Nurcahaya Nurcahaya
Universitas Islam Negeri Sumatera utara

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

KONSEP KAFA’AH DALAM HADIS-HADIS HUKUM Nurcahaya Nurcahaya
TAQNIN: Jurnal Syariah dan Hukum Vol 3, No 02 (2021): Juli-Desember 2021
Publisher : Universitas Islam Negeri Sumatera Utara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.30821/taqnin.v3i02.11028

Abstract

Tulisan ini mengkaji tentang kafaah yang terdapat dalam   hadis-hadis   hukum keluarga.  Ada banyak hadis Nabi yang berbicara tentang Kafa’ah, Namun di sini penulis hanya mefokuskan dua hadis saja dengan alasan salah satu hadis  yang penulis kemukakan sedikit banyak mungkin sudah mewakili hadis-hadis yang lain.  Di antara hadis yang banyak itu seperti hadis riwayat Al -Baihaqi yang menjelaskan bahwa orang Arab sepadan dengan orang Arab, hadis riwayat Ahmad yang menjelaskan tentang sekufu dalam masalah harta, hadis riwayat Tirmizi yang berisi anjuran Nabi untuk menikahkan wanita dengan laki-laki yang baik agamanya dan lain-lain. Terjadi perbedaan pendapat di kalangan ulama tentang pengertian dari kafaah, hal-hal apa saja yang menjadi ruang lingkup kafa’ah  juga mereka tidak sama   pendapatnya tentang apakah kafa’ah  merupakan salah satu syarat dalam suatu perkawinan. Alasan yang dikemukakannya adalah  sabda Rasulullah SAW: “Janganlah kamu nikahkan seorang wanita kecuali dengan yang sekufu (sebanding)…..”  . Dua hadis yang dikemukakan disebutkan asbab alwurudnya, yang intinya ketika mencari wanita sebagai isteri pilihlah wanita yang baik agamanya agar beruntung. Hadis  tersebut lafaz Ahmad 3/32 diriwayatkan oleh Muslim dalam kitab Ar-Radha’n, Al-Bukhar, i, At-Tirmizi, Abu Dawud, Ad-Darimi yang kesemuanya dibahas dalam kitab nikah. Dari hadis-hadis yang dikemukakan bahwa kafa’ah pada masa Rasul SAW lebih menitik beratkan pada sisi agama. Islam tidak mengenal perbedaan antara manusia dengan manusia yang lainnya, asalkan mereka Islam dan bertaqwa. Ketentuan itu  sudah menjadi tolok ukur kafa’ah dalam perkawinan dengan alasan bahwa setiap muslim itu bersaudara. Untuk terbina dan terciptanya  suatu rumah tangga yang sakinah, mawaddah dan warahmah, Islam menganjurkan adanya kafa’ah atau keseimbangan antara calon suami dan istri. Tapi hal ini tidak menjadi suatu yang mutlaq, melainkan suatu yang perlu diperhatikan untuk terciptanya tujuan pernikahan yang bahagia dan abadi, karena pada prinsipnya Islam memandang sama kedudukan manusia dengan manusia lainnya.
KETERAKSESAN UN-CRC DALAM UNDANG-UNDANG NOMOR 16 TAHUN 2019 (PENDEKATAN HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM) Fri Yosmen; Imam Yazid; Nurcahaya Nurcahaya
istinbath Vol. 21 No. 2 (2022): Desember 2022
Publisher : Universitas Islam Negeri Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20414/ijhi.v21i2.570

Abstract

Perlindungan terhadap anak menjadi bagian krusial yang mesti diperhatikan bagi suatu negara. Keadaan anak akan menggambarkan bagaimana keadaan sebuah bangsa pada masa yang mendatang. Hak-hak anak adalah salah satu bagiannya. Anak seyogyanya telah memiliki hak mulai dari masih berbentuk janin. Dalam tulisan ini membahas tentang bagaimana ketercapaian UN-CRC sebagai tiang dari hak anak di dalam aturan terbaru yaitu Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang perubahan dari Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 dengan mengkaji dari sudut pandang undang-undang serta hukum Islam. Dalam undang-undang tersebut terdapat perubahan usia dibolehkan seorang anak untuk menikah. Pokok bahasannya adalah apakah undangundang ini telah mempertimbangkan hak anak secara keseluruhan atau sekedar jawaban akan ketidakhadirannya bias gender pada sebuah aturan. Metode yang digunakan dalam tulisan ini metode penelitian hukum normatif yang mengkaji ketercapaian UN-CRC dalam Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 pespektif perundang-undangan dan hukum Islam. Setelah dianalisis dari dua perspektif yaitu pendekatan undang-undang dan hukum Islam, ternyata Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 secara umum telah mengakses sebagian besar amanat UN-CRC akan tetapi masih ada hal yang harus ditingkatkan agar lebih terjaminnya perlindungan hukum bagi seorang anak. Selanjutnya salah satu peran penting dari pengadilan adalah memerintahkan untuk memperoleh terlebih dahulu rekomendasi dari psikolog atau psikiater dan akan menjadi salah satu bahan pertimbangan oleh Hakim. Hal ini bukan untuk mempersulit tetapi bertujuan untuk menjamin terlindungnya hak anak.
CONSIDERATION OF JUDGES OF THE PANDAN RELIGIOUS COURT IN DETERMINING THE STATUS OF THE DEFENDANT / INVISIBLE APPLICANT: MAQASHID AL-USRAH PERSPECTIVE Imam Yazid; Nurcahaya Nurcahaya; Fikri Al Muhaddits
Jurnal Pembaharuan Hukum Vol 10, No 2 (2023): Jurnal Pembaharuan Hukum
Publisher : UNISSULA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26532/jph.v10i2.34111

Abstract

This article aims to find out what the judge considers in determining the status of the defendant/respondent in absentia. Then, the consideration is analyzed using the maqashid al-usrah theory which is part of the maqashid al-syariah study. The judge's consideration referred to here is the consideration of the judge of the Pandan Religious Court, which is limited to occult divorce cases, to be precise Decision Number 33/Pdt.G/2020/PA.Pdn and Decision Number 24/Pdt.G/2020/PA.Pdn. This decision is interesting to discuss, because the entire determination of the invisibility limit in the Pandan Religious Court does not have a definite time limit, including these two decisions. The methodological flow of this research uses a normative legal research format, with primary legal materials (secondary data), Law Number 1 of 1974 concerning Marriage, the Compilation of Islamic Law, and copies of Decision Number 33/Pdt.G/2020/PA.Pdn and Decision Number 24/Pdt.G/2020/PA.Pdn. The results of the study show that in the two decisions, it must be distinguished between the judge's consideration in determining the status of the defendant/respondent in occultation and the judge's consideration in breaking the marriage bond between the litigants. Regarding the determination of the status of the respondent/applicant as invisible, it turned out that the judge was not guided by Islamic law (fiqh mazhab), but rather the general civil procedural law. As for the reason for dissolving the marriage, the judge saw that the marriage of the litigants no longer fulfilled the elements to achieve the purpose of marriage; if the family is maintained, it will bring mafsadah. It can be concluded that the judge's consideration in each decision is in accordance with maqashid al-usrah.