Mirja Fauzul Hamdi
Dosen Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

Tinjauan Yuridis Empiris Peraturan Presiden Nomor 166 Tahun 2014 Tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan Oleh Pemerintah Aceh Nisaul Farazdhila; Mirja Fauzul Hamdi
Jurnal Ilmiah Mahasiswa Bidang Hukum Kenegaraan Vol 3, No 3: Agustus 2019
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Untuk mendukung mengurangi angka kemiskinan, telah dibentuk Tim Koordinasi Program Percepatan Penanggungan Kemiskinan berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 166 Tahun 2014 tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan yang berisikan Program-Program Kesejahteraan Sosial salah satunya termasuk permasalahan kemiskinan. Berdasarkan data pada Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Aceh pada bulan Maret 2018 menunjukkan Aceh menempati peringkat ke-6 se-indonesia dan ke-1 se-Sumatera sebagai daerah termiskin. Penelitian ini bertujuan untuk menjelaskan penerapan Peraturan Presiden Nomor 166 tahun 2014 tentang program percepatan penanggulangan kemiskinan yang dilakukan Pemerintah Aceh, Faktor yang mempengaruhi kurang maksimalnya penanggulangan kemiskinan di Aceh, serta upaya yang dilakukan dalam penanggulangan Kemiskinan di Aceh. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa penerapan Peraturan Presiden Nomor 166 Tahun 2014 tentang Program Percepatan Penanggulangan Kemiskinan oleh pemeritah Aceh belum maksimal. Faktor tidak maksimal pengurangan kemiskinan dikarenakan belum adanya kesatuan Data kemiskinan dan tidak adanya sinergi dari berbagai pihak dalam menanggulangi masalah kemiskinan. Disarankan agar Pemerintah Aceh melakukan Evaluasi terhadap pelaksaan program tersebut, memperbanyak penyediaan fasilitas balai pelatihan serta berpusat pada satu data yaitu BDT agar dapat menghasilkan hasil yang maksimal dalam penanggulangan kemiskinan.
KEWENANGAN PEMERINTAH TERHADAP KESELAMATAN DAN KEAMANAN PERAIRAN INDONESIA Mirja Fauzul Hamdi
Jurnal Hukum Samudra Keadilan Vol 11 No 1 (2016)
Publisher : Fakultas Hukum, Universitas Samudra

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (363.183 KB)

Abstract

Sebagai Negara maritime, Indonesia mempunyai luas laut yang besar. Atas dasar tersebut maka seyogyanya diatur dalam kebijakan nasional yaitu UU No. 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran. Tujuan dari pada pengesahan undang-undang tersebut yaitu memberikan perlindungan dan keselamatan bagi kapal dan transportasi laut sejenisnya. Dalam undang-undang tersebut pula diatur tentang tanggung jawab pemerintah dalam pengelolaan keselamatan serta keamanan perairan di Indonesia. Tulisan ini ingin mengkaji kewenangan pemerintah atas keselamatan dan keamanan perairan menurut undang-undang dan faktor penghambatnya.
Implementasi Hak Interpelasi Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Terhadap Peraturan Gubernur Nomor 5 Tahun 2018 Tentang Pelaksanaan Hukum Acara Jinayah M. Faza Adhyaksa; Mirja Fauzul Hamdi
Syiah Kuala Law Journal Vol 4, No 2: Agustus 2020
Publisher : Magister Ilmu Hukum Fakultas Hukum Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (459.362 KB) | DOI: 10.24815/sklj.v4i2.17771

Abstract

Undang-undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah Pasal 106 ayat 2 menjelaskan Hak Interpelasi adalah hak Dewan Perwakilan Rakyat Daerah  Provinsi untuk meminta keterangan kepada gubernur mengenai kebijakan pemerintah daerah provinsi yang penting dan strategis serta berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat dan bernegara.Hak interpelasi pernah digunakan oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh Periode 2014-2019 terkait dengan beberapa kebijakan dan aturan baru yang dikeluarkan oleh gubernur Aceh. Berdasarkan hasil penelitian, DPRA menggunakan hak interpelasiterkaitpenerbitanPergub terhadap gubernur Aceh, urgenitasnya adalah didalam Pergub Nomor 5 Tahun 2018, pasal 30 mengatur hukuman cambuk dilakukan di tempat tertutup (rutan/lapas), hal ini bertentangan dengan penjelasan Qanun Nomor 7 Tahun 2013, pasal 262dimana hukuman cambuk dilakukan ditempat terbuka dan dapat dilihat oleh orang yang hadir.Gubernur memberikan penjelasan penerbitan Pergub tersebut hanya sebagai peraturan pelaksana Qanun saja. Secara hierarki, kedudukan Perda Provinsi (Qanun) lebih tinggi dari Pergub, apabila Pergub bertentangan dengan Qanun maka Pergub tersebut batal demi hukum. DPRA jugamengajukan gugatan ke Mahkamah Agung.Dalam putusannya, MA menolak permohonan gugatan atau uji materi yang diajukan DPRA, karena menurut MA jika terdapat penyimpangan dalam pelaksanaan Qanun Aceh, maka DPRA dapat menggunakanHak Interpelasi sesuai dengan mekanisme pengawasan yang diatur dalam UUPA.
Rekonstruksi Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah Setelah Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-XII/2014 Mirja Fauzul Hamdi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 20, No 1 (2018): Vol. 20, No. 1, (April 2018)
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v20i1.9767

Abstract

Keberadaan DPD yang diatur berdasarkan Undang-Undang No. 17/2014 masih dinilai diskriminatif dalam pelaksanaan kewenangan, khususnya bidang legislasi dibandingkan dengan Dewan Perwakilan Rakyat. Upaya pengujian undang-undang dilakukan oleh DPD ditujukan guna menjamin kemandirian lembaga sebagaimana amanah Undang-Undang Dasar Tahun 1945. Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 79/PUU-XII/2014 merupakan suatu bentuk rekonstruksi hukum yang dijadikan sebagai dasar hukum bagi DPD dalam menjalan kewenangan bidang legislasi. Reconstruction of Regional Representative Council after the Decission of Constitutional Law No. 79/PUU-XII/2014 The existence of The Regional Representative Council that regulated by Law No. 17/2014 remain discriminative in exercising their authority, particulary in legislative function and compare to the House of representative.  The Regional Representative Council has conducted a legal review to ensure the independency of it institution as regulate by Constitution 1945. Based on the decission of the Constitutional Court No. 79/PUU-XII/2014 as the legal standing for DPD in exercising their legislative authority.
Reformulation of the Position of Auxiliary State Institutions as Legal Standing Related to Authority Disputes of State Institution Mirja Fauzul Hamdi
Kanun Jurnal Ilmu Hukum Vol 23, No 1 (2021): Vol. 23, No. 1, April 2021
Publisher : Universitas Syiah Kuala

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24815/kanun.v23i1.19869

Abstract

This research aims to examine the reformulation meaning of legal standing of state institutions in authority disputes cases between state institutions and the juridical implications of the legal standing of auxiliary state institutions as parties in the authority disputes cases of state institutions. Authority disputes may arise along with the development of state institutions based on their needs and interests in dealing with certain legal issues. This approach uses a normative method with descriptive analytical specifications. The results of the study show that the meaning of state institutions which can be the legal standing in the authority disputes cases between state institutions is not only interpreted by state institutions that are formed and given authority according to the 1945 Constitution. Auxiliary state institutions, which on the one hand carry out their functions as a form of derivation from the 1945 Constitution, can become state institutions litigating at the Constitutional Court. Regarding the implications of determining legal standing for state institutions that are formed by laws to litigate at the Constitutional Court, in fact it does not change the authority of the Constitutional Court itself according to Article 24c of the 1945 Constitution. The state institutions that become the legal standing at the Constitutional Court must of course be able to prove that their objectum litis is a derivation of the constitution.