Unang G. Kartasasmita
Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Pengayaan Kandungan Bahan Organik Tanah Mendukung Keberlanjutan Sistem Produksi Padi Sawah Sumarno Sumarno; Unang G. Kartasasmita; Djuber Pasaribu
Iptek Tanaman Pangan Vol 4, No 1 (2009): April 2009
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Teknologi budi daya padi, yang berlaku sejak tahun 1970-an mengabaikan penggunaan bahan organik sebagai pembentuk kesuburan tanah sawah dan petani menjadi bergantung sepenuhnya pada pupuk anorganik. Kandungan bahan organik tanah sawah menurun hingga mencapai batas kritis, yang oleh segolongan masyarakat direspon dengan teknologi hanya menggunakan masukan organik dan menolak digunakannya pupuk anorganik. Pada sistem ekologi alamiah yang seimbang dan berkelanjutan, daur ulang unsur karbon dan hara tanah lainnya terjadi secara tertutup in situ. Namun hal ini tidak sepenuhnya dapat dijadikan acuan sistem produksi pertanian berkelanjutan. Dalam sistem produksi pertanian berkelanjutan, selain aspek kelestarian dan mutu sumber daya dan lingkungan, mempersyaratkan aspek ekonomi, sosial dan kecukupan pangan keluarga, masyarakat dan seluruh warga bangsa, sehingga mengharuskan diperolehnya hasil panen yang optimal, yang berakibat terjadinya ekspor (pengeluaran) senyawa karbon dan hara lain dari ekologi lahan sawah. Sistem produksi berkelanjutan pada lahan sawah, diperoleh dengan menyediakan hara tanaman secara optimal yang berasal dari bahan organik dan pupuk anorganik. Bahan organik dalam tanah membangun kesuburan tanah secara fisik, kimiawi dan biologis, yang tidak dapat digantikan oleh sarana produksi lain. Saran kebijakan untuk meningkatkan kandungan bahan organik tanah meliputi memasukkan bahan organik sebagai bagian integral anjuran dosis pupuk; penggalakan kegiatan penyuluhan untuk pemahaman dan penyadaran petani akan pentingnya bahan organik sebagai pembentuk dan pemelihara kesuburan tanah, pembuatan peraturan daerah tentang larangan pembakaran jerami; pemberian insentif industri pengolahan limbah organik menjadi kompos; pembuatan ketentuan baku-mutu produk kompos; pengaitan tindakan pengayaan kandungan bahan organik tanah dengan kesempatan petani untuk dapat membeli pupuk anorganik bersubsidi; dan perlombaan antarhamparan lahan sawah dengan insentif hadiah. Disarankan untuk dicanangkan Gerakan Nasional Pengayaan Kandungan Bahan Organik Tanah Sawah (PBOT) selama lima tahun (2010-2015) guna mencapai kandungan bahan organik tanah lebih dari 1,5% dan tidak perlu mempermasalahkan kontroversi teknologi pertanian non-organik atau organik, karena pengembalian bahan organik ke dalam tanah memang merupakan bagian integral dari teknologi maju. Sumber hara berasal dari bahan organik bersifat komplementer dengan pupuk anorganik dalam penyediaan hara tanaman secara optimal bagi diperolehnya produksi padi yang optimal-ekonomis dan berkelanjutan.
Anomali Iklim 2006/2007 dan Saran Kebijakan Teknis Pencapaian Target Produksi Padi Sumarno Sumarno; J. Wargiono; Unang G. Kartasasmita; Andi Hasanuddin; J. Soejitno; Inu G. Ismail
Iptek Tanaman Pangan Vol 3, No 1 (2008): April 2008
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Studi analisis dampak anomali iklim dilaksanakan di enam kabupaten sentra produksi padi, Karawang dan Indramayu (Jawa Barat), Sragen dan Grobogan (Jawa Tengah), Lamongan dan Ngawi (Jawa Timur). Anomali iklim 2006/2007 dicirikan oleh terlambatnya awal musim hujan selama 1-2 bulan, yang berakibat mundurnya waktu tanam padi rendengan (MH 2006/2007) 1-2 bulan. Mundur masa tanam padi di Karawang mencapai 64%, Indramayu 61%, dan rata-rata Jawa Barat 41%. Mundur masa tanam padi di Jawa Tengah dan Jawa Timur masing-masing 28%. Masa tanam padi rendengan berlangsung dari Oktober 2006 sampai Maret 2007 secara tidak serempak, bergantung pada kemampuan kelompok tani dalam mengakses sumber air secara swadaya dari sumber air yang ada. Panen padi MH 2006/2007 terjadi secara kontinu, hampir merata dari bulan Februari sampai bulan Juli 2007, puncak panen terjadi pada bulan Maret dan April 2007, tetapi areal panen tidak terlalu luas dibandingkan dengan panen raya pada kondisi iklim normal. Tanam padi gadu MK 2007 mengalami ke- munduran dari normalnya, Maret-Mei, bergeser ke bulan Maret-Juli 2007, dan tanam tidak serempak. Saran kebijakan teknis untuk menyelamatkan produksi padi MK 2007 antara lain: (1) dibentuk Tim Pencukupan Kebutuhan Air di tingkat pusat, propinsi, kabupaten, dan kecamatan; (2) perbaikan prasarana irigasi; (3) penyediaan benih, pupuk, dan obat-obatan sampai di kios tani pedesaan; dan (4) pengamanan alokasi air irigasi secara adil dan merata. Teknologi untuk mengatasi permasalahan akibat terlambat tanam padi gadu adalah: (1) pengolahan tanah minimal untuk mempercepat tanam; (2) memperpendek waktu balik tanam dengan cara penyiapan pesemaian lebih awal; dan (3) penanaman benih langsung (direct seeding). Anomali iklim tahun 2006/2007 tidak berdampak negatif terhadap produksi padi secara keseluruhan karena produktivitas yang tinggi dari padi rendengan dan padi gadu akibat musim kemarau 2006 yang panjang dan curah hujan 2007 yang normal. Produksi padi di sentra produksi Jawa masih bergantung pada air hujan, bendungan yang ada belum mampu mengatasi kerentanan produksi akibat anomali iklim. Ketahanan pangan nasional masih sangat ditentukan oleh pola dan jumlah hujan serta kondisi iklim alamiah. Menghadapi anomali iklim, kesadaran pemakaian air secara hemat, efektif, dan efisien harus disosialisasikan kepada petani.
Pemahaman dan Kesiapan Petani Mengadopsi Padi Hibrida Sumarno Sumarno; Unang G. Kartasasmita; Inu Gandana Ismail; J. Soejitno
Iptek Tanaman Pangan Vol 3, No 2 (2008): Oktober 2008
Publisher : Puslitbang Tanaman Pangan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Padi hibrida dianjurkan sebagai komponen teknologi dalam Program Peningkatan Produksi Beras Nasional (P2BN) sejak MT 2006/2007. Untuk mengetahui tingkat pemahaman dan kesiapan petani dalam mengadopsi padi hibrida, dilakukan penelitian di enam kabupaten sentra produksi padi, masing-masing dua kabupaten di Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Penelitian menggunakan metode Pemahaman Pedesaan Partisipatif (Participatory Rural Appraisal), dengan responden kelompok tani padi, dua kelompok tani per kecamatan, dua kecamatan per kabupaten. Petani padi umumnya belum memahami berbagai aspek teknis varietas hibrida. Hibrida sebagai salah satu bentuk varietas, oleh petani diposisikan sejajar dengan nama varietas, sehingga semua varietas hibrida dinilai sama, dan nama varietas hibrida tidak dipentingkan. Petani belum memahami cara produksi benih padi hibrida, dan tidak mengerti alasan harga benih padi hibrida yang sangat mahal. Oleh sebagian petani, harga benih padi hibrida yang tinggi dianggap sebagai jaminan produktivitas yang tinggi. Harapan petani terhadap produktivitas padi hibrida sangat tinggi 20-60%di atas produksi varietas inbrida. Teknik budi daya padi hibrida yang tepat juga belum diketahui oleh petani. Dibandingkan dengan tanaman yang dikawal oleh peneliti-penyuluh, tanaman padi hibrida petani menunjukkan stabilitas hasil yang lebih rendah. Adopsi padi varietas hibrida pada tahun 2008-2009 diperkirakan masih rendah, karena harga benih yang dinilai mahal. Demo area padi hibrida skala luas diperlukan, 100-500 ha pada sentra produksi padi guna menyakinkan petani akan keunggulan padi hibrida. Untuk menyiapkan petani agar mengadopsi varietas hibrida disarankan hal-hal berikut: (1) lokakarya dan pelatihan padi hibrida bagi pejabat dinas pertanian dan penyuluh, (2) pelatihan dan penyuluhan padi hibrida diintensifkan, (3) penyediaan teknologi budi daya yang bersifat spesifik agroekologi, (4) sekolah lapang teknik budi daya padi hibrida pada areal demo 100-500 ha/ hamparan, (5) pemberian subsidi harga benih, (6) pelepasan varietas hibrida perlu persyaratan heterosis minimal 20% dan bersifat stabil, (7) guna menanggapi kekhawatiran masyarakat bahwa petani kehilangan kemandiriannya dalam penguasaan peyediaan benih, padi hibrida dianjurkan ditanam petani yang mengelola lahan seluas minimal 1 ha. Pilihan varietas yang paling tepat menurut petani merupakan penentu produktivitas yang terpenting, sehingga apabila varietas hibrida yang adaptif, berproduktivitas tinggi dan stabil telah teridentifikasi, maka adopsi varietas hibrida diperkirakan berjalan lebih cepat.