Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

KARAKTERISTIK MORFOLOGI DAN PEMBENTUKAN BINTILAKAR PADA CEMARA UDANG Winastuti Dwi Atmanto; Sumardi Sumardi; Dja'far Shiddieq; Siti Kabirun
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 9, No 3 (2012): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpht.2012.9.3.155-163

Abstract

Mekanisme penambatan nitrogen tidak hanya terjadi pada simbiosis antara jenis Legum dengan Rhizobium, tetapi juga antara jenis non legum dengan jenis mikroorganisma yang lain. Contohnya adalah antara jenis cemara udang dengan Frankia. Karakter morfologi jenis ini belum banyak diketahui terutama pada kemampuan pembentukan bintil akar dan kapasitasnya dalam menambat nitrogen. Penelitian ini bertujuan untuk 1) mengetahui tentang karakteristik bintil akar jenis cemara udang pada percobaan pot dan lapangan, 2) mendapatkan isolat Frankia dari bintil akar yang paling cepat membentuk bintil akar pada tanaman cemara udang. Pengamatan terhadap kecepatan pembentukan bintil akar dilakukan di dalam pot dengan media tanam zeolit. Isolat yang digunakan sebagai perlakuan diperoleh dari seleksi terhadap karakteristik morfologi isolat yang berbeda dari tanaman asal Madura (M1, M3, M4, M5, M6, M7, M8, M10, M11), Tepus (T1, T2, T3, T4), Samas (S1) dan tanpa inokulasi (Kt). Masing- masing isolat diinokulasikan pada 4 (empat) semai cemara udang. Pengamatan dilakukan setiap 2 (dua) minggu sekali, diamati perkembangan, pembentukan dan jumlah bintil akar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat kesamaan ragam bentuk bintil akar cemara udang dalam percobaan pot dan lapangan. Bagian permukaan bintil akar dalam pertumbuhannya selalu berwarna lebih muda, makin ke arah dalam semakin gelap dan keras. Semua isolat yang diuji pada semai cemara udang mampu membentuk bintil akar setelah 4 (empat) minggu diinokulasi dengan rata-rata jumlah bintil akar yang terbentuk 2,55 buah (34,86%). Isolat M5 dan M6 paling baik digunakan sebagai sumber inokulum untuk pembuatan semai cemara udang, karena dalam waktu 2 (dua) minggu semua bibit serempak membentuk bintil akar.
STUDI SUMBER PENYEBAB TERJADINYA KEBAKARAN DAN RESPON MASYARAKAT DALAM RANGKA PENGENDALIAN KEBAKARAN HUTAN GAMBUT DI AREAL MAWAS KALIMANTAN TENGAH Acep Akbar; Sumardi Sumardi; Ris Hadi; Purwanto Purwanto; M. Sambas Sabarudin
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 8, No 5 (2011): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpht.2011.8.5.287-300

Abstract

Aktivitas pencegahan kebakaran hutan rawa gambut perlu didasari oleh adanya pengetahuan tentang profil manusia pengguna api rutin di lahan yang identik dengan sumber-sumber api pemicu kebakaran. Pengetahuan tersebut berguna untuk mengarahkan pembinaan pencegahan kebakaran yang dilakukan oleh pemerintah sehingga tepat sasaran. Respon masyarakat terhadap jenis-jenis inovasi pencegahan kebakaran yang diterapkan perlu digali agar tercipta peluang kolaborasi antara pihak pemerintah atau pengelola dengan masyarakat target sehingga proses peningkatan kesadaran, kesiagaan dan difusi inovasi dapat berjalan secara cepat. Melalui penelitian survey opini publik di lima desa contoh sekitar hutan konservasi Mawas diKalimantan Tengah diketahui bahwa sumber api rutin berasal dari petani ladang dan penangkap ikan, sedangkan pengguna api lain bersifat tidak rutinya itu petani rotan, pencarirotan, pencari kulit gemor, dan pencari madu, pengayu, penambang emas, dan pengrajin perahu klotok. Kegiatan pencegahan yang mendapat respon masyarakat adalah semua pola penyuluhan dan penerapan teknologi yang umum dilakukan dalam pencegahan kebakaran kecuali persiapan lahan tanpa bakar dan pola tanam agroforestry. Disimpulkan bahwa aktivitas pencegahan kebakaran jika dilakukan melalui kolaborasi antara pemerintah dengan masyarakat sekitar hutan terutama dengan petani ladang dan penangkap ikan berpotensi menurunkan frekuensi terjadinya kebakaran.
Uji Toksisitas Ekstrak Daun Nicolaia atropurpurea Val. Terhadap Serangga Hama Spodotera litura Fabricus (Lepidoptera: Noctuidae) Asmaliyah Asmaliyah; Sumardi Sumardi; Musyafa Musyafa
Jurnal Penelitian Hutan Tanaman Vol 7, No 5 (2010): JURNAL PENELITIAN HUTAN TANAMAN
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Hutan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (182.33 KB) | DOI: 10.20886/jpht.2010.7.5.253-263

Abstract

Nicolaia atropurpurea (Zingiberaceae) secara tradisional telah digunakan oleh masyarakat lokal untuk melindungi tanaman budidaya dan hutan tanaman dari serangan hama. Namun penggaliannya secara ilmiah terhadap potensinya sebagai sumber insektisida nabati belum pernah diteliti, sehingga sejauh mana toksisitas ekstrak daun N. atropurpurea ini belum diketahui secara pasti. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk tujuan tersebut. Penelitian ini dilakukan dalam 2 tahapan percobaan, yaitu: Percobaan 1, pengujian cara ekstraksi dan jenis pelarut yang digunakan terhadap toksisitas ekstrak daun N. atropurpurea dengan metode kontak. Percobaan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari 6 taraf konsentrasi. Percobaan 2, pengujian toksisitas (nilai LC50 dan LC95 ) ekstrak etil asetat daun N. atropurpurea dengan metode kontak. Percobaan menggunakan RAL dengan 3 ulangan. Perlakuan terdiri dari 6 taraf konsentrasi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa ekstrak daun N. atropurpurea yang diaplikasikan dengan metode kontak bersifat toksik terhadap larva Spodoptera litura instar ketiga. Ekstrak yang paling toksik dihasilkan dari ekstraksi maserasi bertingkat dengan menggunakan pelarut etil asetat dengan nilai LC50 dan LC95 sebesar 0,18% dan 0,54%.
Multi Inang Fungi Ektomikoriza pada Dipterocarpaceae di Hutan Tropis Maliyana Ulfa; Eny Faridah; Su See Lee; Sumardi Sumardi; Christine le Roux4 le Roux; Antoine Galiana; Patahayah Mansor; Marc Ducousso
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (690.186 KB) | DOI: 10.22146/jik.46196

Abstract

Dipterocarpaceae dikenal sebagai keluarga vegetasi hutan dominan di hutan tropis yang memiliki simbiosis mutualisme dengan fungi ektomikoriza. Hal tersebut menjadikan pemulihan hutan tropis bergantung pada keberadaan fungi ektomikoriza. Peranan fungi ektomikoriza dalam mendukung regenerasi dijumpai dalam bentuk multi inang yang dapat terindikasi dari penggunaan secara bersama jenis fungi ektomikoriza antar tanaman. Berdasarkan hal tersebut, penelitian bertujuan untuk mengetahui jenis-jenis fungi ektomikoriza yang berasosiasi dengan dipterocarpaceae di tingkat pohon dan semai, serta mengetahui adanya multi inang fungi ektomikoriza pada kedua tingkat pertumbuhan tersebut. Penelitian ini dilakukan dengan mengidentifikasi ektomikoriza melalui pendekatan molekuler dengan menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Urutan ekstrak DNA diperkuat menggunakan pasangan primer spesifik ITS 1F-ITS 4. Identitas fungi ektomikoriza diperoleh dari pencocokan urutan DNA sampel terhadap database Genbank. Berdasarkan hasil identifikasi, jenis-jenis fungi ektomikoriza yang berasosiasi dengan dipterocarpaceae di tingkat pohon dan semai mempunyai hubungan kekerabatan dengan kelas Dothideomycetesdan ordo Sordariales, Sebacinales, Cantharellales, Russulales, Agaricales, Boletales, dan Thelephorales. Penelitian juga menemukan multi inang fungi ektomikoriza terhadap dipterocarpaceae, baik pada jenis maupun tingkatan pertumbuhan inang yang berbeda (semai dan pohon). Jenis fungi ektomikoriza yang paling berperan dalam multi inang adalah fungi yang mempunyai hubungan kekerabatan dengan ordo Thelephorales, Russulales, dan Sebacinales.Tomentella sp. dari ordo Thelephorales ditemukan paling banyak berasosiasi multi inang pada pohon dan semai. R. lepidicolor, Sebacina sp., dan fungi ektomikoriza famili Thelephoraceae masing-masing berasosiasi multi inang di tingkat semai. Keberadaan jenis-jenis fungi ektomikoriza yang mampu berasosiasi secara multi inang dengan dipterocarpaceae merupakan modal alami upaya rehabilitasi hutan tropis terdegradasi. Multi-Host of Ectomycorrhizal Fungi on Dipterocarpaceae inTropical Rain ForestsAbstractDipterocarpaceae is known as the dominant forest vegetation family in tropical forests that has mutual symbiosis with ectomycorrhizal fungi. It makes tropical forest resilience depend on the existence of ectomycorrhizal fungi. The role of ectomycorrhizal fungi to support the regeneration was found in multi-host form, indicated by sharing ectomycorrhizal fungal species between plants. Based on that phenomenon, the study aims to recognize ectomycorrhizal fungi that associate with dipterocarpaceae at tree and seedling levels, and the presence of multi-host ectomycorrhizal fungi on both growth stages. The research was conducted by identifying the ectomycorrhizal fungi via molecular approach by using Polymerase Chain Reaction (PCR) technique. To strengthen the sequence of DNA extracts, a specific primer pair of ITS 1F-ITS 4 was used. The identity of the ectomycorrhizal fungi was obtained by matching the samples’DNA sequence to the Genbank database. Based on the identification results, ectomycorrhizal fungi that associate with dipterocarpaceae on tree and seedling levels have genetic relationship with Dothideomycetes class and Sordariales, Sebacinales, Cantharellales, Russulales, Agaricales, Boletales, and Thelephorales orders. The research also found that multi-host of ectomycorrhizal fungi to dipterocarpaceae is formed both in different species and growth stages of host (tree and seedling). The most ectomycorrhizal fungi that play a role in multi-host are those with genetic relationship to the orders of Thelephorales, Russulales, and Sebacinales. Tomentella sp. of Thelephorales order was the most multi-host on both tree and seedling levels. R. lepidicolor, Sebacina sp., and ectomycorrhizal fungi of Thelephoraceae were found multi-host in seedling level. The existence of ectomycorrhizal fungi associated in multi-host with dipterocarpaceae is a natural asset for rehabilitation effort of degraded tropical forests.