Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Hukum Mensucikan dan Mensalatkan Percampuran Tubuh Jena Ahmad Hafid Safrudin
El-Faqih : Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam Vol 4 No 2 (2018): EL-FAQIH
Publisher : Institut Agama Islam (IAI) Faqih Asy'ari Kediri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (393.861 KB) | DOI: 10.29062/faqih.v4i2.31

Abstract

Persoalan hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jenazah Muslim dan non-Muslim yang mana kondisi si mayat dalam keadaan tidak wajar, tidak sempurna ataupun tidak normal, dalam artian sebagian atau seluruh tubuh mayat tersebut sudah hancur lebur atau telah terpotong-potong dan tidak mungkin untuk dapat diidentifikasi lagi apakah ia seorang Muslim ataukah non-Muslim, sedangkan mayat-mayat tersebut telah berbaur menjadi satu antara keduanya dan tidak mungkin untuk dipisah-pisahkan lagi. Hal ini disebabkan karena perbedaan dalam tataran kaidah yang dijadikan istinbat hukum, yang pada akhirnya menghasilkan sebuah kesimpulan hukum yang berbeda pula. Persamaan pandangan antara Imam Abu Hanifah dan Imam asy-Syafi’i mengenai hukum mensucikan dan mensalatkan percampuran tubuh jena>zah Muslim dan non-Muslim terletak pada hukum memandikannya. Mereka sama-sama membolehkan untuk dimandikannya jenazah tersebut. Sedang perbedaan terjadi ketika berbicara mengenai hukum mensalatkannya, Imam Abu Hanifah mamandang tidak wajib bahkan haram untuk disalati, di lain pihak Imam asy-Syafi’i mewajibkan untuk disalatkannya mayat tersebut.
Peranan Hakim Pengadilan Agama dalam Pelaksanaan Hukum Islam dan Sosio Kultur Ahmad Hafid Safrudin
El-Faqih : Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam Vol 4 No 1 (2018): EL-FAQIH
Publisher : Institut Agama Islam (IAI) Faqih Asy'ari Kediri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (425.82 KB) | DOI: 10.29062/faqih.v4i1.34

Abstract

Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia "identik dengan pengadilan itu sendiri. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan. Berkanaan dengan itu, Hakim, dalam hal ini hakim pengadilan Agama, yang merupakan salah satu unsur dari komponen penegak hukum yang terlibat secara langsung dengan proses hukum akan berhadapan dengan suatu dilema persoalan. Di satu pihak, hakim pengadilan agama harus berpegang teguh pada Perangkat hukum yang berlaku. Sedangkan di lain pihak, hakim pengadilan agama harus memperhitungkan tingkat kesadaran masyarakat terhadap perangkat hukum tersebut. Selain itu, agar terjaminnya proses penegakan hukum, hakim pengadilan agama juga dihadapkan pada suatu permasalahan yang dilematis. Karena, keterlibatan hakim pengadilan agama terhadap salah satu ekstrema yang dilaksanakan secara berlebihan dapat mengakibatkan penyimpangan terhadap tujuan hukum itu sendiri, yaitu “keadilan”. Maka penelitian ini mencoba mengungkap sejauh mana dan bagaimana peran yang dilakukan oleh seorang hakim pengadilan agama dalam Hukum Islam (positif legality) yaitu hukum Islam yang dilegalkan dalam bentuk undang-undang yang berlaku pada Pengadilan Agama dan bagaimana peranannya pada kehidupan sosial dalam menegakkan keadilan bagi masyarakat. Hal ini penting dilakukan mengingat perannya yang sangat kompleks, yaitu menyelaraskan antara kapasitasnya sebagai penegak hukum, dan menjalankan perangkat hukum yang ada serta meningkatkan kesadaran hukum pada masyarakat. Penelitian ini sendiri mengambil dari berbagai sumber yang relevan, kemudian data-data tersebut dikumpulkan dan dianalisa dengan menggunakan metode deskriptif analisis, sehingga didapatkan kesimpulan yang akurat tentang permasalahan yang akan dibahas.
Status Harta Waris terhadap Anak Angkat Perspektif Adat Jawa dan KHI Ahmad Hafid Safrudin
El-Faqih : Jurnal Pemikiran dan Hukum Islam Vol 5 No 2 (2019): EL-FAQIH
Publisher : Institut Agama Islam (IAI) Faqih Asy'ari Kediri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (468.106 KB) | DOI: 10.29062/faqih.v5i2.70

Abstract

The presence of adopted children in the family allows for a high level of emotional bonding, which no longer separates one another. So, in time the adopted child can be counted as the person who deserves the property of foster parents after death. This is the result of what happened in the later days. In relation to the problem in this study, that the existence of the adopted child above has a position on the inheritance of treasures. According to Javanese customary law, although the child's appointment does not decide the child's relationship with the parent and adopted child does not become the child of the adoptive parents, but the adopted child is entitled to the inheritance of both the parents and the adoptive parents. Under Islamic law, although it is clear that Islam cannot accept the existence of an adopted child on his or her position on the inheritance of adoptive parents. However, KHI which is a legal written law that is applied as a special guideline for Muslims in resolving all legal issues including the position of the adopted child, in article 209 KHI explained that the adopted child is entitled to receive a testament of a general order of 1/3 from the heritage property of foster parents