Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Upaya Penerapan Sanksi Administratif Dan Perizinan Sebagai Pembatasan Terhadap Kebebasan Bertindak Bahder Johan Nasution
Asy-Syir'ah: Jurnal Ilmu Syari'ah dan Hukum Vol 48, No 1 (2014)
Publisher : Faculty of Sharia and Law - Sunan Kalijaga State Islamic University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajish.2014.48.1.%p

Abstract

Permit is defined as an exception to everything that principally prohibited things or not to do, so granting permission is an exception to the ban. The application of administrative sanctions in a permit is a limitation of freedom to act. Permit as a legal instrument to restrict the freedom of action for a person should rely on the rules of law and principles of good governance. The application of administrative sanctions in a licensing function to organize, control and direct someone freedom of action to act in accordance with the rule of law.
Aktualisasi Pancasila sebagai Sumber Hukum dalam Pembentukan Undang-Undang Arfa'i Arfa'i; Bahder Johan Nasution; Febrian Febrian
Undang: Jurnal Hukum Vol 3 No 2 (2020)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Jambi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.22437/ujh.3.2.377-407

Abstract

In the Indonesian legal system, Pancasila is the source of all sources of law, the basis of the national law, and functions as rechtsidee. With such a position, all positive laws should reflect and be in line with Pancasila values. This article aims at exploring how Pancasila values actualized in the legislation of law. This article demonstrates that despite the vital role of Pancasila as long the legislation of law is concerned, there are no clear indicators and variables indicating that a law has reflected and been in line with Pancasila values. It is also found that there is no model or mechanism for testing whether the law which under legislation has been appropriate and conformed with Pancasila. The current indicators and variables are the ones set by the Agency for National Law Development (BPHN) and the Agency for Pancasila Ideology Education (BPIP), and are used to evaluate a positive law. In fact, they are not the ones intended to to evaluate a law which is currently in the level of legislation. This article argues that in order to actualize Pancasila values in the established law, indicators and variables regarding Pancasila values need to be regulated in a law. Besides, it is encouraged that the evaluation and testing mechanisms be implemented during legislation process. Abstrak Dalam sistem hukum Indonesia, Pancasila merupakan sumber dari segala sumber hukum, dasar hukum nasional, dan cita hukum. Dengan kedudukan yang demikian itu, maka sudah seharusnya semua hukum yang dibentuk mencerminkan atau selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Artikel ini bermaksud menelusuri bagaimana nilai-nilai Pancasila diaktualisasi dalam pembentukan suatu undang-undang. Dalam artikel ini ditunjukkan, sekalipun Pancasila memiliki peran yang sangat penting bagi suatu undang-undang yang dibentuk, ternyata belum ada indikator dan variabel tentang undang-undang yang mencerminkan atau selaras dengan nilai-nilai Pancasila. Artikel ini juga menunjukkan, belum ada model atau mekanisme pengujian apakah undang-undang yang sedang dalam tahap pembentukannya telah sesuai dan selaras dengan Pancasila. Indikator dan variabel yang ada sejauh ini ialah yang ditetapkan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila, dan digunakan untuk mengevaluasi suatu undang-undang yang telah berlaku, bukan yang sedang dalam tahap pembentukannya. Karena itu, agar nilai-nilai Pancasila semakin teraktualisasi dalam undang-undang yang dibentuk, maka indikator dan variabel tentang nilai-nilai Pancasila perlu diatur dalam undang-undang, dan mekanisme evaluasi dan pengujiannya perlu didorong agar dapat dilakukan pula pada saat undang-undang sedang dalam tahap pembentukannya.
ANALISIS KEWENANGAN PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA DI BIDANG LEGISLATIF MENURUT UNDANG-UNDANG DASAR NEGARA REPUBLIK INDONESIA 1945 Erik Santio; Bahder Johan Nasution
Limbago: Journal of Constitutional Law Vol. 1 No. 1 (2021)
Publisher : Universitas Jambi, Fakultas Hukum

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (492.772 KB) | DOI: 10.22437/limbago.v1i1.8643

Abstract

Presiden Republik Indonesia adalah sebagaimana di atur dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-Undang Negara Republik Indonesia 1945, Presiden Rpublik Indonesia memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar. Presiden yang memegang kekuasaan pemerintah dalam pasal ini menunjuk kepada pengertian presiden menurut sistem pemerintahan presidensial. Dalam sisterm pemerintah presidensial, tidak terdapat pembedaan atau setidak tidak perlu diadakan pembedaan antara presiden selaku kedudukan kepala negara dan presiden selaku kepala pemerintah. Presiden adalah Presiden, yaitu jabatan yang memegang kekuasaan pemerintah menurut Undang-Undang Dasar. Kekuasaan negara yang terpusat pada satu lembaga mengakibatkan timbulnya berbagai efek samping negatif, menjadi salah satu sebab masyarakat menghendaki adanya perubahan pada pembagian kekuasaan yang lebih tegas. Ditambah lagi dengan seruan dari segala penjuru untuk melakukan demokratisasi dalam segala bidang, mengakibatkan kedudukan Presiden dalam UUD 1945 perlu dikaji kembali. Hal ini terwujud dengan diadakannya perubahan terhadap UUD 1945 selama kurun waktu 1999-2002. Dalam UUD 1945 jelas tergambar bahwa dalam rangka fungsi legislatif dan pengawasan, lembaga utamanya adalah DPR (Dewan Perwakilan Rakyat). Pasal 20 ayat (1) menegaskan, “Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang”. Bandingkan dengan ketentuan Pasal 5 ayat (1) yang berbunyi, “Presiden Berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat”. Dengan Perkataan lain, sejak Perubahan Pertama UUD 1945 pada tahun 1999, telah terjadi pergeseran kekuasaan substantif dalam kekuasaan legislatif dari tangan Presiden ke tangan DPR.