Emma Soraya
Departemen Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Universitas Gadjah Mada, Jl. Agro No. 1, Bulaksumur, Sleman, 55281

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Pemodelan Spasial Resiliensi Ekosistem Gunungapi Merapi Pasca Erupsi Emma Soraya; Wahyu Wardhana; Ronggo Sadono
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 10, No 2 (2016)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (262.888 KB) | DOI: 10.22146/jik.16509

Abstract

Kemampuan ekosistem hutan di wilayah gunungapi pasca erupsi dapat kembali berfungsi seperti sebelumnya sangat dipengaruhi oleh resiliensi atau daya lentur/lembam ekosistem tersebut. Resiliensi suatu ekosistem dalam studi ini didefinisikan sebagai kemampuan ekosistem untuk bangkit kembali setelah guncangan/gangguan. Tujuan penelitian ini adalah untuk memodelkan sebaran resiliensi spasial ekosistem hutan di kawasan Taman Nasional Gunung Merapi (TNGM) lima tahun pasca erupsi dan intervensi restorasi. Analisis dilakukan dengan pendekatan penginderaan jauh multi temporal dan analisis spasial menggunakan sistem informasi geografis untuk menggambarkan perubahan kondisi ekosistem gunungapi sebelum dan pasca erupsi dan kegiatan restorasi. Hasil pemodelan menunjukkan bahwa setelah lima tahun pasca erupsi, telah terjadi transisi resiliensi/perbaikan ekosistem dari lahan terbuka ke lahan dengan tutupan vegetasi berupa rumput, semak belukar, dan hutan sekunder. Transisi resiliensi ini terjadi baik secara suksesi alami maupun campur tangan manusia dalam bentuk tindakan restorasi. Salah satu catatan hasil dari penelitian ini antara lain adalah keberhasilan kegiatan restorasi untuk mengembalikan kondisi ekosistem seperti sebelum erupsi tidak selalu dapat dideteksi dalam jangka lima tahun setelah erupsi. Kata kunci: Gunungapi Merapi; multi temporal; penginderaan jauh; resiliensi spasial; sistem informasi geografis Spatial Resilience Modelling of Merapi Volcano Ecosystem Post-EruptionThe ability of volcano ecosystem to recover post an eruption to the pre eruption status is affected by its ecological resilience. Resilience of an ecosystem can be defined as the ability of an ecosystem to bounch back after (a) disturbance(s). This study aimed to model spatial resilience of Merapi volcano ecosystem within the area of National Park of Merapi Volcano (TNGM) five years post 2010 eruption and restoration intervention. Analysis was conducted using multi temporal remote sensing and spatial analysis using geographic information system to draw the changes of the ecosystem over time, particularly post eruption and restoration actions. The modelling resulted that five years post eruption, there was resilience transisition/ recovery in volcano ecosystem in TNGM post 2010 eruption. The resilience was shown by the changes from open area to vegetation covers as grass, shrubs, and secondary forests. The transitions occured in term of natural succession as well as human intervention in restoration programs. However, the success of restoration actions to recover the ecosystem to the pre eruption status was not always able to be detected within the period of five years post eruption.
Seberapa Luas Hutan Yang Kita Perlukan? Sebuah Refleksi Cara Pandang Kita Pada Pengurusan Hutan Emma Soraya
Jurnal Ilmu Kehutanan Vol 13, No 1 (2019)
Publisher : Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (129.632 KB)

Abstract

Baru-baru ini Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) melakukan kajian teknokratik masterplan redesign pembangunan kehutanan Indonesia 2020-2024 yang salah satu keluarannya adalah rasionalisasi luas dan fungsi kawasan hutan yang perlu dipertahankan. Kajian ini dimaksudkan untuk menjadi dokumen yang dapat digunakan oleh presiden yang terpilih di tahun ini. Dalam berbagai konsultasi publik yang dilakukan Bappenas, terlihat bahwa Bappenas menggunakan faktor: (1) stok karbon; (2) biodiversitas; (3) kapasitas air; dan (4) fungsi kawasan/ administrasi. Kajian tersebut menyimpulkan bahwa kawasan hutan yang perlu dipertahankan sesuai fungsi hanya 72,3 juta hektar (60% dari kawasan hutan daratan yang luasnya 120,6 juta hektar (KLHK 2018)). Luasan kawasan hutan saat ini mencakup hampir dua per tiga daratan Indonesia.Rekalkulasi luas kawasan hutan dapat dipahami karena kebutuhan lahan di luar sektor kehutanan, mulai dari untuk permukiman, pertanian, hingga sumber energi (pertambangan) terus meningkat dan perlu pengalokasian yang lebih terencana untuk menghindari kerusakan sumberdaya alam/ hutan yang semakin menurun kuantitas dan kualitasnya. Badan dunia semacam FAO pun mengakui bahwa kebutuhan lahan khususnya untuk sumber pangan tidak dapat dihindarkan karena pertumbuhan populasi penduduk dunia yang terus meningkat.Hasil kajian tersebut nampaknya mendapatkan resistensi dari Kementrian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) sebagai penerima mandat negara sebagai pengurus kawasan hutan. Dalam pasal 1 UU 41, kawasan hutan dijabarkan sebagai wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Seluruh kawasan hutan ditujukan untuk melindungi ekosistem dan pemanfaatan sumber daya hutan untuk menopang ekonomi negara. Resistensi atas hasil kajian Bappenas terjadi karena mungkin KLHK menginterpretasi mandat pengurusan kawasan hutan ini sebagai ‘tuan tanah’ yang ‘menguasai’ kawasan hutan harus dipertahankan sebagai harga mati?Hutan di Indonesia, seperti halnya sumberdaya alam yang lain, diamanatkan oleh undang-undang dasar untuk dapat dikelola untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Kita telah menyadari bahwa hutan kita telah menurun kuantitas dan kualitasnya sejak diundangkannya UU tentang Kehutanan di tahun 1967 dan di dalam UU 41/1999 pun disebutkan bahwa kondisi hutan terus menurun. Disebutkan pula bahwa hutan merupakan salah satu penentu sistem penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat yang keberadaannya harus dipertahankan secara optimal dan dijaga daya dukungnya secara lestari.KLHK juga melaporkan bahwa hasil interpretasi citra Landsat tahun 2016 menunjukkan bahwa dari total luas kawasan hutan daratan hanya sekitar 71% yang masih berhutan (KLHK 2018). Jika mandat yang diberikan kepada KLHK “hanya” pada sumberdaya hutan, sesungguhnya mulai tahun lalu KLHK hanya perlu mengurus 85,6 juta hektar saja. Namun tidak, KLHK juga memiliki mandat untuk mengupayakan kawasan hutan dalam kondisi berhutan dengan kegiatan reforestasi sehingga fungsi hutan sebagai penyangga kehidupan (ekosistem dan ekonomi) dapat terus berlangsung. Luasnya lahan berstatus kawasan hutan namun tak berhutan menjadi pangkal pertanyaan seberapa luas hutan yang perlu dipertahankan (baca: yang dapat diurus negara?).Namun, kajian Bappenas pun dapat dikatakan terlalu menyederhanakan faktor-faktor yang digunakan dalam menghitung luas kawasan hutan yang harus dipertahankan. Pertimbangan tersebut masih berorientasi ekonomi dan kurang mempertimbangkan aspek lingkungan dan sosial. Hal ini mungkin dapat dipahami karena sebagian besar dari kita memandang hutan baru sebatas sumberdaya ekonomi saja. Bappenas juga masih mengkotak-kotakkan fungsi kawasan hutan seperti halnya yang dilakukan oleh KLHK dalam mengurus kawasan hutan.Penggunaan pertimbangan-pertimbangan tersebut mungkin dapat dipahami karena sebagian besar dari kita memandang hutan baru sebatas sumberdaya ekonomi saja. Selain itu, ketika kajian dilaksanakan masih terkendala dengan ketersediaan data spasial yang masih belum lengkap dan tertata Adanya data spasial yang terintegrasi merupakan pangkal untuk menjawab pertanyaan luasan kawasan hutan yang perlu dipertahankan.Sebenarnya sejak tahun 2016 melalui Peraturan Presiden Nomor 9/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Kebijakan Satu Peta (PKSP), Presiden telah memandatkan untuk memastikan seluruh peta tematik sesuai dengan kondisi aktual di lapangan dan terhindar dari tumpang tindih. Badan Informasi Geospasial (BIG), Bappenas, dan Kementerian Dalam Negeri dimandati sebagai pelaksana KSP. Akhir tahun 2018, presiden telah meresmikan penggunaan Geoportal Kebijakan Satu Peta (KSP) yang diharapkan dapat memenuhi kebutuhan peta skala besar yang terstandarisasi dan terupdate secara nasional sehingga dapat mencegah konflik dan penyalahgunaan kekayaan alam. Pelaksaan KSP dibagi dalam beberapa pekerjaan: kompilasi, integrasi, dan sinkronisasi. Saat ini BIG telah berhasil menyelesaikan tahap kompilasi dan integrasi 83 dari 85 peta Informasi Geospasial Tematik (IGT) yang di targetkan di seluruh Indonesia yang bersumber dari 19 kementrian/ lembaga dan 34 propinsi sebagai wali data.Tahapan terakhir berupa tahapan sinkronisasi masih dalam proses dan perlu segera diselesaikan. Kendala terbesar tahap ini berupa penyelesaian tumpang tindih pemanfaatan lahan. Hasil identifikasi tumpang tindih telah dituangkan melalui Peta Indikatif Tumpang Tindih IGT (PITTI). Berdasar PITTI ditemukan tumpang tindih pemanfaatan hutan, sumber daya alam, dan perizinan yang luasnya mencapai 10,4 juta hektar di Kalimantan dan 6,4 juta hektar di Sumatra. Sebanyak 70% dari luasan tersebut berada di kawasan hutan. Hasil penelitian tim Fakultas Kehutanan UGM pun menemukenali kebun sawit seluas 2,8 juta hektar yang ada di dalam kawasan hutan dari interpretasi penginderaan jauh (FKT UGM 2018). Temuan-temuan tumpang tindih seperti ini tidak hanya akan mengubah peta, tetapi juga akan memiliki implikasi hukum yang berpengaruh pada surat keputusan penerbitan izin hak guna usaha dan bangunan.Terlepas telah tersedianya peta-peta tematik yang terintegrasi, yang lebih penting adalah perlunya menyamakan cara pandang pada bagaimana mengelola hutan. Sejalan dengan yang disampaikan Sayer et al. (2003) lebih dari 15 tahun yang lalu, pada Kongres Kehutanan Dunia di Quebec, Canada, paling tidak terdapat dua faktor penting yang perlu dijadikan pertimbangan dalam pengurusan dan pengelolaan SDH, yaitu: (1) mengoptimalkan kemanfaatan nilai publiknya dengan mengedepankan keunikan kondisi dan kebutuhan lokal; dan (2) memastikan fungsi ekologis hutan mampu berkontribusi terhadap fungsionalitas lansekap secara keseluruhan. Kedua hal tersebut dapat kita gunakan untuk menentukan luasan kawasan hutan yang perlu dipertahankan. Lebih lanjut, Sayer et al. (2003) juga menyarankan untuk tidak mengkotak-kotakkan fungsi hutan berdasar kategori yang sudah ditentukan sebelumnya dan memastikan stakeholder lokal menjadi aktor utama pada proses pengelolaan SDH. Kedua hal tersebut, dapat diterjemahkan dalam bentuk mosaik berbagai tipe pengelolaan hutan yang sesuai dan memenuhi kebutuhan masyarakat lokal dan sekaligus secara simultan mampu memenuhi konservasi global (misal: biodiversitas dan penyerapan karbon). Tipe pengelolaan hutan menjadi sangat unik dan merupakan solusi lokal yang sesuai dengan kondisi biofisik dan sosial sehingga terwujud hutan sebagai komponen lansekap DAS yang multi-fungsi yang menyeimbangkan fungsi perlindungan hingga ekonomi lokal.Kisah keberhasilan komunitas/ masyarakat lokal dalam pengelolaan dan peningkatan nilai konservasi hutan sudah sangat sering kita dengar namun tidak sampai tercatat dalam statistik global. Hal ini disebabkan pengelolaan hutan oleh masyarakat lokal hampir selalu memiliki karakter yang sangat khas: sesuai dengan kondisi tapak dan ditujukan untuk pemenuhan kebutuhan lokal. Kisah sukses ini menunjukkan bahwa masyarakat lokal mempunyai kemampuan dan kearifan untuk mengelola SDH. Pengutamaan stakeholder lokal tidak hanya memastikan bahwa pengurusan dan pengelolaan hutan dapat optimal kemanfaatan dan terjamin kelestariannya, namun juga sebenarnya merupakan solusi untuk penyelesaian persoalan tumpang tindih penggunaan lahan di lapangan. Nilai budaya gotong-royong masih merupakan modal sosial yang cukup kuat untuk penyelesaian permasalahan di tingkat tapak.Selain itu, SDH perlu diurus dan dikelola tidak hanya berdasar pada kondisi biofisik terbatas di lahan di mana hutan itu tumbuh, namun perlu penekanan bahwa hutan yang ada harus dapat berkontribusi dengan fungsi ekologisnya terhadap fungsionalitas lansekap daerah aliran sungai (DAS) secara keseluruhan (Sayer et al. 2003). Bahkan, jika dirasa perlu, di lansekap tertentu, restorasi untuk meningkatkan semua multi-manfaat hutan, terutama untuk kebutuhan yang bersifat lokal harus juga dilakukan.Dengan mempertimbangkan kedua faktor tersebut dan adanya data spasial yang telah terstandarisasi dan sesuai dengan kondisi tapak saat ini, penentuan luas kawasan hutan yang masih perlu dipertahan dapat dengan mudah dikuantifikasikan dan dipetakan sebarannya.