Samsul Maarif
Center for Religious and Cross-cultural Studies (CRCS) Graduate School, Yogyakarta

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Being a Muslim in Animistic Ways Samsul Maarif
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies Vol 52, No 1 (2014)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2014.521.149-174

Abstract

This paper examines religious practices of Ammatoans professed to be “Islamic” by practitioners, but ethnocentrically understood as “animistic” in Tylorian sense by scholars. Scholars have argued that Ammatoans’ practices are incompatible with Islam. Islam and animism are mutually exclusive. This paper, in contrast, argues that Islam and animism are all encompassing. To build the argument, this paper firstly elaborates scholars’ revisited theory of animism that argues for the (indigenous) notion of personhood as not limited only to human beings, but extended to non-human beings: land, forest, trees, animals and so forth. Secondly, this paper reviews the Quranic verses that explicate the personhood of non-human beings, and finally Ammatoans’ practices –visits to forest, refusal of electricity installation and others– as ethically responsible and mutually beneficial acts that ensure the well-beings of both human and non-human beings (interpersonal relations). These presentations show how Ammatoans exemplify being Muslim in animistic ways.[Artikel ini membahas praktik keagamaan masyarakat Ammatoa, yang menurut pelakunya disebut “Islamic”, tetapi menurut ahli etnografi sering disebut animistik, karena tidak sesuai dengan ajaran Islam. Islam dan animisme saling menafikan. Namun hasil penelitian ini membuktikan lain, Islam and animisme saling terkait dan saling mengisi. Untuk mengawali pembahasan, dipaparkan pandangan para ahli mengenai konsep “baru” anismisme yang memandang konsep dasar tentang diri tidak hanya terbatas pada manusia, tetapi juga mencakup selain manusia: tanah, hutan, pohon, hewan, dan lain-lain. Ayat-ayat al-Quran juga memperkenalkan adanya konsep diri bagi selain manusia. Baru kemudian dibahas mengenai praktik-praktik masyarakat Amatoa, seperti masuk hutan, menolak instalasi listrik, dan lainnya, yang merupakan tanggung jawab moral serta bermanfaat bagi kehidupan, baik bagi manusia maupun selain manusia dalam konteks hubungan interpersonal. Paparan ini menunjukkan corak khas masyarakat Ammatoa untuk menjadi seorang muslim dalam cara yang animistik.]
Ethnicity-Based Religiousity: Multi-Faceted Islam in Miami, USA, in the Age of War on Terrorism Ahmad Muttaqin; Samsul Maarif
Al-Jami'ah: Journal of Islamic Studies Vol 44, No 2 (2006)
Publisher : Al-Jami'ah Research Centre

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14421/ajis.2006.442.275-294

Abstract

Minoritas muslim seringkali menunjukkan perilaku yang ambigu. Satu sisi mereka mendambakan pengakuan dan perlakukan yang tidak diskriminatif dari kalangan mayoritas-non Muslim, namun di sisi lain ada “keengganan” untuk berbaur dengan kelompok mayoritas. Tulisan ini menguraikan dua tipe minoritas Muslim di Miami, Florida, Amerika Serikat, Muslim imigran dan Muslim kelahiran Amerika, serta menjelaskan berbagai faktor keengganan mereka dalam berbaur dengan mayoritas non Muslim. Di antara faktor keengganan tersebut adalah kesulitan mereka mencari rujukan ajaran Islam yang melegitimitasi “etika proaktif ” minoritas terhadap mayoritas, segmentasi etnis, kebangsaan dan paham keagamaan minoritas Muslim, serta beban psikis mereka yang merasa belum sepenuhnya menjadi warga negara Amerika Serikat. Dibandingkan kaum Muslim imigran yang sebagian besar berasal dari Timur Tengah dan Pakistan, kaum Muslim keturunan Afrika yang lahir di Amerika cenderung lebih terbuka dan aktif berbaur dengan kelompok mayoritas non-Muslim. Sikap ini ternyata berkorelasi positif dengan perlakukan yang mereka peroleh pasca tragedy 9/11. Kelompok pertama merasa selalu menjadi target operasi anti teror pemerintah Amerika, sedangkan kelompok kedua justru menekankan bahwa mereka adalah korban dari terorisme tersebut.