Eko Soponyono
Fakultas Hukum Universitas Diponegoro

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Kebijakan Hukum Pidana Sanksi Kebiri Kimia dalam Perspektif HAM dan Hukum Pidana Indonesia Nur Hafizal Hasanah; Eko Soponyono
Jurnal Magister Hukum Udayana (Udayana Master Law Journal) Vol 7 No 3 (2018)
Publisher : University of Udayana

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (639.96 KB) | DOI: 10.24843/JMHU.2018.v07.i03.p03

Abstract

The sexual offense against children is a serious crime and an act of violation against human rights. One of the government is an attempt to anticipate the increase of sexual offense against children is to release Perpu No 1 of 2016 second amendment of UU No 23 of 2002 about child protection. Perpu No. 1 is then passed into UU No. 17 of 2016 about stipulation of Perpu No. 1 of 2016. The regulation of the Perpu is about the denunciation of the perpetrator of a sexual offense, an especially sexual offense against children. The perpu also regulates the existence of criminal sanction and action sanction. The action referred to in the Perpu in the form of chemical castration and accompanied by rehabilitation. Research method uses normative research method by using the Statue approach and the analytical and conceptual approach. the implementation of chemistry castration is considered a violation of human rights. Penalties through castration can be qualified as a cruel and inhuman punishment and not in accordance with Indonesia's constitution and commitment in the field of human rights. The provision of article 28G paragraph (2) of the Indonesian constitution states that "everyone has the right to be free from torture and degrading treatment of human dignity". Implementation of chemistry castration punishment is only oriented to retaliation that can make the perpetrator lose confidence to reunite with the community. Chemical castration punishment is not in line with the objective of the criminal law that is the maintenance of community solidarity. Kekerasan seksual terhadap anak adalah kejahatan yang serius dan merupakan pelanggaran HAM. Salah satu upaya untuk mengantisipasi bertambahnya kekerasan seksual terhadap anak, Pemerintah mengeluarkan Perpu No 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua atas Undang-undang No 23 Tahun 2002 tentang perlindungan anak. Perpu No 1 ini kemudian disahkan menjadi Undang-undang Nomor 17 tahun 2016 tentang penetapan Perpu No 1 Tahun 2016. Perpu tersebut mengatur tentang pemberatan terhadap hukuman pelaku kejahatan seksual, khususnya terhadap anak. Dalam Perpu tersebut mengatur adanya pidana dan tindakan. Tindakan yang dimaksud dalam Perpu tersebut berupa pelaksanaan kebiri kimia disertai dengan rehabilitasi Tujuan penelitian ini untuk mengkaji dan menganalisa kebijakan hukum pidana sanksi kebiri kimia terhadap pelaku kekerasan seksual pada anak dilihat dari perspektif HAM dan Hukum Pidana Indonesia. Metode penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan menggunakan pendekatan perundang-undangan serta pendekatan analisis konsep. Pelaksanaan kebiri kimia dianggap merupakan pelanggaran HAM. Pemberian hukuman melalui pengebirian dapat dikualifikasi sebagai penghukuman keji dan tidak manusiawi serta tidak sesuai dengan konstitusi dan komitmen Indonesia dalam bidang hak asasi manusia. Ketentuan pasal 28G ayat (2) konstitusi indonesia menyatakan bahwa “setiap orang berhak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan yang merendahkan derajat martabat manusia”. Pelaksanaan hukum kebiri kimia hanya berorientasi pada pembalasan yang bisa membuat pelaku kehilangan kepercayaan diri untuk berkumpul kembali dengan masyarakat. Hukum kebiri kimia tidak sejalan dengan tujuan dari hukum pidana yaitu adanya pemeliharaan solidaritas masyarakat.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PEMBERIAN KETERANGAN SAKSI MELALUI MEDIA TELECONFERENCE DI INDONESIA Dian Erdianto; Eko Soponyono
LAW REFORM Vol 11, No 1 (2015)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (55.072 KB) | DOI: 10.14710/lr.v11i1.15756

Abstract

Sistem pembuktian yang berlaku dalam hukum acara pidana, merupakan suatu sistem pembuktian di depan pengadilan. Terdapat beberapa perbedaan yang mendasar dalam sistem pembuktian yang dianut dalam hukum acara perdata dengan sistem hukum acara pidana. Dewasa ini dalam dunia peradilan Indonesia telah diperkenalkan cara pemeriksaan saksi jarak jauh dengan memanfaatkan teknologi multimedia yang dikenal dengan istilah teleconference. Pada kenyataannya masih terjadi pertentangan mengenai penerapan keterangan saksi secara teleconference dalam persidangan. Tujuandalam penelitian ini adalah untuk mengetahui dan menganalisis kebijakan hukum pidana dalam pemberian keterangan saksi melalui media teleconference saat ini dan masa yang akan datang. Penelitian ini menggunakan metode pendekatan  yuridis-normatif. Spesifikasi penelitian yang dilakukan menggunakan deskriptif analitis.Analisis data dalam penelitian bersifat deskriptif. Hasil penelitian menyimpulkan bahwa kebijakan hukum pidana dalam pemberian keterangan saksi melalui media teleconference saat ini, dimana menurut hukum sepanjang saksi tersebut memenuhi syarat-syarat antara lainsaksi harus mengucapkan sumpah atau janji lebih dahulu (pasal 160 ayat (3) jo. pasal 185 ayat (7)  KUHAP), Keterangan saksi dinyatakan secara lisan melalui alat komunikasi audio visual / teleconference di muka sidang pengadilan (merupakan perluasan dari pasal 185 ayat (1) KUHAP), Isi keterangan harus mengenai hal yang saksi lihat, dengar, dan alami, serta menyebutkan alasan dari pengetahuannya itu (pasal 1 angka 27 KUHAP), Keterangan saksi tersebut saling bersesuaian satu sama lain (pasal 185 ayat (6) KUHAP). Kebijakan hukum pidana dalam pemberian keterangan saksi melalui media teleconference di masa yang akan datang, sangat diperlukan karena penggunaanvideo conference sangat efektif dilakukan mengingat kondisi saksi yang mengalami guncangan psikis yang hebat ketika hendak dimintai keterangan;Penggunaan video conference tersebut telah disetujui oleh Mahkamah Agung serta Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut.
KEBIJAKAN MEDIASI PENAL TERHADAP PENYELESAIAN KONFLIK SARA DI KEPULAUAN KEI DALAM UPAYA PEMBAHARUAN HUKUM PIDANA NASIONAL Rudini Hasyim Rado; Barda Nawawi Arief; Eko Soponyono
LAW REFORM Vol 12, No 2 (2016)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (88.436 KB) | DOI: 10.14710/lr.v12i2.15879

Abstract

Mediasi penal merupakan salah satu ciri khas hukum adat. Penyelesaian damai kasus pidana bahkan sudah merupakan kearifan lokal di berbagai daerah dan hukum adat di Indonesia yang bertujuan untuk menyelesaikan konflik, memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui kebijakan penerapan mediasi penal terhadap penyelesaian konflik SARA berdasarkan hukum adat di Kepulauan Kei dan menganalisis kebijakan mediasi penal dalam upaya pembaharuan hukum pidana. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif dengan pendekatan yuridis empiris dan yuridis normatif yang diorientasikan pada pendekatan nilai (value-oriented approach) dan pendekatan kebijakan (policy-oriented approach). Hasil penelitian menunjukkan bahwa kebijakan penerapan mediasi penal dalam penyelesaian konflik SARA Kei, bentuk penyelesaiannya di luar proses peradilan pidana melalui mekanisme Sdov (perundingan/musyawarah), yaitu perundingan yang dilakukan oleh para pihak dalam komunitas masing-masing selanjutnya dimintakan perdamaian pada struktur adat sebagai vhis bad (penengah) untuk mengakhiri konflik. Sedangkan kebijakan mediasi penal dalam pembaharuan hukum pidana dapat ditempuh melalui dua bentuk, yaitu bentuk mediasi penal di luar proses peradilan pidana (lembaga adat desa/lembaga kemasyarakatan desa) menggunakan mekanisme perundingan/musyawarah unsur mediator yaitu struktur adat/struktur desa dan bentuk mediasi penal sebagai bagian dari proses sistem peradilan pidana (SPP) melalui penyidik, penuntut umum, hakim, lembaga pemasyarakatan sebagai mediator pada tahapan masing-masing.
KEBIJAKAN HUKUM PIDANA DALAM PENANGGULANGAN TINDAK PIDANA PEMALSUAN UANG Bagas Pandega Hariyanto Putro; Eko Soponyono
LAW REFORM Vol 11, No 2 (2015)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (100.573 KB) | DOI: 10.14710/lr.v11i2.15763

Abstract

Mata uang adalah alat pembayaran yang sah dalam transaksi ekonomi. Data Bank Indonesia menunjukkan peredaran uang palsu bisa mencapai puluhan miliar tiap tahunnya. KUHP dan Undang-Undang No. 7 Tahun 2011 dirasa belum mampu menekan jumlah tindak pidana pemalsuan uang. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana pemalsuan uang saat ini dan yang akan datang. Metode pendekatan yang digunakan adalah metode yuridis normatif. Berdasarkan hasil perbandingan dengan KUHP Jepang, Denmark dan Kanada. Kebijakan hukum pidana yang berlaku saat ini masih terdapat beberapa kelemahan substansi hukum, diantaranya : definisi pemalsuan uang, pengaturan mengenai penyertaan, perbuatan memalsu uang elektronik, pengaturan mengenai larangan penyampaian dimuka umum dan dari segi struktur hukum dengan peningkatan kerjasama antara aparat penegak hukum. Selain upaya penal tersebut, diperlukan upaya lain yaitu non penal (ekonomi, politik, sosial dan budaya).
REKONSEPTUALISASI PENYIDIKAN TINDAK PIDANA KORUPSI OLEH POLRI DALAM RANGKA EFEKTIFITAS PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI M. Aris Purnomo; Eko Soponyono
LAW REFORM Vol 11, No 2 (2015)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (83.714 KB) | DOI: 10.14710/lr.v11i2.15771

Abstract

Korupsi telah menjadi bagian dari kehidupan, menjadi suatu sistem dan menyatu dengan penyelenggaraan pemerintah negara. Dampak yang ditimbulkan oleh korupsi, bukan saja kerugian dari aspek ekonomi, tetapi hampir semua aspek kehidupan dipengaruhi baik sosial, budaya, politik dan keamanan. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan memahami Konsep penyidikan tindak pidana korupsi oleh Kepolisian negara Republik Indoneisa, dan mengetahui konsep penyidikan tindak pidana korupsi yang ideal di masa akan datang. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konsep penyidikan Polri saat ini, belum optimal mengingat masih adanya berbagai faktor-faktor yang menjadi kendala dalam proses penyidikan tindak pidana korupsi tersebut.Faktor-faktor yang mempengaruhi dari aspek substansi hukum terutama substansi hukum formil yang multitafsir dalam rumusan delik korupsi. Aspek struktur hukum terutama terkait kelembagaan penyidik yang belum integral, dengan system koordinasi yang belum sinergis dan harmonis, sedangkan aspek kultur hukum terutama belum terbangunnya dukungan partisipasi masyarakat anti korupsi dalam upaya pemberantasan korupsi. Konsep penyidikan Polri yang ideal di masa mendatang adalah terbangunnnya sistem hukum baik aspek substansi, struktur maupun kultur hukum yang mendukung pemberantasan korupsi. Aspek substansi hukum, yang ideal adalah substansi yang secara tegas merumuskan delik korupsi sebagai delik formil dan tanpa multitafsir., dan substansi hukum formil yang mengintegrasikan system penyidikan tindak pidana korupsi. Aspek struktur hukum, yaitu terbangunnya institusi penyidikan yang integral, dengan system koordinasi yang sinergis dan harmonis dengan akuntabilitas yang tinggi, sedangkan aspek kultur hukum yaitu terbangunnya budaya anti korupsi, kemitraan polri dengan masyarakat serta partisipasi aktif masyarakat anti korupsi dalam mendukung pemberantasan tindak pidana korupsi.
PIDANA PENJARA TERBATAS : SEBUAH GAGASAN DAN REORIENTASI TERHADAP KEBIJAKAN FORMULASI JENIS SANKSI HUKUM PIDANA DI INDONESIA Abdul Kholiq; Barda Nawawi Arief; Eko Soponyono
LAW REFORM Vol 11, No 1 (2015)
Publisher : PROGRAM STUDI MAGISTER ILMU HUKUM FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (92.095 KB) | DOI: 10.14710/lr.v11i1.15759

Abstract

Penggunaan jenis sanksi pidana perampasan kemerdekaan (pidana penjara) selama ini mendapatkan kritik-kritik terutama dikaitkan dengan dampak negatif dari jenis pidana tersebut. Adanya dampak negatif yang melekat dalam penjatuhan pidana penjara bagi pelaku kejahatan dapat berupa stigmatisasi dan prisonisasi. Berbagai upaya pembaharuan jenis pidana telah dilakukan seperti mencari alternatif pidana perampasan tersebut yang berupa pidana penjara terbatas. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian tesis ini ialah jenis penelitian normatif (doctrinal), yaitu melakukan penelitian dalam teori-teori atau doktrin hukum. Pendekatan yang digunakan dalam undang-undang yang berlaku, selanjutnya melakukan komparasi dengan ketentuan yang berlaku di beberapa negara asing. Teknik yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif dan analitis. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui/menganalisis kebijakan formulasi pidana penjara terbatas dalam hukum positif di Indonesia dan negara lain; dan untuk mengetahui/menganalisis kebijakan formulasi pidana penjara terbatas dalam pembaharuan hukum pidana Indonesia di masa yang akan datang. Berdasarkan hasil penelitian tesis ini ditemukan bahwa kebijakan formulasi pidana penjara terbatas dalam hukum positif di Indonesia tidak merumuskan secara limitatif, akan tetapi dalam upaya memberikan alternatif dari pidana penjara telah dirumuskan pidana bersyarat atau pidana percobaan yang di atur dalam Pasal 14a-14f KUHP (WvS), selain itu jenis pidana pengawasan juga dirumuskan di luar KUHP. Kebijakan formulasi pidana penjara terbatas di masa yang akan datang, pada dasarnya jenis pidana penjara terbatas merupakan sanksi alternatif dari perampasan kemerdekaan yang dalam pelaksanaannya pelaku hanya menjalani sebagian pidana di dalam lembaga dan sisanya dijalani di luar lembaga dengan tetap adanya pengawasan terhadap terpidana.