Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Struktur Politik Partai Kebangkitan Bangsa Hanif Dhakhiri; TB Massa Djafar
POLITIK Vol 11, No 1 (2015): Politik, Januari-Juni
Publisher : POLITIK

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (450.155 KB)

Abstract

AbstrakSebagai partai yang unik secara ideologi, tentulah amat menarik untuk mengkaji Partai Kebangkitan Bangsa dari struktur politiknya. Oleh karena itu, dengan menggunakan sudut pandang Maurice Duverger tentang struktur politik dan metode kualitatif, maka, penulis menganalisis seperti apa struktur politik Partai Kebangkitan Bangsa yang berbasis masyarakat Nadhatul Ulama tersebut, sehingga secara ideologi PKB dapat mendialogkan antara keislaman yang moderat dengan keindonesiaan yang diwarnai dengan pluralitas masyarakatnya. Kombinasi itu kemudian tercermin dalam asas atau dasar partai yang lebih memilih Pancasila sebagai pondasinya, bukan Islam.Kata Kunci: Partai Kebangkitan Bangsa, Struktur Politik, Maurice DuvergerAbstractAs a unique party from ideology, it becomes so interesting to examine PKB from its political structure. Hence, by using Maurice Duverger’s point of view about political structure and qualitative methods, therefore the writer analyses the political structure of PKB based on their Nadhatul Ulama’s people, so that by ideology, PKB can negotiate between moderate Islam and Indonesia with its pluralist people. Those combinations soon are reflected in the principle and Party foundation which prefer Pancasila to Islam. Keywords: PKB, Political Structure, Maurice Duverger
Komparatif Studi Pembangunan Negara Song Jae Won; TB Massa Djafar
POLITIK Vol 12, No 2 (2016): POLITIK, Jurnal Kajian Politik dan Masalah Pembangunan
Publisher : POLITIK

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (470.81 KB)

Abstract

Park Chung Hee dan Soeharto berasal dari kalangan keluarga petani sederhana yang hidup pada masa pascakolonial. Di masa pemerintahannya, kedua presiden tersebut mendasarkan kekuasaannya pada otoritas personal mereka yang tinggi. Meski terdapat kemiripan di antara keduanya, akan tetapi, hasil ekonomi-politik yang dihasilkan oleh pemerintahan mereka sangat berbeda. Dalam hal ini, penulis menggunakan metode kualitatif dan pendekatan market friendly yang mendasarkan pada teori ekonomi neoklasik. Di sini tampak dengan jelas betapa Park, berhasil mengubah bentuk negara, dari negara miskin dan terbelakang menjadi negara yang “membangun” (development) --- dalam hal ini, negara yang ada adalah negara yang relatif lebih kuat terhadap masyarakat sipilnya. Negara didukung oleh kelompok militer. Sementara itu, kaum burjuasi berada pada posisi yang lemah, karena ketergantungannya pada negara. Akan tetapi, walau keberhasilan pembangunan ekonomi dan sosial pemerintah Orde Baru sangat mengesankan, di saat yang sama ketidakpuasan masyarakat juga makin meningkat. Meski dibungkam oleh pemerintah, namun, ketidakpuasan itu terus meningkat akibat penindasan politik yang keras dan pelanggaran berat hak asasi manusia, maraknya korupsi, penggelapan dana-dana pemerintah, dan praktik-praktik kolusi yang saling menguntungkan antara pemegang kekuasaan politik dan para kroni bisnisnya yang kebanyakan pengusaha besar keturunan etnis Tionghoa, akhirnya, menghalangi terciptanya persaingan bisnis yang sehat di dalam negeri. Park Chung Hee and Soeharto came from the family of simple farmers who live in the post-colonial period. In his reign, the two presidents basing their power on their personal authority is high. Although there are similarities between the two, however, the political-economic results generated by their government are very different. In this case, the author uses qualitative methods and market friendly approach that is based on neoclassical economic theory. Here appear clearly how Park, managed to change the shape of the country, from poor and backward country into a state of “building” (development) --- in this case, states that there are countries that are relatively stronger against its civil society. Countries supported by the military. Meanwhile, the bourgeoisie is in a weak position, because of its dependence on the state. However, despite the success of economic and social development of the New Order government was very impressive, at the same time also increasing public dissatisfaction. Although silenced by the government, however, discontent continued to increase as a result of political repression were hard and gross violations of human rights, rampant corruption, embezzlement of public funds, and practices of collusion of mutual benefit between political powers and cronies his business mostly large employers ethnic Chinese descent, ultimately, hinder the creation of a healthy business competition in the country. 
Etika Publik Pejabat Negara dalam Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih M. Nasir Djamil; TB Massa Djafar
POLITIK Vol 12, No 1 (2016): Politik
Publisher : POLITIK

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (506.238 KB)

Abstract

AbstrakEtika publik pejabat negara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang bersih memiliki kedudukan dan peranan yang penting sebagai pedoman berperilaku yang baik dalam menjalankan tugasnya. Terjadinya korupsi politik tidak hanya disebabkan oleh besarnya kewenangan yang dimiliki, namun juga karena dilanggarnya etika pejabat negara. Dengan menggunakan metode penelitian kualitatif serta pendekatan literatur tentang pelanggaran hukum yang berawal dari pelanggaran etika pejabat negara --- melalui studi kasus Korupsi Politik Hambalang yang sedang ditangani KPK, betapa pelanggaran etika pejabat negara terjadi mulai dari eksekutif dan legislatif. Pelanggaran etika pejabat negara tersebut terjadi karena adanya pergulatan kepentingan dalam rangka pencarian sumber dana untuk pemenangan kandidat calon ketua umum partai politik. Dalam melakukan tindak pidana korupsi, selain melibatkan eksekutif dan legislatif, juga melibatkan pihak swasta. Celah hukum penyusunan APBN dimanfaatkan untuk menaikkan nilai proyek Hambalang sehingga diperoleh anggaran dan keuntungan yang besar, dan dana yang dikorupsi juga semakin besar. Studi kasus tersebut menunjukkan adanya pelanggaran etika pejabat negara berupa perilaku tidak jujur, memanipulasi data dan tidak transparan agar proyek Hambalang dapat disetujui. Pelanggaran etika tersebut diiringi pelanggaran hukum yang berimplikasi pada penurunan kepercayaan publik terhadap upaya menciptakan pemerintahan yang bersih, khususnya bagi para pejabat yang berasal dari partai politik..Kata Kunci: Etika Publik Pejabat Negara, Penyelenggaraan Pemerintahan Yang Bersih, Korupsi Politik, Kasus Hambalang.AbstractThe public ethics of state official in clean governance  has an important position and role as a guide to good behavior in carrying out their duties. Political corruption is not only caused by the size of the authority possessed, but also because it violated the ethics of state officials. By using qualitative research methods to approach the literature that examines the question of how writers are fenomologis , which means how to collect data in the form of spoken words, and writing, speech, gestures, thoughts and behaviors that need to be and can be observed, it is concluded that a violation of law begins with ethics violations by state officials. Through case studies Hambalang Political Corruption are being handled by the KPK, ethical violations occurred at the level of officials of the state executive and legislative. Ethical violations of state officials is due to the struggle of interests in order to find sources of funding for the winning candidate of a political party chairman. In addition to involving the executive and the legislature, also involving the private sector in the political corruption. Budget preparation of legal loopholes exploited to increase the value Hambalang project in order to obtain large budgets and greater profits, so the fund of corruption is also getting bigger. The case studies show a violation of a state ethics official dishonest behavior, manipulate data and non-transparent so that the project can be approved Hambalang. The ethics violation accompanied by violation of law, which implies a decline in public confidence in the efforts to create a clean governance, especially the official from the political parties.Keywords: The Public Ethics of State Office, Clean Governance , Political Corruption , Case Hambalang.
Politik Pengelolaan Tanah Ulayat pada Era Otonomi Khusus Papua di Kabupaten Sorong Provinsi Papua Barat Donar Taluke; Djohermansyah Djohan; AF Sigit Rochadi; TB Massa Djafar
Jurnal Pendidikan dan Konseling (JPDK) Vol. 4 No. 4 (2022): Jurnal Pendidikan dan Konseling
Publisher : Universitas Pahlawan Tuanku Tambusai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (246.932 KB) | DOI: 10.31004/jpdk.v4i4.6339

Abstract

Penelitian ini menggambarkan formulasi politik pengelolaan tanah ulayat diimpementasikan di Kabupaten Sorong belum cukup baik. Perlindungan dan keberpihakan kebijakan pemerintah terhadap hak ulayat masyarakat adat, yang bertujuan mewujudkan kesejateraan dan keadilan sosial masyarakat adat pemilik tanah ulayat di era otonomi khusus Papua, belum terwujud, karena belum adanya Perdasus atau Perdasi yang berpihak pada kepentingan masyarakat adat sejak tahun 2001 hingga awal tahun 2019. Melalui pendekatan kualitatif, penelitian ini mengukur tentang regulasi politik pengelolaan tanah ulayat pada era otonomi khusus Papua di Kabupaten Sorong dari tahun 2001 hingga tahun 2020. Membahas tentang konflik kepentingan pengelolaan tanah ulayat lokasi PT Pertamina EP, JOB PPS atau Petrogas Oil, dan transmigrasi di Kabupaten Sorong Kabupaten Sorong. Dibahas juga tentang penyelesaian konflik tanah ulayat pada era otonomi khusus Papua, serta kritik ketua lembaga adat, kepala suku dan masyarakat adat terhadap implementasi aturan pengelolaan tanah ulayat di Kabupaten Sorong pada Era Otonomi Khusus Papua. Perlunya pembagian kewenangan yang detail dan jelas antara provinsi dan kabupaten/kota dalam pengelolaan dan penyelesaian konflik tanah ulayat. Pembagian kewenangan tersebut dimasukan dalam peraturan daerah khusus/istimewa (Perdasus/Perdasi) Provinsi Papua Barat, peraturan daerah provinsi, peraturan gubernur dan peraturan daerah kabupaten. Hal tersebut diperlukan, mengingat keterbasan kemampuan provinsi dan kabupaten/kota dalam segi anggaran, jumlah personil dan keahlian tenaga pengelolaan tanah ulayat, sehingga diperlukan kolaborasi antar pemerintah di daerah.