- Hariyanto
Unknown Affiliation

Published : 11 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 11 Documents
Search

PREFERENSI PERMUKIMAN DAN ANTISIPASI PENDUDUK YANG TINGGAL DI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KOTA SEMARANG hariyanto, -; Suharini, Erni
Jurnal Geografi Vol 6, No 2 (2009): July 2009
Publisher : Jurnal Geografi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi kelangsungan hidupnya. Karena berbagai faktor, terkadang manusia rela tinggal di daerah yang rawan bencana seperti longsor. Sebagian dari mereka tidak mengetahui bahaya yang mengacam mereka, sebagian lain ada yang sudah mengetahui resiko yang mungkin terjadi, kemudia mereka membuat langkah-langkah antisipasinya. Oleh karena itu permasalahan yang muncul adalah bagaimana cara mereka para penduduk yang bertempat tinggal di daerah rawan lonsoran tersebut dalam menanggapi dan melakukan antisipasi dalam menghadapai ancaman bencana. Mereka yang tinggal di daerah rawan longsor mempunyai motivasi yang berlainan. Motivasi dan langkah antisipasi inilah yang menajdi tujuan dari penelitian ini. Populasi penelitian ini adalah mereka (KK) yang tinggal di daerah rawan longsor di kota Semarang. Identifikasi daerah rawan longsor dilihat dari topografi/kemiringan lereng dan formasi batuan (formasi Kalibiuk) yang meliputi Kecamatan Tembalang, Gunungpati, dan Ngalian. Sampel KK diambil acak dari ketiga kecamtan tersebut (purposive sampling) sebanyak 50 KK. Variabelnya adalah preferensi permukiman penduduk, Metode pengumpulan data yang digunakan dengan panduan wawancara, sedangkan analisis data secara deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian mereka yang tinggal di daerah rawan longsor terbagi dalam dua kelas yakni pendatang dan penduduk asli. Para pendatang umumnya tinggal di perumahan missal yang dibangun pengembang, tingkat ekonomi mereka lebih tinggi, mata pencaharian non pertanian. Sebaliknya penduduk asli membangun rumah sendiri, tingkat ekonomi lebih rendah dari pada pendatang, matapencaharian petani atau sektor informal lain. Motivasi pendatang memilih tinggal di sini karena pertimbangan dekat dengan tempat kerja, aksesibilitas tinggi, harga terjangkau. Bagi penduduk asli karena tanah warisan dan sumber penghidupan disini (sawah, tegalan). Baik pendatang dan penduduk asli sudah mengetahui resiko longsor. Hanya mereka berbeda dalam mengapresiasi terhadap longsor. Pendatang mengantisipasi dengan rekayasa teknis seperti memperkuat tulang bangunan, membuat tanggul, sampai reboisasi. Penduduk asli memandang longsor sebagai kejadian alami sehingga tidak perlu antisipasi dengan rekayasa teknis, mereka hanya melakukan reboisasi. Satu hal yang belum dilakukan oleh mereka baik pendatang maupun penduduk asli adalah sosialisasi pada anak-naka mereka bagaimana cara menyelamatkan diri seandainya longsor benar-benar terjadi. Kata kunci : Kesiapan penduduk, daerah rawan longsor, longsor
KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH hariyanto, -
Jurnal Geografi Vol 4, No 1 (2007): January 2007
Publisher : Jurnal Geografi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Indonesia sebagai negara besar dengan kompleksitas yang dimiliki membutuhkan adanya suatu perencanaan ruang yang matang dan terkoordinasi dengan baik. Konsep pengembangan wilayah dan penataan ruang yang begitu banyak,perlu dipadukan dalam implementasinya mengingat keragaman potensi fisik-sosial-ekonomi-dan budaya.Pada bagian selanjutnya,dipaparkan isu-isu strategi penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia kaitanya dengan pelaksanaan otonomi daerah.Pada bagian akhir dari tulisan ini disampaikan kebijakan dan strategi penataan ruang yang dilakukan pemerintah dalam upaya mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan wilayah sekaligus mengatasi berbagai permasalahan aktuan pembangunan Kata kunci : Pengembangan wilayah, penataan ruang, otonomi daerah
POLA DAN INTENSITAS KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KOTA SEMARANG TAHUN 2000-2009 hariyanto, -
Jurnal Geografi Vol 7, No 1 (2010): January 2010
Publisher : Jurnal Geografi

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Konversi lahan pertanian adalah fenomena yang tidak dapat dihindari bagi kota-kota besar seperti halnya kota Semarang. Desakan kebutuhan lahan untuk pembangunan begitu kuat, sementara luas lahan terbatas. Selama ini lahan pertanian mempunyai land rent yang rendah dibanding sektor lain, akibatnya lahan pertanian secara secara terus menerus akan mengalami konversi lahan ke nonpertanian. Padahal lahan pertanian (sawah) selain mempunyai nilai ekonomi sebagai penyangga kebutuhan pangan, juga berfungsi ekologi seperti mengatur tata air, penyerapan karbon di udara dan sebagainya. Konversi lahan ini akan menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola dan intensitas konversi lahan pertanian di Kota semarang dari tahun 2000-2009. Pola konversi lahan meliputi dari penggunaan lahan apa menjadi apa, dan dimana saja konversi lahan terjadi. Intensitas meliputi kecepatan rata-rata pertahun atau kumulatif selama sepuluh tahun terakhir. Metode yang digunakan adalah pendekatan statistik (data luas lahan pertanian dari BPS) dan peta penggunaan lahan dari BPN. Data statistik untuk melihat intensitas konversi lahan, data dari peta untuk melihat penyebarannya. Hasil penelitian terjadi konversi lahan pertanian seluas 60,63 ha selama kurun waktu 2000-2009, tetapi juga diimbangi pencetakan sawah baru (akibat pembangunan irigasi) seluas 79,32 ha. Meskipun demikian pada dasarnya luas lahan pertanian berkurang, sebab sawah baru tersebut berasal dari lahan pertanian juga (tegal, sawah tadah hujan dan sebagaianya). Dengan luas sawah sekarang (2009) 3.980 ha, dengan intensitas konversi yang sama (60,63 ha); diprediksi dalam 66 tahun lagi sawah di Kota Semarang akan habis. Bahkan tidak sampai waktu itu jika intensitasnya terus bertambah. Pola konversi terjadi di daerah pinggiran seperti Kecamatan Gunungpati, Tembalang, Gayamsari. Simpulan perlu ada upaya untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, baik intensitasnya maupun distribusinya. Konversi lahan pertanian harus diarahkan pada lahan yang kurang subur dan tidak beririgasi teknik. Keberadaan lahan sawah harus dipertahankan terutama untuk daerah yang berfungsi resapan seperti Kecamatan Gunungpati, Mijen, Banyumanik, Ngalian. Jika hal ini diabaikan akan berdampak buruk bagi kota bawah terutama masalah banjir. Kata kunci : Konversi lahan, pola konversi, intensitas konversi
PREFERENSI PERMUKIMAN DAN ANTISIPASI PENDUDUK YANG TINGGAL DI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KOTA SEMARANG hariyanto, -; Suharini, Erni
Jurnal Geografi : Media Informasi Pengembangan dan Profesi Kegeografian Vol 6, No 2 (2009): July 2009
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jg.v6i2.93

Abstract

Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi kelangsungan hidupnya. Karena berbagai faktor, terkadang manusia rela tinggal di daerah yang rawan bencana seperti longsor. Sebagian dari mereka tidak mengetahui bahaya yang mengacam mereka, sebagian lain ada yang sudah mengetahui resiko yang mungkin terjadi, kemudia mereka membuat langkah-langkah antisipasinya. Oleh karena itu permasalahan yang muncul adalah bagaimana cara mereka para penduduk yang bertempat tinggal di daerah rawan lonsoran tersebut dalam menanggapi dan melakukan antisipasi dalam menghadapai ancaman bencana. Mereka yang tinggal di daerah rawan longsor mempunyai motivasi yang berlainan. Motivasi dan langkah antisipasi inilah yang menajdi tujuan dari penelitian ini. Populasi penelitian ini adalah mereka (KK) yang tinggal di daerah rawan longsor di kota Semarang. Identifikasi daerah rawan longsor dilihat dari topografi/kemiringan lereng dan formasi batuan (formasi Kalibiuk) yang meliputi Kecamatan Tembalang, Gunungpati, dan Ngalian. Sampel KK diambil acak dari ketiga kecamtan tersebut (purposive sampling) sebanyak 50 KK. Variabelnya adalah preferensi permukiman penduduk, Metode pengumpulan data yang digunakan dengan panduan wawancara, sedangkan analisis data secara deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian mereka yang tinggal di daerah rawan longsor terbagi dalam dua kelas yakni pendatang dan penduduk asli. Para pendatang umumnya tinggal di perumahan missal yang dibangun pengembang, tingkat ekonomi mereka lebih tinggi, mata pencaharian non pertanian. Sebaliknya penduduk asli membangun rumah sendiri, tingkat ekonomi lebih rendah dari pada pendatang, matapencaharian petani atau sektor informal lain. Motivasi pendatang memilih tinggal di sini karena pertimbangan dekat dengan tempat kerja, aksesibilitas tinggi, harga terjangkau. Bagi penduduk asli karena tanah warisan dan sumber penghidupan disini (sawah, tegalan). Baik pendatang dan penduduk asli sudah mengetahui resiko longsor. Hanya mereka berbeda dalam mengapresiasi terhadap longsor. Pendatang mengantisipasi dengan rekayasa teknis seperti memperkuat tulang bangunan, membuat tanggul, sampai reboisasi. Penduduk asli memandang longsor sebagai kejadian alami sehingga tidak perlu antisipasi dengan rekayasa teknis, mereka hanya melakukan reboisasi. Satu hal yang belum dilakukan oleh mereka baik pendatang maupun penduduk asli adalah sosialisasi pada anak-naka mereka bagaimana cara menyelamatkan diri seandainya longsor benar-benar terjadi. Kata kunci : Kesiapan penduduk, daerah rawan longsor, longsor
KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH hariyanto, -
Jurnal Geografi : Media Informasi Pengembangan dan Profesi Kegeografian Vol 4, No 1 (2007): January 2007
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jg.v4i1.107

Abstract

Indonesia sebagai negara besar dengan kompleksitas yang dimiliki membutuhkan adanya suatu perencanaan ruang yang matang dan terkoordinasi dengan baik. Konsep pengembangan wilayah dan penataan ruang yang begitu banyak,perlu dipadukan dalam implementasinya mengingat keragaman potensi fisik-sosial-ekonomi-dan budaya.Pada bagian selanjutnya,dipaparkan isu-isu strategi penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia kaitanya dengan pelaksanaan otonomi daerah.Pada bagian akhir dari tulisan ini disampaikan kebijakan dan strategi penataan ruang yang dilakukan pemerintah dalam upaya mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan wilayah sekaligus mengatasi berbagai permasalahan aktuan pembangunan Kata kunci : Pengembangan wilayah, penataan ruang, otonomi daerah
POLA DAN INTENSITAS KONVERSI LAHAN PERTANIAN DI KOTA SEMARANG TAHUN 2000-2009 hariyanto, -
Jurnal Geografi : Media Informasi Pengembangan dan Profesi Kegeografian Vol 7, No 1 (2010): January 2010
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jg.v7i1.86

Abstract

Konversi lahan pertanian adalah fenomena yang tidak dapat dihindari bagi kota-kota besar seperti halnya kota Semarang. Desakan kebutuhan lahan untuk pembangunan begitu kuat, sementara luas lahan terbatas. Selama ini lahan pertanian mempunyai land rent yang rendah dibanding sektor lain, akibatnya lahan pertanian secara secara terus menerus akan mengalami konversi lahan ke nonpertanian. Padahal lahan pertanian (sawah) selain mempunyai nilai ekonomi sebagai penyangga kebutuhan pangan, juga berfungsi ekologi seperti mengatur tata air, penyerapan karbon di udara dan sebagainya. Konversi lahan ini akan menimbulkan dampak buruk bagi lingkungan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pola dan intensitas konversi lahan pertanian di Kota semarang dari tahun 2000-2009. Pola konversi lahan meliputi dari penggunaan lahan apa menjadi apa, dan dimana saja konversi lahan terjadi. Intensitas meliputi kecepatan rata-rata pertahun atau kumulatif selama sepuluh tahun terakhir. Metode yang digunakan adalah pendekatan statistik (data luas lahan pertanian dari BPS) dan peta penggunaan lahan dari BPN. Data statistik untuk melihat intensitas konversi lahan, data dari peta untuk melihat penyebarannya. Hasil penelitian terjadi konversi lahan pertanian seluas 60,63 ha selama kurun waktu 2000-2009, tetapi juga diimbangi pencetakan sawah baru (akibat pembangunan irigasi) seluas 79,32 ha. Meskipun demikian pada dasarnya luas lahan pertanian berkurang, sebab sawah baru tersebut berasal dari lahan pertanian juga (tegal, sawah tadah hujan dan sebagaianya). Dengan luas sawah sekarang (2009) 3.980 ha, dengan intensitas konversi yang sama (60,63 ha); diprediksi dalam 66 tahun lagi sawah di Kota Semarang akan habis. Bahkan tidak sampai waktu itu jika intensitasnya terus bertambah. Pola konversi terjadi di daerah pinggiran seperti Kecamatan Gunungpati, Tembalang, Gayamsari. Simpulan perlu ada upaya untuk mengendalikan konversi lahan pertanian, baik intensitasnya maupun distribusinya. Konversi lahan pertanian harus diarahkan pada lahan yang kurang subur dan tidak beririgasi teknik. Keberadaan lahan sawah harus dipertahankan terutama untuk daerah yang berfungsi resapan seperti Kecamatan Gunungpati, Mijen, Banyumanik, Ngalian. Jika hal ini diabaikan akan berdampak buruk bagi kota bawah terutama masalah banjir. Kata kunci : Konversi lahan, pola konversi, intensitas konversi
KESIAPAN PENDUDUK PEMUKIM DI DAERAH RAWAN LONGSOR KOTA SEMARANG Suharini, Erni; Hariyanto, -
Forum Ilmu Sosial Vol 35, No 2 (2008): December 2008
Publisher : Faculty of Social Science, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/fis.v35i2.1295

Abstract

Every man needs a place to live in a safe and comfortable for the continuance of his life. Due tovarious factors, the human desire to live in areas prone to disasters such as landslides. Some of them donot know the danger they mengacam, there are some others who already know the risks that might occur,and then they make the steps antisipasinya. Those who live in landslide-prone areas have a differentmotivation. Motivation and the anticipation is what menajdi purpose of this research. Population researchis their (families) who live in areas prone to landslides in the city of Semarang. Identification of areasprone to landslides views of the topography / slope gradient and rock formation (formation Kalibiuk),which includes District Tembalang, Gunungpati, and Ngalian. Sample taken from the third kecamtan(purposively sampling) of 50 families. Data analyzed in quantitative descriptive. Results of research thatthey live in areas prone to landslides divided in two klas namely immigrants and native inhabitants. Themigrants generally live in housing built by developers who missal, their economic level is higher, nonagriculturallivelihoods. Instead of the native build their own home, a lower level of economic migrantson, livelihood of farmers or other informal sectors. Motivation migrants choose to stay here because ofthe consideration is close to the work, accessibility, high price. For the native land because of inheritanceand a source of livelihood here (rice field, moor). Both newcomers and the natives already know the riskof landslides. They differ only in mengapresiasi against landslides. Immigrants with anticipating technicalengineering building, such as strengthening the bones, make a levee, to reforestation. Erosion of the nativelook as natural occurrence, so no need to anticipate the technical engineering, they just do reforestation.One thing that has not been done by both migrants and their native population is on the socialization oftheir children Naka-how to save themselves in case landslides really happened.Keywords: Readiness of the population, the area prone to landslides, erosion
PENGELOLAAN SAMPAH DI KOTA SEMARANG UNTUK MENUJU KOTA BERSIH Hariyanto, -; Ariyani, -
Forum Ilmu Sosial Vol 38, No 1 (2011): June 2011
Publisher : Faculty of Social Science, Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/fis.v38i1.1741

Abstract

Waste is derived from human activites. The amount or volume of waste is equivalent with level of material consumption used everday. The growth of population and socety economic growth will increase waste production. Population growth of Semarang City in 2003-2008 is 1,48% with the amount of populatioan is 1,48 million  (2008). The certainly will create big amount of waste. The aim of this research is 1) to know how big is the amount of waste volume produced dy Semarang citizen, 2) to know how is the waste management in Semarang City to achieve “Adipura City”. Research methodology which is used is quantitative descriptive. Research population is the citizen of Semarang City, the sample is 70 family head taken using purposive random sampling. The result of the research shows that the volume waste produced is 1.000-1.500 ton per day, with waste development 8-12% per year. Waste volume is infuenced by the number of person in each family, economic level and kind of activities. From that volume, 61,2% is industri waste and in the rest is non-industri. In the case of waste management, only 31% of waste is taken to fnal disposal, 53% of waste is burnt or burried, 15% is thrown to river/ditch, and 1,5% of waste is made compost. The society regards maste problem as government bussines, not personal individual bussines. Waste management approach emphasizes more on post-production waste management, instead of directing to the effort to decrease waste volume before production. Keywords: Waste, waste management
KONSEP PENGEMBANGAN WILAYAH DAN PENATAAN RUANG INDONESIA DI ERA OTONOMI DAERAH - hariyanto
Jurnal Geografi : Media Informasi Pengembangan dan Profesi Kegeografian Vol 4, No 1 (2007)
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jg.v4i1.107

Abstract

Indonesia sebagai negara besar dengan kompleksitas yang dimiliki membutuhkan adanya suatu perencanaan ruang yang matang dan terkoordinasi dengan baik. Konsep pengembangan wilayah dan penataan ruang yang begitu banyak,perlu dipadukan dalam implementasinya mengingat keragaman potensi fisik-sosial-ekonomi-dan budaya.Pada bagian selanjutnya,dipaparkan isu-isu strategi penyelenggaraan penataan ruang di Indonesia kaitanya dengan pelaksanaan otonomi daerah.Pada bagian akhir dari tulisan ini disampaikan kebijakan dan strategi penataan ruang yang dilakukan pemerintah dalam upaya mewujudkan tujuan dan sasaran pengembangan wilayah sekaligus mengatasi berbagai permasalahan aktuan pembangunan Kata kunci : Pengembangan wilayah, penataan ruang, otonomi daerah
PREFERENSI PERMUKIMAN DAN ANTISIPASI PENDUDUK YANG TINGGAL DI DAERAH RAWAN LONGSOR DI KOTA SEMARANG - hariyanto; Erni Suharini
Jurnal Geografi : Media Informasi Pengembangan dan Profesi Kegeografian Vol 6, No 2 (2009)
Publisher : Universitas Negeri Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15294/jg.v6i2.93

Abstract

Setiap manusia membutuhkan tempat tinggal yang aman dan nyaman bagi kelangsungan hidupnya. Karena berbagai faktor, terkadang manusia rela tinggal di daerah yang rawan bencana seperti longsor. Sebagian dari mereka tidak mengetahui bahaya yang mengacam mereka, sebagian lain ada yang sudah mengetahui resiko yang mungkin terjadi, kemudia mereka membuat langkah-langkah antisipasinya. Oleh karena itu permasalahan yang muncul adalah bagaimana cara mereka para penduduk yang bertempat tinggal di daerah rawan lonsoran tersebut dalam menanggapi dan melakukan antisipasi dalam menghadapai ancaman bencana. Mereka yang tinggal di daerah rawan longsor mempunyai motivasi yang berlainan. Motivasi dan langkah antisipasi inilah yang menajdi tujuan dari penelitian ini. Populasi penelitian ini adalah mereka (KK) yang tinggal di daerah rawan longsor di kota Semarang. Identifikasi daerah rawan longsor dilihat dari topografi/kemiringan lereng dan formasi batuan (formasi Kalibiuk) yang meliputi Kecamatan Tembalang, Gunungpati, dan Ngalian. Sampel KK diambil acak dari ketiga kecamtan tersebut (purposive sampling) sebanyak 50 KK. Variabelnya adalah preferensi permukiman penduduk, Metode pengumpulan data yang digunakan dengan panduan wawancara, sedangkan analisis data secara deskriptif kuantitatif. Hasil penelitian mereka yang tinggal di daerah rawan longsor terbagi dalam dua kelas yakni pendatang dan penduduk asli. Para pendatang umumnya tinggal di perumahan missal yang dibangun pengembang, tingkat ekonomi mereka lebih tinggi, mata pencaharian non pertanian. Sebaliknya penduduk asli membangun rumah sendiri, tingkat ekonomi lebih rendah dari pada pendatang, matapencaharian petani atau sektor informal lain. Motivasi pendatang memilih tinggal di sini karena pertimbangan dekat dengan tempat kerja, aksesibilitas tinggi, harga terjangkau. Bagi penduduk asli karena tanah warisan dan sumber penghidupan disini (sawah, tegalan). Baik pendatang dan penduduk asli sudah mengetahui resiko longsor. Hanya mereka berbeda dalam mengapresiasi terhadap longsor. Pendatang mengantisipasi dengan rekayasa teknis seperti memperkuat tulang bangunan, membuat tanggul, sampai reboisasi. Penduduk asli memandang longsor sebagai kejadian alami sehingga tidak perlu antisipasi dengan rekayasa teknis, mereka hanya melakukan reboisasi. Satu hal yang belum dilakukan oleh mereka baik pendatang maupun penduduk asli adalah sosialisasi pada anak-naka mereka bagaimana cara menyelamatkan diri seandainya longsor benar-benar terjadi. Kata kunci : Kesiapan penduduk, daerah rawan longsor, longsor