W.M Herry Susilowati
Jurusan Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan, Bandung

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

TATA KELOLA LEMBAGA PENEGAK HUKUM TINDAK PIDANA KORUPSI DI INDONESIA W.M Herry Susilowati
Research Report - Humanities and Social Science Vol. 2 (2012)
Publisher : Research Report - Humanities and Social Science

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (4470.379 KB)

Abstract

Fenomena konflik kewenangan antar lembaga negara belakangan ini sering muncul terutama setelah lahirnya berbagai lembaga baru, baik berdasarkan UUD 1945 seperti Komisi Yudisial,  UU seperti KPK maupun Perpres dan Keppres yang bahkan lebih banyak lagi, diantaranya  UKP4 dan DNPI. Kelahiran lembaga-lembaga baru tersebut lebih banyak dipicu oleh ketidakefektifan lembaga-lembaga yang telah ada terlebih dahulu. Namun nyatanya sebelum hasil kerja lembaga-lembaga baru tersebut optimal, yang timbul justru konflik kewenangan antar lembaga, misalnya konflik yang paling hangat adalah antara KPK dan POLRI dalam kasus dugaan korupsi pengadaan simulator SIM. Berbagai komentar bahkan kajian singkat yang selama ini muncul ke permukaan mengenai kasus tersebut, baik dari akademisi, praktisi maupun berbagai pihak terkait, lebih banyak menyorot siapa sesungguhnya yang memiliki kewenangan berdasarkan interpretasi peraturan perundang-undangan yang terkait dengan kewenangan KPK dan POLRI atau kembali lagi mempertanyakan urgensi dari keberadaan KPK atau bahkan lembaga-lembaga baru secara keseluruhan, sampai batas tertentu. Komentar atau bahkan kajian singkat tersebut belum mencapai akar permasalahan dari konflik antar lembaga yang selama ini terjadi.  Oleh sebab itu, penelitian ini berupaya menemukan akar permasalahan melalui pendekatan uji tata kelola/governance lembaga negara terutama dikhususkan bagi lembaga negara penegak hukum tindak pidana korupsi. Konflik kewenangan semestinya tidak akan terjadi apabila semua regulasi, keputusan maupun aktifitas didasarkan pada tata kelola lembaga yang baik, bukan hanya berdasarkan kepentingan ‘sesaat’. Dari penelitian tersebut akan tampak potret tata kelola lembaga negara penegak hukum saat ini, selanjutnya apakah telah memenuhi standar tata kelola yang baik (good governance) dan dimana akar kemunculan konflik yang selama ini terjadi. Penyebab konflik kewenangan akan tampak dari penilaian terhadap kualitas elemen-elemen tata kelola lembaga di Indonesia. Untuk itu tujuan jangka panjang dari penelitian ini adalah menjadi salah satu bahan bagi pembaruan kebijakan lembaga negara di Indonesia. Sedangkan target khusus dari penelitian ini adalah menemukan konsep ideal dalam tata kelola kelembagaan negara yang sinergis dan efektif khususnya lembaga negara penegak hukum tindak pidana korupsi yakni KPK dan POLRI ke masa depan. Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode penelitian hukum normatif  yang dibantu dengan penelitian hukum empiris. Penelitian ini bersifat deskriptif analitis, jenis penelitian yang digunakan adalah “penelitian hukum normatif”  yang berarti jenis penelitian yang fokus kajiannya menitikberatkan pada asas-asas hukum dan kaidah-kaidah hukum yang terdapat dalam berbagai ketentuan perundang-undangan yang berlaku maupun teori-teori hukum yang tersebar dalam berbagai literatur. Kajian difokuskan pada lembaga penegak hukum tindak pidana korupsi dalam hal ini KPK dan POLRI untuk mempersempit wilayah kajian dari lembaga penegak hukum secara umum atau lembaga negara secara keseluruhan. Penemuan potret tata kelola lembaga negara penegak hukum tindak pidana korupsi beserta penilaian kualitasnya berdasarkan pada 1) studi pustaka baik dari buku, jurnal ataupun artikel terkait dengan teori kelembagaan negara dan tata kelola/governance. Selain itu, dari kebijakan dan peraturan perundang-undangan terkait dengan lembaga negara penegak hukum tindak pidana korupsi 2) studi perbandingan dengan tata kelola lembaga di negara-negara lain, 3) wawancara dengan beberapa pejabat dari KPK, Kepolisian dan MK 4) beberapa diskusi yang bertujuan untuk mendapat masukan baik dari para ahli maupun pihak lain yang terkait. Berdasar pada temuan di lapangan dan analisis terhadap data yang diperoleh, maka dikemukakan konsep membangun tata kelola lembaga penegak hukum yang sinergis dan efektif dalam pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia, yakni dengan menata secara tegas kewenangan lembaga-lembaga penegak hukum tindak pidana korupsi dengan memperhatikan system checks and balances melalui peraturan perundang-undangan yang berjenis Undang-Undang.  Saat ini sebagaimana ketentuan UU No.30 Tahun 2002, maka peran KPK harus dikedepankan, sampai pada saat lembaga permanen yakni POLRI dan Kejaksaan telah dapat melaksanakan tugas, wewenangnya secara maksimal dan professional. Kata kunci :    tata kelola, lembaga penegak hokum, POLRI, KPK, tindak pidana korupsi.
PENGHENTIAN PENYIDIKAN: TINJAUAN HUKUM ADMINISTRASI DAN HUKUM ACARA PIDANA Maria Ulfah; Anne Safrina; W.M. Herry Susilowati
Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 29, No 1 (2017)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (423.507 KB) | DOI: 10.22146/jmh.17641

Abstract

AbstractThis article discusses the police’s authority to stop ongoing criminal investigation, i.e. by the issuance of an Instruction Letter to Cease Criminal Investigation and how it is at present used in practice.  This article is based on a legal reseach conducted on the basis of a legal dogmatic and socio-legal (criminal procedural and administrative law) approach. The research conducted reveals that the police enjoy great discretionary powers when deciding how and when to discontinue criminal investigations. The use of this power is regulated internally outside the purviews of the general public. In practice the police’s discretionary power to decide on the basis of its own wisdom is prone to be used for other social-political or even short term economic interest. IntisariTulisan ini membahas kewenangan diskresioner penyidik dari Kepolisian untuk menghentikan penyidikan melalui penerbitan Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3) serta penggunaannya dalam praktik. Tulisan ini didasarkan pada penelitian hukum yang menggunakan pendekatan yuridis normatif (dogmatis) dan socio-legal di bidang hukum acara pidana dan hukum administrasi. Penelitian ini menunjukkan bahwa penyidik menikmati kewenangan diskresioner yang sangat luas untuk menentukan kapan dan bagaimana penyidikan dihentikan.  Penggunaan kewenangan ini diatur melalui peraturan-peraturan internal yang pelaksanaannya berada di luar pengawasan masyarakat umum.  Dalam praktiknya bagaimana kewenangan ini digunakan atas dasar kebijakan penyidik seringkali dilandaskan pada tujuan mencapai ragam tujuan sosial-politik bahkan tujuan ekonomi jangka pendek.  
APPLICATION OF FAST-TRACK LEGISLATION METHOD IN PRESIDENTIAL SYSTEM OF GOVERNMENT IN INDONESIA Susilowati, Wand Mei Herry
Cepalo Vol 8 No 1 (2024)
Publisher : Universitas Lampung

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25041/cepalo.v8no1.3346

Abstract

The amendment of the 1945 Constitution is strengthening the Indonesian presidential system of government by granting the President the authority to issue Government Regulations in Lieu of Laws (Perppu) in response to urgent situations. Additionally, the President and DPR (House of Representatives) jointly discussed and ratified draft laws, providing the President legislative authority in normal, abnormal, or urgent circumstances. When a president with majority parliamentary support holds legislative power, it suggests that parliament has delegated the legislative power to the executive. The current phenomenon shows numerous Perppu issued that may deviate from the provisions of Article 22 paragraph (1) of the 1945 Constitution and Constitutional Court Decision No.138/PUU-VII/2009 giving juridical interpretation to “compelling urgency”. Simultaneously, there is a rise in flash legislation that seems “rushed” in the formation aiming to meet legislative targets. For instance, the Job Creation Bill in Indonesia took 167 days to be enacted despite consolidating 79 laws into a single policy. In Indonesia's presidential system of government, the DPR holds the power to form laws as observed in Article 20 of the 1945 Constitution. This suggests that the fast-track legislation method should strengthen the presidential system, especially in legislation. However, numerous Perppu continue to be issued representing executive authority in legislation. The fast-track method lacks regulation in Indonesian positive law due to the following questions arising, (1) What is the relationship between the fast-track legislation method and Indonesia's presidential system? and (2) How should the fast-track legislation method be ideally applied in law formation according to the 1945 Constitution amendments? Therefore, this research aimed to offer a concept for applying the fast-track legislation method in Indonesia’s presidential system of government according to the 1945 Constitution. A qualitative method was adopted in the research using statutory, conceptual, comparative, and case methodologies. The statutory method included reviewing and identifying laws as well as regulations related to the problem’s formulation. The conceptual method deviated from the doctrine or views in law, particularly constitutional law relating to the formation of laws and regulations using the fast-track legislation method in Indonesia’s presidential system of government. The results found that applying the fast-track legislation method in the Indonesian presidential system to hasten the formation of laws could balance the legislative authority of the President in issuing Perppu, thereby reducing the issuance. Additionally, the fast-track legislation method would further strengthen and purify the presidential system with checks and balances between the executive and legislative institutions. In this method, the procedures would remain consistent with normal law formation provisions, ensuring public participation, information disclosure, and transparency. Therefore, the research recommended that the fast-track method be used for law formation with strict regulations in the presidential system. This should also adhere to guidelines for creating good laws and regulations and providing ample space for public participation in every step while upholding democratic principles.