Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Keragaan beberapa pola usaha penangkapan ikan di laut oleh rakyat di Indonesia Abunawan Mintoro
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 10, No 2-1 (1993): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v10n2-1.1993.29-37

Abstract

IndonesianSelain pola usaha perikanan rakyat dengan TPI (Tempat Pelelangan Ikan) dibeberapa daerah di Indonesia terdapat pola lain, diantaranya ialah pola "toke" di Langkat Sumatera Utara, "penyambang" di Kalimantan Selatan, SSFDP (Small Scale Fisheries Development Project) di Lombok. "Toke" adalah pengusaha yang mengelola beberapa perahu penangkapan dalam hal penyediaan sarana penangkapan dengan dan tanpa kredit, pemrosesan ikan, memasarkan ikan, memberi kredit pada nelayan untuk keperluan rumahtangga. "Penyambang" adalah pedagang ikan yang dengan perahunya mengikuti nelayan bermigrasi musiman, selain membeli ikan "penyambang" juga menyediakan keperluan-keperluan pokok di lokasi nelayan bermigrasi. SSFDP adalah proyek pembinaan nelayan dengan dana bantuan dari Jerman melalui GTZ. Nelayan dibina dalam tehnik penangkapan dengan kapal bermotor yang dimiliki secara bersama oleh seluruh awak kapal dengan sistem kredit. Selain hal tersebut nelayan dididik dalam kelompok UB (Usaha Bersama) yang mengurusi keperluan nelayan untuk melaut. Dengan memperbandingkan keempat pola usaha tersebut dalam kegiatan pra-pasca penangkapan dan penangkapan didapatkan beberapa kesimpulan diantaranya: pola "penyambang" sesuai untuk daerah terpencil, kelompok nelayan heterogen (integrasi kegiatan pra-pasca penangkapan dan penangkapan dalam satu unit usaha) merupakan salah satu unit usaha) merupakan salahsatu alternatif pola pembinaan nelayan.
Perubahan Pendapatan Rumahtangga Transmigran di Delta Upang Sumatera Selatan: Kasus Desa Purwosari dan Purwodadi Abunawan Mintoro; nFN Sajogyo; nFN Iman
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 6, No 1 (1988): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v6n1.1988.18-25

Abstract

IndonesianPendapatan rumahtangga transmigran pada tahun 1976/77 rata-rata berkisar antara Rp 126.082, - atau ekuivalen 1189 kg beras sampai Rp 147.910,- atau ekuivalen 1395 kg beras. Pendapatan tertinggi didapat oleh rumahtangga transmigran umum, terendah pada rumahtangga transmigran Bugis (swakarsa). Tahun 1985/86 pendapatan rumahtangga rata-rata berkisar antara Rp 580.732,- atau ekuivalen 1936 kg beras sampai Rp 780.525,- atau ekuivalen 2602 kg beras. Pendapatan terendah didapat oelh rumahtangga transmigran umum dan tertinggi oleh transmigran swakarsa Jawa - Bali. Pada tahun 1985/86 tercatat 25 persen rumahtangga transmigran umum dan transmigran swakarsa Jawa - Bali berada di bawah garis kemiskinan (ukuran kemiskinan pendapatan/orang/tahun setara 240 kg beras). Seratus persen transmigran Bugis berada di atas garis kemiskinan. Peningkatan pendapatan rumahtangga dari tahun 1976/1977 sampai dengan 1985/1986 diwanai oleh peningkatan pendapatan dari peternakan terutama transmigran swakarsa Jawa - Bali yaitu meningkat 44 kali lebih besar dan transmigran Bugis sebesar 55 kali. Sebagai daerah pemukiman yang baru transmigran umum memerlukan kepemimpinan sosial terutama pada tahun pertama datang dan waktu sesudah subsidi pangan dari pemerintah ("jatah hidup") habis. Sistem pemasaran petani kecil (gurem) di pedesaan Jawa dengan sistem warung desa dilakukan di Delta Upang. Dengan cara tersebut petani (produsen) mendapatkan bagian lebih dari 50 persen harga jual eceran komoditi pertanian yang dijual.
Sistem pemasaran dan kredit informal pada nelayan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara Abunawan Mintoro
Forum penelitian Agro Ekonomi Vol 7, No 1 (1989): Forum Penelitian Agro Ekonomi
Publisher : Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/fae.v7n1.1989.35-43

Abstract

IndonesianSebagai suatu lembaga sosial hubungan tauke (pemilik modal) dan nelayan di kabupaten Langkat hidup dan berkembang secara mantap. Lembaga ini mampu menjangkau sampai tempat-tempat terpencil dan dapat berperanan memasarkan ikan, menarik modal dari luar desa (dari Medan), memberi kredit usaha penangkapan maupun biaya hidup kepada nelayan, dan secara tidak sengaja membentuk kelompok nelayan "agri business". Dalam kelompok tersebut nelayan diharuskan menjual ikan hasil tangkapannya lebih murah kira-kira 10-30 persen dari harga di luar (bebas). Dalam perkembangannya hubungan tauke-nelayan konvensional disaingi dengan munculnya pedagang ikan yang membeli di laut dengan menawarkan harga lebih baik. Gejala tersebut muncul kurang lebih 10 tahun yang lalu. Keadaan tersebut menguntungkan nelayan karena dapat mendorong peranan tauke sebagai "penguasa" menjadi "manager". Hal tersebut terutama terjadi di daerah pemukiman yang relatif terbuka (mudah transportasinya). Sebagai masukan dalam pembinaan nelayan (tauke + nelayan) kelompok tersebut dapat dijadikan kelompok independent dalam wadah KUD yang berasaskan keanekaragaman yang tidak sentral, dimana swadaya dan swadana menjadi tatakerja kelompok.