bahasa Jepang merupakan bahasa yang unik, dengan karakteristik yang berbeda dengan bahasa lainnya. Selain sebagai bahasa SOV, dalam beberapa struktur pun mempunyai ciri khas yang membedakannya dengan bahasa lain. Misalnya dalam struktur yang menggunakan verba-verba benefaktif yarimorai, yang terdiri dari 7 varian verba. Verba-verba ini digunakan untuk menunjukkan adanya suatu benefit yang diberikan dan diterima oleh seseorang. Dalam bahasa lain, bentuk benefaktif ini dapat terlihat dan diamati dari sisi semantisnya, tetapi secara sintaksis dan morfolgis mungkin bisa saja menggunakan satu verba yang sama dengan bentuk kausatif, seperti verba ‘membetulkan’ dalam bahasa Indonesia.Verba-verba benefaktif yarimorai ini dapat juga digunakan bersama-sama dengan verba inti sebagai verba bantu atau hojodoushi, dengan mengubahnya terlebih dahulu ke dalam bentuk te,  diantaranya tekureru dan temorau. Keduanya ini secara sintaksis dan semantis mempunyai beberapa persamaan dan perbedaan, diantaranya merupakan suatu peristiwa penerimaan.Metode yang digunakan adalah metode deskriptif kualitatif, dengan data-data yang diambil dari buku-buku berbahasa Jepang.Dari penelitian ini didapatkan hasil bahwa bentuk tekureru dan temorau, mempunyai persamaan secara sintaksis dan semantis, yaitu bahwa penerima keuntungan (peruntung) adalah pembicara, dan pemberi keuntungan / benefit adalah orang kedua / orang ketiga. Perbedaannya yaitu, jika tekureru, lebih memfokuskan kepada kebaikan pemberi keuntungan, sementara temorau lebih memfokuskan kepada rasa syukur / terima kasih yang didapatkan oleh peruntung, dan juga dari viewpointnya. Kata Kunci : Verba benefaktif yarimorai, bentuk benefaktif tekureru-temorau, analisis                          sintaksis dan semantis.
KESALAHAN PENGANALISISAN KALIMAT PASIF DARI BAHASA JEPANG KE DALAM BAHASA INDONESIA Iriantini Sri; Vina Febriani Setiawan; Toni Heryadi
Sirok Bastra Vol 8, No 2 (2020): Sirok Bastra
Publisher : Kantor Bahasa Provinsi Bangka Belitung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37671/sb.v8i2.255

Abstract

Penelitian ini mendeskripsikan perbedaan antara kalimat pasif dalam dua bahasa, yaitu bahasa Indonesia dan Jepang. Kalimat pasif bahasa Jepang dapat ditunjukkan dengan verba benefaktif yarimorai yang dilekatkan pada verba inti untuk makna benefaktif, sedangkan dalam kalimat pasif bahasa Indonesia ditandai dengan prefiks di-, ter- dan ke-an. Verba benefaktif dalam bahasa Indonesia bukan kalimat pasif, melainkan kalimat aktif. Perbedaan itu sering membuat pembelajar bahasa Jepang melakukan kesalahan ketika pembelajar mengaplikasikan kalimat pasif bahasa Jepang. Tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan kesalahan analisis pembelajar bahasa Jepang dalam mengubah kalimat pasif bahasa Jepang ke dalam Bahasa Indonesia. Metode penelitian yang diterapkan adalah metode deskriptif kualitatif, sedangkan teknik penelitian adalah studi kepustakaan dan metode kajiannya adalah kajian distribusional. Hasil penelitian ini adalah prefiks di- yang merupakan salah satu penanda pasif dalam bahasa Indonesia jika diungkapkan ke dalam bahasa Jepang tidak selalu bisa dipadankan dengan bentuk pasif reru/rareru sehingga hal ini menjadi kendala bagi pembelajar bahasa Jepang yang berbahasa ibu bahasa Indonesia.This study describes the difference between passive sentences in two languages, namely Indonesian and Japanese. Japanese passive sentences can be indicated by the benefactive verb yarimorai which is attached to the core verb for the benefactive meaning, while in Indonesian passive sentences it is marked with the prefix di-, ter- and ke-an. Benefactive verbs in Indonesian are not passive sentences, but active sentences. This difference often makes Japanese learners make mistakes when learners apply Japanese passive sentences. The purpose of this study was to describe the mistakes of Japanese learners in confirming Japanese sentences. The research method applied is descriptive qualitative method, while the research technique is literature study and the method of study is distributional studies. The result of this research is that the prefix di- which is one of the passive markers in Indonesian when expressed in Japanese cannot always be matched with the passive form reru / rareru so this becomes an obstacle for Japanese learners who speak Indonesian as their mother tongue.
GRICE’S POLITENESS MAXIMS IN JAPANESE BENEFACTIVECAUSATIVE EXPRESSIONS: A STUDY OF PRAGMATICS (MAKSIM KESANTUNAN GRICE DALAM UNGKAPAN BENEFAKTIFKAUSATIF BAHASA JEPANG: KAJIAN PRAGMATIK) Sri Iriantini
Metalingua: Jurnal Penelitian Bahasa Vol 19, No 1 (2021): METALINGUA EDISI JUNI 2021
Publisher : Balai Bahasa Jawa Barat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/metalingua.v19i1.554

Abstract

ABSTRACT A culture of a community may be reflected in the way in which language is used. In this sense, a nation with fruitful values of politeness will provide itself with a values-contained language; pertaining to its culture. Japanese, for example, maintains these values, reflecting how its people perceive and act to their world. As a result, Japanese has specific expressions with a subtle moral sense to show addresses a respect, and to humble oneself; described by benefactive-causative structure with verb ‘juju’ or benefactive verbs attached to causative verbs as a case (Juju hojodoushi).  The use of Japanese benefactive-causative expression in a particular conversational situation, is mostly related to the kinship of conversational participants, to the concept of ‘uchi-soto’ (inclusive-exclusive) believed by Japanese community, and to intimate relation of the participants of the utterances. Presenting close relationship, benefactive verbs take a normal form, and subtle ones (taiguukei) will be given to represent unfamiliar relationship.Learning from the phenomena, pragmatic approach may employ to the analysis of the use of Japanese benefactive-causative expression; using context, and others related to utterance situation. In this paper, the present writer focuses on the elements of Grice’s politeness maxims conveyed in Japanese expressions with benefactive-causative verbs.    AbstrakBudaya suatu bangsa dapat tercermin dari bahasa yang digunakan. Sebagai contohnya, Jepang, yang mempunyai budaya sopan santun, dengan menghormati lawan bicara dan merendahkan diri sendiri, yang tercermin dari kesantunan berbahasa ketika bersosialisasi. Salah satunya yaitu penggunaan verba benefaktif yang dilekatkan dengan verba kausatif (jujuhojodoushi), yang berbeda penggunaannya ketika digunakan untuk lingkungan orang lain (bentuk hormat) dan untuk lingkungan sendiri  (bentuk merendahkan diri). Kesantunan dalam ekspresi kausatif benefaktif dalam suatu tuturan ini berkorelasi dengan partisipan dalam tuturan tersebut, konsep ‘uchi (inklusif) - soto (eksklusif)’, dan hubungan kedekatan antara partisipan. Oleh karena itu, penelitian ini akan mengkajinya secara pragmatis, terutama dikaitkan dengan maksim kesopanan dari Grice, penandanya, dan hal-hal yang mempengaruhinya.Metode deskriptif kualitatif digunakan dalam peneltian ini dengan melihat fenomena pragmatis yang ditemukan dalam data ekspresi kausatif benefaktif.
Kesalahan Pemahaman dan Pengaplikasian Kalimat Pasif dan Kalimat Benefaktif Bahasa Jepang Sri Iriantini; Vina Febriani Setiawan
Ranah: Jurnal Kajian Bahasa Vol 10, No 1 (2021): Ranah: Jurnal Kajian Bahasa
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/rnh.v10i1.1736

Abstract

Passive sentence is one of the universal language features that all languages have. In spite of its universality, every language have its own specific form of passive sentences. Japanese and Indonesian, for specific case, have their own rules regarding passive sentence constructions. Japanese passive constructions, are marked with the use of ‘jodoushi’ (passive suffixes reru/rareru) which inflectionally embedded to the roots (core verbs). Meanwhile, Indonesian passive sentences uses affixes di-, ter-, and ke-an. However, there is an interesting construction in Japanese benefactives,  which semantically may convey passive meaning. Thus, they may appear as Indonesian passive sentences when being translated. This often leads Indonesian Japanese learners to misunderstand and misapply Japanese passive sentences. This study discusses errors in understanding and applying Japanese passive sentences produced by the 4th and 6th semesters of Japanese students of Universitas Kristen Maranatha Bandung. The study was conducted by giving passive and benefactive sentences to the students and asking them to choose which correct construction to use.  AbstrakBentuk kalimat pasif merupakan salah satu ciri universal yang dimiliki oleh bahasa yang ada. Oleh karena itu, semua bahasa mempunyai bentuk kalimat pasif.Bahasa Jepang dan bahasa Indonesia pun memiliki kalimat pasif. Bentuk kalimat pasif bahasa Jepang ditandai dengan penggunaan jodoushi (sufiks penanda bentuk pasif) reru/rareru yang secara inflektif melekat pada verba inti. Sementara itu, bentuk kalimat pasif bahasa Indonesia menggunakan afiks di-, ter-, dan ke-an. Namun, ada satu hal yang menarik.Di dalam bahasa Jepang terdapat struktur benefaktif yang secara semantis bermakna pasif sehingga jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia menjadi kalimat pasif. Hal itulah yang membuat pemelajar dari Indonesia sering salah memahami dan mengaplikasikan kalimat pasif dalam bahasa Jepang.Dalam penelitian ini dibahas kesalahan pemelajar Indonesia semester 4 dan 6 di Universitas Kristen Maranatha dalam memahami dan mengaplikasikan kalimat pasif bahasa Jepang. Penelitian dilakukan dengan cara memberikan soal kalimat pasif dan kalimat benefaktif, lalu meminta mahasiswa memilih bentuk pasif ataukah benefaktif yang tepat digunakan
Ekspresi Sebab-Alasan (kara, node, dan te, de) dalam Kalimat Bahasa Jepang Sri Iriantini
IZUMI Vol 11, No 2 (2022)
Publisher : Universitas Diponegoro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/izumi.11.2.216-225

Abstract

Sentence patterns kara, node, and te, de, are used to convey the expression of reason-result. These four sentence patterns are used to express reason-result, each with slightly different meaning nuances. As because the expression of reason-result in Indonesian is not as complex and complicated as in Japanese, the existence of these different nuances of meaning frequently causes difficulties for foreign students studying Japanese, particularly students from Indonesia. The four sentence patterns of kara, node, and te, de which are descriptors of reasoning in Japanese, will be studied from the morphosyntactic and semantic sides to produce a clear description that can be used as a reference for Indonesian learners using cause expressions - the rationale. The research method employed was qualitative, with descriptive data presentation. The distributional method and a technique of sorting out certain elements were used for the research technique, while the distributional method and a technique of sorting out certain elements were used for the study technique. According to the findings of this study, the expressions of reason-result kara, node, and te/de each have a distinct use. The use of the type of verb or type of word in the first clause and the circumstances that occur in the second clause show a difference in usage and meaning. In some contexts, kara and node can be substituted for each other, whereas for te/de, which has a unity with the first and second clauses, substitution with kara or node is subject to certain conditions.
Directive Illocutions and Implicatures in Instagram Advertising in Japanese and Indonesian Language: A Pragmatic Study Abkha Heryathan; Sri Iriantini
Jurnal Sakura : Sastra, Bahasa, Kebudayaan dan Pranata Jepang Vol 5 No 1 (2023)
Publisher : Program Studi Sastra Jepang, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24843/JS.2023.v05.i01.p06

Abstract

In understanding an advertisement, it is necessary to comprehend a pragmatic context. This study discusses directive speech acts and implicatures in advertising on Instagram with a pragmatic study. The purpose of the study was to identify and describe the directive speech acts and their implicatures contained in the Instagram uploads of food products in Japanese and Indonesian and to compare the similarities and differences based on the theory of contrastive analysis. The method used is the descriptive qualitative method. The data source is obtained from the Instagram caption of food products. The results of this study are; (1) directive speech acts and implicatures of Japanese speakers are to; begging, ordering, and suggesting, (2) directive speech acts and implicatures of Indonesian speakers are to; inviting, ordering, and suggesting, (3) the similarity of advertising is that Japanese speakers and Indonesian speakers tend to use command directive speech acts to convey the meaning of the suggestion, and use request directive speech acts to convey the meaning of the command, the difference in advertising is that Japanese speakers tend to use fantasy promotion strategies about the product, while Indonesian speakers tend to use group life promotion strategies.