Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Epistemologi Fikih Kelautan Ulama Nusantara Athoillah Islamy; Zaimuddin Zaimuddin
Inovasi-Jurnal Diklat Keagamaan Vol 15 No 1 (2021): Inovasi : Jurnal Diklat Keagamaan
Publisher : Balai Diklat Keagamaan Surabaya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.52048/inovasi.v15i1.198

Abstract

Although crab is seen as an animal that has great benefits for the health of the human body, there are differences among scholars regarding the law of consuming it. This study intends to explore and identify the construction of Islamic legal thought by one of the Javanese coastal ulama in the 19th century AD regarding the legal status of the crab halal. The cleric in question is named Kiai Muhammad Anwar or who is often called Kiai Anwar Batang. This research is a qualitative research in the form of literature review. This Islamic legal research is included in the category of normative-philosophical Islamic law research. The data source is the Book of Aisyul Bahri by Kiai Anwar Batang, and various relevant scientific researches. The approach used is a philosophical approach to Islamic law by using a systems approach as proposed by Jasser Auda. This study concludes that the Islamic legal thinking of Kiai Anwar Batang regarding the halal status of crab is built on a universal interpretation of the legal message in verse 96 of the al-Maidah letter and is strengthened by various opinions of scholars regarding halal law for all types of aquatic animals. However, it does not stop at the approach to interpretation of the nas, Kiai Anwar Batang also conducts empirical research in the field with observations of the life of crab. He saw that crab is animal that can only live briefly on land, not animal that live in two realms (water and land). Therefore, it is halal for consumption.
SUMBANGSIH DINASTI MAMLŪK UNTUK PERADABAN Zaimuddin Zaimuddin
As-Syifa: Journal of Islamic Studies and History Vol 1 No 2 (2022): JULI
Publisher : LPPM Sekolah Tinggi Ilmu Al-Qur'an Wali Songo Situbondo

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (676.756 KB) | DOI: 10.35132/assyifa.v1i2.268

Abstract

Dinasti Mamlūk memimpin umat Islam pada fase terberat dalam sejarahnya, kala tentara Mongol berhasil menghancurkan Baghdad, ibu kota peradaban Islam, pada tahun 656 H. Dinasti Mamlūk berdiri pada tahun 648H. sampai tahun 922H. (1250-1571M), atau selama 274 tahun. Dinasti Mamlūk dibangun atas dasar militer, karena mamlūk adalah budak yang dibeli saat muda lalu diberi pendidikan militer, untuk kemudian dibebaskan dan diberi peran militer atau pemerintahan. Peran-peran besar dinasti Mamlūk jarang dijadikan objek penelitian sehingga banyak yang melupakannya. Setidaknya ada lima bidang kemajuan penting yang dicapai oleh dinasti Mamlūk, yaitu dalam bidang militer, pemerintahan, keagamaan, keilmuan, dan budaya. Dalam bidang militer, jasa terbesar dinasti Mamlūk adalah keberhasilannya mengalahkan pasukan Mongol dan mengembalikan kilau peradaban Islam. Dalam bidang pemerintahan, dinasti ini mengenalkan kepemimpinan wanita dan kepemimpinan mantan budak. Dalam bidang keagamaan, pada dinasti ini berkembang ajaran tasawuf dan semakin kokohnya ajaran Ahlu al-Sunnah wa al-Jama`ah dengan dibangunnya pusat keagamaan dan keilmuan. Begitu juga kemajuan dalam bidang keilmuan dapat dilihat dari hasil karya ilmiah yang dilahirkan di masa ini. Sedangkan dalam bidang budaya, dinasti Mamlūk mempromosikan peringatan hari-hari besar Islam, seperti maulid Nabi Muhammad