Sylviani Sylviani
Pusat Penelitian dan Pengembangan Perubahan Iklim dan Kebijakan Kehutanan

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

KAJIAN IMPLEMENTASI KEBIJAKAN ORGANISASI KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN (KPH) DI DAERAH (STUDI KASUS KPH BANJAR, KALIMANTAN SELATAN DAN KPH LALAN MANGSANG MENDIS, SUMATERA SELATAN) Elvida Yosefi Suryandari; Sylviani Sylviani
Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan Vol 9, No 2 (2012): Jurnal Analisis Kebijakan Kehutanan
Publisher : Centre for Research and Development on Social, Economy, Policy and Climate Change

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jakk.2012.9.2.114-130

Abstract

Forest Management Units (FMUs) establishment has been laid as a strategic objective to better management of forests. However, problems are still encountered in the development of FMUs, such as institutional framework of its funding and human resources avaibility. This study aims to: (1) analyze the policy implementation of FMU organization; and (2) analyze the availability of human resources in FMU development. The study was conducted in Lalan Mangsang Mendis FMU, South Sumatra Province and Banjar FMU, South Kalimantan Province. The data were collected using purposive sampling and analyzed using human resource planning analysis and policy analysis. The results showed that the current form of FMU organization is a technical implementation unit of "Regional Working Unit" (RWU) of Forestry Office. There is an incompatibility of the structure with the organizational structure of the existing regulation. The organization model has some weaknesses, such as limitations of budget and authority, and lack of human resources (quantity and quality). Regional Working Unit (RWU) form could consist of a secretariat, a service unit, technical unit (TU), or other working unit as part of the regency organizations. Regional Working Unit (RWU) form that is compatible for FMU should be TU or other working unit. According to article 45 on PP 41/2007, FMU organizations should not be inform of ”TU” but may bean" other working unit", because the existing organization components already reached a maximum score. The current priority should be how to strengthen the FMU institution as "Regional Working Unit" (RWU) with a good planning. Important steps are still needed before the operation of FMU, such as how to determine the role and function of FMU and working relationships with relevant stakeholders including forest license holders, which then should be arranged in the form of regulations. Further, the commitment of local government is needed to support the formation of a FMU as RWU.
KAJIAN DAMPAK PERUBAHAN FUNGSI KAWASAN HUTAN TERHADAP MASYARAKAT SEKITAR Sylviani Sylviani
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 5, No 3 (2008): Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpsek.2008.5.3.155-178

Abstract

Perubahan fungsi kawasan hutan merupakan kegiatan merubah fungsi suatu kawasan hutan menjadi fungsi lainnya. Realisasi perubahan fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan konservasi atau hutan lindung dilakukan untuk menghentikan kegiatan eksploitasi pemanfaatan hasil hutan kayu dalam upaya menjaga kelestarian keaneka ragaman hayati, perlindungan plasma nutfah dan mempertahankan aset lainnya yang ada di kawasan hutan produksi. Landasan yuridis dalam pelaksanaan kegiatan perubahan fungsi kawasan hutan mengacu pada pasal 19 ayat (1) UU Nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan yaitu” Perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan ditetapkan oleh pemerintah didasarkan pada hasil penelitian terpadu. Mekanisme yang mengatur perubahan fungsi kawasan hutan didasarkan atas Keputusan Menteri Kehutanan No 70/KPTS-II/2000. Pelaksanaan perubahan fungsi kawasan hutan ditujukan dalam rangka optimalisasi pemanfaatan fungsi hutan secara lestari dan berkesinambungan bagi kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian orientasi perubahan fungsi kawasan hutan lebih pada aspek pemanfaatan hutan. Berdasarkan data Badan Planologi Departemen Kehutanan perkembangan perubahan fungsi kawasan hutan produksi menjadi kawasan hutan lainnya secara keseluruhan sampai dengan Januari 2007 seluas 884.860,36 hektar yang tersebar di seluruh Indonesia. Kegiatan ini mengkaji dampak perubahan fungsi kawasan Hutan Produksi (HP) dan Hutan Lindung (HL) menjadi kawasan hutan dengan fungsi konservasi yaitu sebagai Taman Nasional (TN). Penelitian dilakukan pada 3 propinsi untuk Sumatera Utara dengan lokasi di Taman Nasional Batang Gadis (TNBG), untuk Jambi di Taman Nasional Bukit Duabelas (TNBD) dan untuk Kalimantan Tengah di Taman Nasional Sebangau (TNS). Metode penelitian dilakukan secara diskriptif kualitatif ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan hukum. Hasil kajian menunjukkan bahwa kawasan hutan produksi yang mengalami perubahan merupakan kawasan HPH yang sudah tidak aktif atau ijinnya sudah dicabut. Sehingga dampak sosial dan ekonomi terhadap masyarakat sekitar hutan produksi tidak berpengaruh secara langsung karena sebagian masyarakat sekitar kawasan yang bekerja pada perusahaan kayu bukan merupakan sumber mata pencaharian tetap. Berbeda dengan masyarakat yang bermukim sekitar kawasan hutan lindung dampak secara hukumnya terlihat setelah dilakukan tata batas, karena sebagian besar petani mempunyai lahan garapan di sekitar dan di dalam kawasan hutan lindung baik sebagai pemilik lahan maupun sebagai penggarap dengan rata-rata luas garapan 0,25 ha. Pada masing-masing lokasi dampak sosial ekonomi masyarakat berbeda-beda seperti di TNBG hanya ± 10 % dari 20 responden masyarakat yang merasakan dampak dari perubahan fungsi kawasan yaitu masyarakat tidak bisa berburu terutama di kawasan lindung, di TNBD masyarakat tidak bisa membalok dan di TNS masyarakat tidak bisa berkebun. Sedangkan dampak terhadap lingkungan adanya penebangan liar, perambahan hutan dan penambangan liar.
KAJIAN DISTRIBUSI BIAYA DAN MANFAAT HUTAN LINDUNG SEBAGAI PENGATUR TATA AIR Sylviani Sylviani
Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan Vol 5, No 2 (2008): Jurnal Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial, Ekonomi, Kebijakan dan Perubahan Iklim

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20886/jpsek.2008.5.2.95-109

Abstract

Hutan Lindung yang berfungsi sebagai pengatur tata air perlu dijaga agar kualitas, ketersediaan air serta kelestariannya. Permasalahan yang dihadapi adalah adanya beberapa pihak yang terlibat dalam pengelolaannya baik sebagai pengatur tata air maupun sebagai pengguna jasa air yang belum mempunyai standar harga. Penelitian bertujuan mengetahui nilai kompensasi yang selayaknya diterima oleh para pengelola kawasan hutan lindung dan bagaimana mekanisme serta distribusi biaya atas manfaat jasa lingkungan. Lokasi penelitian dilakukan di kawasan DAS Brantas sekitar kawasan lindung Perum Perhutani, Taman Nasional Bromo Tengger Semeru, Taman Hutan Raya Suryo di Propinsi Jawa Timur. Penelitian dilakukan dengan metode diskriptif kualitatif dan kuantitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa potensi produksi air yang dapat dihasilkan disekitar kawasan lindung masing-masing 73,37 juta m3 untuk Perum Perhutani, 41,48 juta m3 TNBTS dan 83,88 juta m3 untuk Tahura Suryo per tahun. Besarnya kompensasi biaya yang selayaknya diterima sebagai biaya pemeliharaan dan konservasi masing-masing pengelola adalah Rp 8 691 085/ha untuk Tahura Suryo, TNBTS Rp 2 052 450/ha dan Perum Perhutani Rp 978 349/ha. Kompensasi yang diterima dari pengguna jasa air atas manfaat jasa lingkungan merupakan sumber dana yang dapat digunakan untuk biaya pemeliharaan di kawasan lindung sebagai daerah tangkapan air. Agar mekanisme penyaluran nilai jasa lingkungan dapat diterapkan dan berjalan dengan baik perlu dirumuskan dalam suatu kebijakan dan aturan tentang pemanfaatan sumberdaya alam.