Wiwi Jaya
Anesthesiology And Intensive Therapy Department, Medical Faculty, Brawijaya University / Dr. Saiful Anwar General Hospital, Malang, Indonesia

Published : 6 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Hidrotoraks Masif Dekstra dengan Penyulit ARDS Akibat Komplikasi Pemasangan Kateter Vena Sentral Jugular Interna Kinanti Narulita Dewi; Wiwi Jaya; Arie Zainul Fatoni
Jurnal Anestesi Perioperatif Vol 8, No 2 (2020)
Publisher : Faculty of Medicine, Universitas Padjadjaran

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.15851/jap.v8n2.2072

Abstract

Hidrotoraks merupakan komplikasi yang jarang terjadi akibat pemasangan kateter vena sentral dengan angka insidensi 0,4–1,0%. Insidensi komplikasi mekanik lebih rendah pada insersi vena jugularis dibanding dengan vena subklavia. Pada kasus ini, kami melaporkan pasien laki-laki berusia 63 tahun dengan berat badan 70 kg. Pasien dengan ASA 4E sepsis dan curiga keganasan. Pasien ini didiagnosis akut abdomen karena  total bowel obstruction dan rencana dilakukan tindakan laparotomi dengan anestesi umum. Pasien ini telah dipasang kateter vena sentral saat di IGD. Pasien dilakukan tindakan anestesi umum selama 3 jam dan mendapatkan cairan intraoperatif 1.500 cc melalui kateter vena sentral. Pascaoperasi, pasien tidak dapat dilakukan ekstubasi karena napas tidak adekuat dan hemodinamik tidak stabil sehingga pasien dirawat di ruang ICU. Saat pasien tiba di ruang ICU, pada pemeriksaan fisis ditemukan suara napas paru kanan menurun dan perkusi redup pada paru kanan. Hasil analisis gas darah menunjukkan hipoksemia berat dan asidosis. Pemeriksaan foto rontgen dada ditemukan gambaran efusi pleura masif. Kami melakukan evakuasi kurang lebih 2,2 liter cairan berwarna kemerahan dari kavum pleura dan memasang selang chest tube pada paru kanan. Pasien mengalami acute respiratory distress syndrome (ARDS). Tata laksana pasien dengan sepsis dan ARDS berfokus pada prinsip lung protective strategy dan sepsis bundle sesuai dengan surviving sepsis campaign (SSC) 2018.Right Massive Hydrothorax with ARDS due to Complication of Internal Jugular Central Venous Catheter InsertionHydrothorax is a rare complication seen in approximately 0.4–1.0 % of all catheter placements. The major mechanical complication incidence of internal jugular vein insertion is lower than the one in the subclavia vein. This study presented a case of a 63-year-old, 70 kg man with ASA 4E sepsis and suspected malignancy. Patient was diagnosed with acute abdomen pain due to total bowel obstruction and underwent exploratory laparotomy with general anesthesia. A right jugular central venous catheter (CVC) was inserted in the ER. Patient was under general anesthesia for 3 hours and 1,500 cc intra operative fluid was administered through the CVC. After surgery, the patient experienced extubation failure and was admitted to ICU because of inadequate spontaneous breathing and hemodynamic instability. Patient experienced reduced breath sound and the resonance to percussion was dull in the right hemithorax. The BGA presented severe hypoxemia and acidosis while the chest x-ray showed right sided massive pleural effusion. Almost 2.2 liter of clear reddish fluid was drained from pleural cavity and a chest tube was inserted. Patient was then diagnosed as having acute respiratory distress syndrome (ARDS). Treatment for sepsis and ARDS was then given by focusing on the principle of lung protective strategy and sepsis bundle according to surviving sepsis campaign (SSC) 2018.
Perbandingan Efektifitas Larutan Antiseptik Kombinasi Chlorexidine Gluconate Cetrimide - Alkohol 70% Dengan Povidone Iodine 10 % Terhadap Kepadatan Kuman Pada Tindakan Anestesi Spinal Khadafi Indrawan; Wiwi Jaya; Noorhamdani Noorhamdani
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 7, No 1 (2015): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (537.672 KB) | DOI: 10.14710/jai.v7i1.9164

Abstract

Latar belakang : Infeksi bakteri dapat disebabkan oleh tehnik neuraxial. Salah satu faktor penyebab  infeksi bakteri adalah  peralatan yang digunakan, tehnik aseptik yang salah, atau larutan anti septik yang dipakai. Larutan antiseptik yang biasa digunakan pada anestesi spinal adalah chlorhexidine dan povidone iodine. Chlorhexidine gluconate adalah larutan antiseptik yang kuat dan  berspektrum luas,  efektif melawan hampir semua bakteri (gram positif dan gram negatif) dan jamur nosokomial . Povidone iodine memiliki aktivitas melawan mikroorganisme b gram negatif maupun gram postif dan dapat menembus dinding sel serta menghambat sintesis protein bakteriTujuan : Mengetahui Efektifitas  larutan antiseptik kombinasi Chlorhexdine gluconate cetrimide – alkohol 70% dengan pemakaian Povidone iodine 10%  terhadap kepadatan kuman pada tindakan  anestesi spinalMetode : Penelitian eksperimental dengan rancangan “single blind true experimental design” pada 32 pasien dengan usia 18 – 40 tahun, status fisik ASA I-II yang menjalani tindakan anestesi spinal. Terdiri dari 2 kelompok: kelompok Chlorexidine gluconate cetrimide-alkohol 70% (clor) dan kelompok Povidone Iodine 10% (pov). Dilakukan pengambilan swab I pada punggung pasien sebelum perlakuan. Dan pengambilan swab II setelah mendapat perlakuan dan mengambil cairan serebrospinal untuk dikultur. Analisa hasil dengan uji statistik dilakukan uji beda t berpasangan (sebelum dan sesudah perlakuan) dan uji t dua sampel bebas (sesudah perlakuan), dengan derajat kemaknaan yaitu nilai p< 0,05.Hasil : Insidensi kepadatan kuman pada kelompok clor sebesar 1,4% sedangkan pada kelompok pov 4,1%. Insidensi kepadatan kuman lebih banyak pada kelompok povidone iodine. Dari rata-rata penurunan kepadatan kuman sesudah perlakuan kelompok chlorexidine mean = 0,0625, sedangkan pada kelompok povidone mean = 1,0625. Rata-rata penurunan kepadatan kuman pada kelompok chlorexidine lebih kecil.Simpulan : Efektifitas antiseptik kombinasi Chlorexidine gluconate cetrimide-alkohol 70 % lebih baik bila dibandingkan antiseptik Povidone iodine 10%  terhadap kepadatan kuman pada tindakan anestesi spinal.
Pengaruh Pemberian Fentanyl 1μg/Kgbb Sebagai Ajuvan pada Bupivacaine 0,5% Terhadap Onset Blok Motorik dan Sensorik Pasien yang Dilakukan Anestesi Epidural Ruddi Hartono; Wiwi Jaya; Djudjuk Rahmad Basuki
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 5, No 1 (2013): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (604.292 KB) | DOI: 10.14710/jai.v5i1.6553

Abstract

Latar Belakang: Nyeri merupakan salah satu efek dari operasi yang dapat diantisipasi. Penanganan nyeri yang efektif yang dilakukan baik saat sebelum operasi (pre emptive analgesia), intraoperatif maupun pasca operatif akan meningkatkan tingkat kenyamanan pasien sehingga efek sistemik dari nyeri dapat diatasi dengan baik. Teknik epidural dapat digunakan untuk mengatasi nyeri durante operasi maupun sesudah operasi. Salah satu kendala saat menggunakan tekhnik epidural murni adalah lamanya onset dari epidural baik itu untuk blok sensorik maupun motorik. Dengan menggunakan lokal anesthesi yang banyak digunakan adalah bupivacaine 0,5% murni tanpa ajuvan, efek terhadap blok motorik dan sensorik akan mulai terjadi 15 sampai 25 menit setelah epidural dilakukan. Dari beberapa penelitian di luar negeri, penambahan ajuvan lokal anestesi dengan fentanyl terbukti mempercepat onset dengan efek samping yang minimal. Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh pemberian fentanyl 1μg/kgBB sebagai ajuvan pada bupivacaine 0,5% pada pasien yang akan dilakukan epidural di Rumah Sakit Saiful anwar Malang terhadap onset blok motorik dan sensorik.Tujuan: Untuk menilai pengaruh pemberian fentanyl 1μg/kgBB sebagai ajuvan pada bupivacaine 0,5% pada pasien yang akan dilakukan epidural di Rumah Sakit Saiful anwar Malang terhadap onset blok motorik dan sensorik.Metode: Tiga puluh pasien yang menjalani operasi di Rumah Sakit Saiful anwar Malang dengan teknik epidural. Grup pertama (15 pasien) dilakukan tindakan epidural dengan bupivacain 0,5% dengan ajuvan fentanyl 1μg/kgBB dan grup kedua sebagai kontrol dengan tanpa ajuvan. Untuk membandingkan rerata onset blok sensorik dan motorik kedua grup digunakan independent sample t test.Hasil: Pemberian ajuvan fentanyl 1 μg/kgBBpada bupivacaine 0,5% untuk anestesi epidural, dapat mempercepat onset blok motorik dan blok sensorik.Simpulan: Pemberian ajuvan fentanyl 1 μg/kgBB pada penggunaan regimen epidural dengan bupivacain 0,5% menghasilkan onset blok sensorik dan motorik yang berbeda bermakna dengan tanpa ajuvan.
Perbandingan Efek Pemberian Ondansetron dan Petidin Intravena untuk Mencegah Menggigil Pasca Anestesi Umum Arie Zainul Fatoni; Isngadi Isngadi; Wiwi Jaya
JAI (Jurnal Anestesiologi Indonesia) Vol 6, No 2 (2014): Jurnal Anestesiologi Indonesia
Publisher : Perhimpunan Dokter Spesialis Anestesiologi dan Terapi Intensif

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.14710/jai.v6i2.7718

Abstract

Latar belakang : Menggigil merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca tindakan anestesi umum yang berdampak tidak nyaman pada pasien dan menimbulkan berbagai resiko. Oleh sebab itu, menggigil perlu dicegah atau diatasi. Sampai saat ini obat yang paling sering digunakan di RSSA adalah petidin. Akan tetapi petidin mempunyai efek samping mual, muntah dan depresi napas. Ondansetron merupakan antagonis 5-HT3 yang mempunyai efek anti mual, anti muntah dan anti menggigil.Tujuan : Mengetahui perbedaan efek pemberian ondansetron 0.1 mg/kgbb dengan petidin 0.4 mg/kgbb intravena untuk mencegah menggigil pasca anestesi umum.Metode : Penelitian eksperimental dengan rancangan “single blind true experimental design” pada 32 pasien dengan usia 18 – 40 tahun yang menjalani operasi 1 – 3 jam dengan anestesi umum. Pada akhir operasi, pasien dibuat bernafas spontan. Dua puluh menit sebelum ekstubasi, pasien dibagi menjadi dua kelompok : kelompok I mendapatkan petidin 0.4 mg/kgbb dan kelompok II mendapatkan ondansetron 0.1 mg/kgbb. Ekstubasi dilakukan setelah pasien bernafas spontan adekuat dan refleks laring sudah ada. Pasca ekstubasi pasien diberi oksigen 8L/menit. Tanda vital, efek samping dan kejadian menggigil dicatat tiap lima menit selama 30 menit. Uji statistik dilakukan dengan menggunakan Mann Whitney, dengan derajat kemaknaan yaitu nilai p< 0.05.Hasil : Data karakteristik pasien antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0.05). Kejadian menggigil pada kelompok I terjadi pada 4 pasien (25%), menggigil derajat 1 pada 3 pasien dan sisanya derajat 2. Pada kelompok II, 3 pasien (18.75%) mengalami kejadian menggigil, menggigil derajat 1 pada 2 pasien dan sisanya derajat 2. Kejadian dan derajat menggigil antara kedua kelompok tidak berbeda bermakna (p>0.05). Suhu membran timpani kelompok I dan kelompok II juga tidak bermakna (p>0.05). Dua pasien (12.5%) pada kelompok I mengalami mual sedangkan pada kelompok II tidak didapatkan efek samping (p=0.151) tetapi secara statistik tidak berbeda bermakna (p>0.05).Kesimpulan : Petidin 0.4 mg/kgbb dan ondansetron 0.1mg/kgbb mempunyai efek yang sama dalam mencegah menggigil pasca anestesi umum.
Delta Inferior Vena Cava Index Correlated with Mean Arterial Pressure (MAP) in Spinal Anesthesia Wiwi Jaya; Ulil Abshor; Buyung Hartiyo Laksono; Arie Zainul Fatoni
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 2, No 2 (2021): May
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2021.002.02.04

Abstract

Background: Spinal anesthesia has become an alternative to general anesthesia. However, spinal anesthesia has the most common side effects including, bradycardia and hypotension. The aim of this study was to determine the relationship between changes in the inferior vena cava index (delta inferior vena cava index) to changes in mean arterial pressure in spinal anesthesia.Methods: This study was an observational pre-post test study in thirty-two patients who received spinal anesthesia. The inferior vena cava index (inferior vena cava collectibility index and caval-aorta index) was measured before and after spinal anesthesia (5 and 10 minutes after onset). Data were analyzed using the Kolmogorov Smirnov test, Shapiro-Wilk test, T-test, and correlation test with α=5%Result: There was a significant difference in mean arterial pressure (MAP), delta inferior vena cava collectibility index (D-IVC-CI), and delta caval-aorta index (D-CAo-I) before and after spinal anesthesia. D-IVC-CI and D-CAo-I are significantly correlated with MAP. The correlation between D-IVC-CI and MAP had R = -0.371 (P <0.05) at 5 minutes post-anesthesia, while D-CAo-I and MAP had R = 0.472 (P <0.05) at 10 minutes post-anesthesia. Conclusion: The delta inferior vena cava index is correlated with the mean arterial pressure (MAP) value in spinal anesthesia.
Effective Enteral Treatment of Antibiotic for Patient with Respiratory Failure and Septic Shock in the Intensive Care Unit Maya sari; Wiwi Jaya; Arie Zainul Fatoni
Journal of Anaesthesia and Pain Vol 2, No 3 (2021): September
Publisher : Faculty of Medicine, Brawijaya University

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21776/ub.jap.2021.002.03.03

Abstract

Background: Pneumonia is a lung infection involving pulmonary alveoli caused by microbes, including bacteria, viruses, and fungi. It is a major infection that causes hospitalization and death worldwide and exacts an enormous cost in economic and human terms. The study to assess clinical outcomes for a critically ill patient treated with an enteral antibiotic for bacterial pneumonia is still limited.Case: We reported a case of pneumonia from 68 years old patient that caused respiratory failure and septic shock in the intensive care unit treated by enteral antibiotic and had a good outcome.Conclusion: Pneumonia can cause respiratory failure and septic conditions. Optimum antibiotic management is one of the methods to solve this problem. The benefit of utilizing enteral antibiotics is substantial and probably appropriate in certain patients.