Shita Dewi
Pusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan

Published : 7 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 7 Documents
Search

Selamat Tahun Baru 2015 Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 1 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (143.351 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i1.36083

Abstract

 Ini adalah edisi pertama dari Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia tahun 2015, dan hanya dalam jangka waktu yang singkat di awal tahun ini, Indone- sia di bawah pemerintahan yang baru telah meng- alami begitu banyak hal yang menyedot perhatian publik yang menarik untuk kita simak. Dengan ada- nya Kabinet yang baru, maka jajaran Kementrian Kesehatan kini dipandu oleh Menteri Kesehatan yang baru, dan di awal tahun ini, beliau telah menyaji- kan program kerja Kementrian Kesehatan. Salah sa- tu hal yang menarik di awal masa bakti beliau ada- lah diadakannya serangkaian pertemuan lintas Ke- mentrian. Ini merupakan angin segar yang menjanji- kan sinergi yang lebih baik antara kebijakan dan pro- gram Kementrian Kesehatan dengan kebijakan dan program Kementrian lain untuk mengatasi masalah kesehatan secara holistic.Beberapa pertemuan yang menarik adalah pertemuan dengan Mendagri pada bulan Desember 2014. Ini merupakan pertemuan pertama antar Menteri Kabinet Kerja. Hasil pertemuan kedua Menteri adalah kesepakatan untuk mensosialisasikan JKN melalui asosiasi kepala daerah, memperkuat pembe- kalan teamwork nakes yang akan ditempatkan di daerah untuk menyeimbangkan pelayanan promotif- preventif dan kuratif-rehabilitatif, kesepakatan untuk memperbanyak Puskesmas Bergerak (mobile pus- kesmas) untuk pelayanan kesehatan di daerah ter- pencil, kesepakatan tentang prioritas pembangunan Puskesmas di 50 wilayah, kesepakatan untuk mem- buat surat edaran kepada kepala daerah untuk men- dukung peraturan pemerintah terkait Standar Pela- yanan Mutu (SPM) bidang kesehatan serta integrasi data administrasi kependudukan. Pada bulan yang sama, pertemuan juga diadakah dengan Menkominfo untuk menyepakati penguatan SPGDT dengan layanan satu nomor panggil 119, serta pelaksanaan assessment oleh Kemenkominfo terhadap berbagai aplikasi yang ada di Kemenkes.Pada awal Januari 2015, rapat koordinasi dengan Menteri Desa, Pembangunan Daerah Terting- gal, dan Transmigrasi yang membahas persiapan infrastruktur pendukung (bangunan fisik, jalan, air bersih, sarana komunikasi) serta sistem keamanan secara khusus untuk wilayah perbatasan terkait de- ngan pergerakan manusia, hewan, barang, penyakit. Bahkan, khusus untuk wilayah transmigrasi baru mempertimbangkan juga bidang usaha kecil yang terjamin dan sehat. Pada bulan yang sama juga dila- kukan pertemuan dengan Menteri Perdagangan untuk membahas perlindungan masyarakat terhadap produk makanan import melalui pengaturan bahan berbahaya untuk makanan dan minuman. Pertemuan juga membahaskoordinasi perdagangan barang dan jasa dalam rangka menghadapi Masyarakat Ekono- mi ASEAN (MEA).Bulan Januari juga diisi dengan pertemuan koordinasi dengan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pertemuan penting ini membahas hal-hal terkait fasilitas fisik untuk mendukung pro- gram kesehatan yaitu pembangunan akses masyarakat ke fasilitas pelayanan Kesehatan Primer, pembangunan sarana air bersih dan sanitasi untuk masyarakat, pembangunan perumahan untuk tenaga kesehatan, serta pengintegrasian pembangunan kawasan kumuh dengan program Kesehatan (Air bersih, STBM dan PHBS). Mengingat pentingnya kola- borasi jangka panjang dalam hal ini, beberapa tar- get kolaborasi diidentifikasi untuk dilaksanakan dalam 5 tahun ke depan.Terakhir, pertemuan koordinasi juga dilakukan dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Ada- pun hasil pertemuan adalah Menyusun materi PHBS untuk guru sebagai agent of change, merevitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS), menghidupkan kembali program Pemberian Makanan Tambahan Anak Sekolah (PMT-AS) melalui gerakan sarapan pagi, membangun paket kegiatan rutin anak sekolah termasuk piket membersihkan lingkungan sekolah, serta menyusun peraturan tentang pendirian SMK dan bidang penjurusannya.Salah satu program penting dari Kementrian Ke- sehatan adalah Program Indonesia Sehat. Program Indonesia Sehat terdiri atas 1) Paradigma Sehat; 2) Penguatan Pelayanan Kesehatan Primer; dan 3) Ja- minan Kesehatan Nasional. Ketiganya akan dilaku- kan dengan menerapkan pendekatan continuum of care dan intervensi berbasis risiko (health risk). Paradigma sehat menyasar pada empat aktor yaitu: (1) penentu kebijakan pada lintas sektor, untuk memperhatikan dampak kesehatan dari kebijakan yang diambil baik di hulu maupun di hilir, (2) tenaga kesehatan, yang mengupayakan agar orang sehat tetap sehat atau tidak menjadi sakit, orang sakit menjadi sehat dan orang sakit tidak menjadi lebih sakit; (3) Institusi Kesehatan, yang diharapkan me- nerapkan standar mutu dan standar tarif dalam pela- yanan kepada masyarakat, serta (4) masyarakat, yang ikut bertanggungjawab menjaga kesehatan.Terkait penguatan pelayanan kesehatan primer, program Kementerian Kesehatan akan akan meliputi penguatan dan kesiapan 6.000 Puskesmas di 6 re- gional, membentuk 14 RS Rujukan Nasional serta 184 RS Rujukan regional. Khusus untuk daerah terpencil dan sangat terpencil, di bangun RS kelas D Pratama dengan kapasitas 50 Tempat Tidur untuk lebih mendekatkan pelayanan kesehatan rujukan. Pada regional Papua akan didirikan 13 Rumah Sakit Pratama. Sementara pada Regional Sumatera, Jawa, Bali-Nusa Tenggara, Kalimantan, Sulawesi akan didirikan 55 Rumah Sakit Pratama.Selain itu Kemenkes membentuk program Nu- santara Sehat (NS). Di dalam program ini dilakukan peningkatan jumlah, sebaran, komposisi dan mutu Nakes berbasis pada tim yang memiliki latar bela- kang berbeda mulai dari dokter, perawat dan Nakes lainnya (pendekatan Team Based). Program NS ti- dak hanya berfokus pada kegiatan kuratif tetapi juga pada promitif dan prefentif untuk mengamankan ke- sehatan masyarakat dan daerah yang paling mem- butuhkan.Terkait upaya pencapaian kesehatan semesta, Kementrian Kesehatan terus melanjutkan program Jaminan Kesehatan Nasional dan menambahkan program Kartu Indonesia Sehat (KIS) pada bulan November 2014. Program ini menjamin dan memastikan masyarakat kurang mampu untuk mendapat manfaat pelayanan kesehatan seperti yang dilaksanakan me- lalui Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) yang dise- lenggarakan oleh BPJS Kesehatan melalui perluasan cakupan PBI termasuk Penyandang Masalah Kese- jahteraan Sosial (PMKS) dan Bayi Baru Lahir dari peserta Penerima PBI; serta memberikan tambahan Manfaat berupa layanan preventif, promotif dan de- teksi dini dilaksanakan lebih intensif dan terintegrasi. Terlihat bahwa tahun 2015 dimulai dengan langkah-langkah positif dan ambisi besar di sektor kese- hatan untuk mewujudkan masyarakat yang lebih se- hat melalui berbagai upaya lintas sektor. Tugas kita sebagai pemerhati dan akademisi sekarang adalah untuk mengawal realisasi dan pelaksanaan program- program dan janji pemerintah melalui system moni- toring dan evaluasi mandiri serta memberikan masuk- an yang konstruktif untuk perbaikan sektor kesehat- an dan kemajuan negeri ini. Kami mengundang para pembaca yang budiman untuk secara lebih aktif ber- peran serta dalam proses pengawasan dan penyediaan masukan kepada pemerintah melalui penelitian yang bisa kita lakukan di daerah kita masing-masing. Dengan cara yang sederhana ini, kita turut menyumbang pada seberapa cepat dan seberapa berhasil bangsa ini mencapai apa yang kita cita-citakan bersama. Shita Listya DewiPusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Edisi Khusus Seri 1 Analisis Biaya untuk Pembiayaan Kesehatan Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 3 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (126.255 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i3.36105

Abstract

Selamat berjumpa kembali.Pada bulan Agustus lalu telah diselenggarakan Forum Nasional Kebijakan Kesehatan Indonesia ke VI di Padang, Sumatera Barat, yang dihadiri pula oleh Menteri Kesehatan Republik Indonesia, Prof. dr. Nila Moeloek. Forum tersebut diikuti oleh 450 peserta dan menampilkan 90 hasil penelitian dari seluruh penjuru Indonesia yang tentunya diharapkan bermanfaat bagi para hadirin. Materi presentasi dapat dilihat di situs http://kebijakankesehatanindonesia. net/ Dalam rangka membantu agar semakin banyak dari antara kita terpapar dengan hasil-hasil penelitian tersebut, maka JKKI akan memuat beberapa artikel penelitian terpilih untuk disajikan dalam beberapa seri edisi khusus. Seri pertama akan memuat topik- topik terkait analisis biaya untuk pembiayaan kesehatan.Sebagaimana kita ketahui, selama puluhan ta- hun sistem penetapan tarif di rumah sakit dan di fasilitas pelayanan kesehatan di Indonesia dilakukan berdasarkan perkiraan biaya yang dihitung dan ditetapkan secara ‘tradisional’ sehingga banyak me- ngandung unsur ‘good-enough approximations’. Ter- lebih lagi, berapa pun besarnya tarif yang dikenakan biasanya akan dibayar oleh pengguna, baik oleh pasien (out-of-pocket), pemerintah, mau pun oleh asuransi kesehatan atau kombinasi dari ketiga unsur ini. Tetapi dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasio- nal, hal ini tentu saja tidak lagi sesuai karena rumah sakit dan fasilitas pelayanan kesehatan dibayar dengan jumlah yang telah ditentukan. Masalah timbul ketika ternyata penggantian biaya oleh BPJS disi- nyalir rata-rata berada di bawah tarif pelayanan. Ke- tidakpuasan dan terhambatnya pelayanan seringkali menjadi ujungnya.Untuk mengatasi hal ini tentu saja ada beberapa hal yang harus berubah. Pertama, kita harus berhenti melakukan kesalahan menyamakan ‘biaya’ dengan ‘tarif’, karena kedua hal ini berbeda. Kedua, kita harus mengetahui dengan tepat berapa biaya yang dikeluar- kan untuk suatu pelayanan. Ketiga, kita harus men- cari cara untuk melakukan efisiensi biaya tanpa mengorbankan mutu pelayanan.Hal ini memerlukan keahlian akuntansi biaya (cost accounting). ‘Good-enough approximations’ tidak bisa lagi menjadi norma di bidang pelayanan kesehatan. Akuntansi biaya akan dapat melakukan penghitungan yang mendekati akurat untuk biaya- biaya tetap (fixed costs) dan biaya-biaya variabel (variable costs) suatu pelayanan. Kami katakan “mendekati akurat” karena sangat sulit melakukan penghitungan biaya yang 100% akurat. Namun, ini tidak berarti bahwa proses penghitungan biaya dan proses penetapan strategi efisiensi biaya harus dise- rahkan sepenuhnya kepada seorang akuntan biaya (cost accountant), karena keterlibatan para profes- sional kesehatan sangat diperlukan. Keterlibatan para professional kesehatan dalam proses analisis biaya kesehatan akan membantu para professional kese- hatan menyadari apa cost drivers suatu pelayanan dan mereka dapat melakukan inovasi dalam proses pelayanan yang tidak hanya menurunkan biaya tetapi juga mempertahankan mutu pelayanan dan memper- hatikan keselamatan pasien.Dalam edisi kali ini, kami pilihkan beberapa artikel terkait analisis biaya yang semoga dapat menjadi pelajaran bagi pembaca.Selamat membaca.
Beberapa Titik Kritis Kebijakan Obat dalam Sistem Jaminan Sosial Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (192.542 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36350

Abstract

Seiring dengan berjalannya sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN), terjadi beberapa perubahan dalam sistem kesehatan Indonesia, salah satunya dalam sistem penyediaan obat dan pembayarannya. Seperti kita ketahui, penggunaan obat dalam JKN mengacu pada penggunaan Formularium Nasional (Fornas) yang digunakan pada sistem Ina-CBGs di rumah sakit. Saat ini Kementerian Kesehatan masih dalam proses penyusunan e-katalog sebagai pandu- an jenis dan harga obat dalam pelayanan JKN, se- hingga untuk sementara waktu BPJS menggunakan Daftar Plafon Harga Obat (DPHO) sebagai panduan. Mengingat obat adalah salah satu komponen yang dibiayai dalam sistem JKN, kita dapat berasumsi bahwa permintaan obat generik tentu akan mening- kat pesat seiring diberlakukannya JKN. Namun, ada beberapa hal yang dapat menjadi titik kritis dalam situasi ini.Pertama, dari sisi demand, perlu edukasi bagi pasien mengenai obat generik. Kepercayaan masya- rakat terhadap obat generik masih beragam dan sa- lah satu faktor penyebabnya adalah persepsi tentang kualitas obat generik yang lebih rendah dibanding obat bermerek. Persepsi ini muncul dipengaruhi ba- nyak faktor tetapi terutama karena harga obat generik yang jauh lebih murah, kemasannya kurang menarik dan juga tidak memiliki ‘nama dagang’ yang dikenal masyarakat dari iklan. Oleh karena itu, faktor eduka- si kepada pasien (masyarakat) menjadi mutlak agar masyarakat dapat lebih menerima obat generik. Mes- ki harganya jauh lebih murah, sebenarnya tidak ada perbedaan antara kualitas obat generik jika diban- dingkan dengan obat bermerek. karena obat generik dan obat bermerek sebenarnya merupakan obat copy dari obat paten (originator), sehingga tidak berbeda dalam hal zat aktif, indikasi, dan bentuk sediaan. Sebelum dipasarkan, setiap obat generik, baik yang berlogo maupun bermerek, harus melalui uji bioekivalensi. Dengan uji tersebut, zat aktif obat dan khasiatnya dapat dipastikan sama dengan origi- natornya. Apabila kepercayaan masyarakat terhadap obat generik rendah, besar kemungkinan masyarakat menolak resep obat generik dan menghendaki peresepan obat bermerek yang lebih mahal dan akan membebani biaya kesehatan.Kedua, dari sisi supply, terdapat dugaan bahwa penerapan JKN diperkirakan akan membuat target pasar obat meningkat beberapa kali lipat untuk me- menuhi kebutuhan 240 juta penduduk Indonesia. Artinya, peningkatan produksi obat khususnya obat generik juga perlu dilakukan oleh industri farmasi di Indonesia. Sejauh ini, belum ada instruksi khusus kepada Gabungan Perusahaan Farmasi mengenai peningkatan kapasitas produksi obat generik untuk menghadapi JKN. Karena itu, keputusan untuk me- ningkatkan produksi bergantung pada masing-masing industri farmasi. Selain itu, ada pula kemungkin- an timbulnya hambatan, khususnya jika ada permin- taan mendadakterhadap produk tertentu.Artinya, ham- batan bukan karena kapasitas, melainkan masalah penjadwalan produksi dan ketersediaan bahan baku. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan sebagai penyelenggara JKN menyatakan bahwa BPJS tidak ikut serta dalam tata laksana penyediaan obat untuk peserta JKN. Hal ini sangat berbeda dengan pelaksanaan asuransi ASKES, misalnya, yang menempatkan PT. ASKES sebagai penyedia dan penanggung jawab obat. BPJS dalam era JKN hanya bertanggung jawab pada pemenuhan klaim yang diajukan fasilitas kesehatan. Klaim diajukan berdasarkan ketersediaan dalam fornas, dengan harga berdasarkan e-katalog dan DPHO 2013. De- ngan kondisi ini, maka kondisi internal rumah sakit menentukan ketersediaan obat. Artinya, rumah sakit harus memiliki manajemen keuangan yang baik se- hingga memiliki cashflow yang baik. Cash flow inilah yang menentukan ketersediaan obat. Puskesmas dan layanan kesehatan primer lain, ketersediaan obat sangat bergantung pada instalasi farmasi yang ada di kabupaten/kota, sehingga sangat bergantung pada komitmen pemerintah daerah (baca: alokasi APBD dan DAK) untuk pengadaan obat.Negara Perancis, Pemerintah juga berupaya mensubstitusi obat bermerk dengan obat generik sebagai salah satu alat kendali biaya. Di Perancis, hampir 90% dari total drug expenditures merupakan reimbursable drugs (obat yang nantinya di-gantibayar oleh pemerintah) karena berada di dalam formularium nasional1. Perlu diketahui bahwa sistem jaminan sosial di Perancis menggunakan mekanisme ganti bayar (reimbursement). Jadi, pasien membayar terlebih dahulu, kemudian menagihkan ke penyelengga- ra jaminan sosial. Jaminan sosial akan mengganti sesuai ketentuan - untuk obat sekitar 65% akan diganti bayar - kecuali bagi peserta CMU-C dimana mereka menikmati fasilitas free-of-charge at the point of service termasuk obat2. Bagi peserta jaminan sosial non CMU-C, co-payment biasanya akan ditagihkan ke asuransi swasta yang mereka ikuti.Namun, di Perancis, obat generik ternyata juga memiliki tingkat kepercayaan yang relatif rendah. Sebuah rapid survey3 memperlihatkan bahwa sekitar 40% responden merasa tidak yakin terhadap obat generik dan hanya 57% secara konsisten menerima obat generik walau pun 81% menyadari keuntungan menggunakan obat generik karena lebih murah. Sampai tahun 2012 lalu, pangsa pasar obat generik di Perancis hanya sekitar 14% dari total penjualan obat4. Ini mengindikasikan bahwa pengetahuan mengenai harga yang lebih murah tidak mengubah kepercayaan masyarakat terhadap obat generik dan juga tidak mengubah pola perilaku konsumsi mereka. Biaya belanja kesehatan di Perancis diawasi oleh badan pengawasan obat dan produk kesehatan yang disebut Agence Nationale de Sécurité du Médi- cament et des Produits de Santé (ANSM) dan oleh penyelenggara jaminan sosial yaitu La Caisse Natio- nale d’Assurance Maladie (CNAM). Di Perancis ter- dapat beberapa kebijakan untuk menekan biaya be- lanja kesehatan khususnya belanja obat5. Pertama, sejak 2002, CNAM mewajibkan setidaknya seper- empat dari resep yang ditulis dokter merupakan ba- han kimia dari molekul aktif (jadi, bukan merek da- gang), selain itu dokter diberi insentif tambahan apa- bila meresepkan obat generik. Di sisi lain, CNAM memiliki kesepakatan dengan apotik tentang target penjualan obat generik. Selain itu, harga obat generik di dalam formularium nasional diregulasi, terdapat diskon/margin yang lebih besar untuk obat generik dibanding obat bermerek sehingga apotik memiliki insentif untuk mensubstitusi obat bermerek di dalam resep dengan obat generik, pengenaan PPn yang lebih rendah untuk obat yang berada di dalam for- mularium nasional, besaran gantibayar untuk obat generik, de-listing beberapa obat bermerek dari daftar reimbursable drugs, dan sebagainya. Pemerintah juga membatasi jumlah maksimal kunjungan yang boleh dilakukan oleh detailer perusahaan farmasi ke dokter. Hasilnya, antara tahun 2003 – 2010 sempat terjadi kenaikan pangsa pasar obat generik dari 11% menjadi 24%, dan consumer price (harga yang diba- yar masyarakat) hanya naik sekitar 0.6% per tahun6. Sementara itu obat-obat di luar formularium nasional Perancis mengalami kenaikan harga rata-rata 3.2 % per tahun dalam periode yang sama7. Hal ini dise- babkan karena kebanyakan obat bermerek di-delisting (dikeluarkan dari fomularium nasional) oleh pemerintah. Dengan dikeluarkannya obat tertentu dari formularium nasional, obat tersebut tidak lagi diregu- lasi harganya, dan dikenai PPn hampir dua kali lipat dibanding obat di dalam formularium nasional.Pada tahun 2010 lalu, biaya untuk kesehatan (di luar rawat inap) mencapai sekitar 10% dari kon- sumsi rumahtangga, dan obat merupakan 35.5% dari keseluruhan biaya kesehatan rumahtangga di Peran- cis8, sehingga wajar apabila masyarakat sangat memperhatikan fluktuasi harga obat dan kebijakan pemerintah terhadap obat. Pemerintah telah meng- umumkan kembali komitmennya untuk menurunkan belanja kesehatan untuk obat. Hal ini memiliki dua kemungkinan: semakin gencarnya kebijakan yang mendorong konsumsi obat generik dan/atau de-list- ing obat dari formularium nasional.Jelas bahwa di bawah sistem jaminan sosial nasional, kebijakan obat merupakan salah satu alat penting yang dipakai pemerintah untuk mengendali- kan belanja kesehatan. Oleh karena itu, identifikasi dan solusi terhadap beberapa titik kritis di Indone- sia perlu dikaji sejak awal.Pada edisi kali ini, seperti biasa JKKI juga meng- hadirkan beberapa topik kajian kebijakan yang menarik, kebanyakan merupakan analysis of policy dan lebih bersifat monitoring dan/atau evaluasi dalam im- plementasinya. Kami berharap riset-riset mendatang akan lebih banyak lagi mengkaji pilihan kebijakan dan opsi-opsi solusi untuk masalah kebijakan. Selamat membaca.
Pelajaran dari Pendidikan Kedokteran di Perancis Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.268 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36358

Abstract

Pendidikan kedokteran di Perancis cukup berat. Walaupun tidak ada pembatasan jumlah calon ma- hasiswa yang bisa diterima di fakultas kedokteran, namun kenyataannya terjadi proses eliminasi alami. Rata-rata, setiap tahun ada 550.000 mahasiswa kedokteran di tahun pertama, namun dari antara mereka hanya sekitar 7.500 mahasiswa yang bisa melanjutkan ke tahun kedua. Jumlah mereka yang bisa melanjutkan ke tahun ketiga akan kembali berkurang, dan seterusnya. Pada tahun keenam, mereka akan menjalani ujian ranking nasional (Examen Classant National/ECN). ECN dilaksanakan serentak di tujuh pusat ujian yang tersebar di seluruh negeri, berlangsung selama empat hari berturut-turut, dan terdiri dari dua macam test, yaitu test dalam bentuk case setting, dan test critical clinical reading. Test dalam bentuk case setting akan menguji mahasiswa mulai dari diagnostic awal, hypotheses, clinical dan diagnostic testing, prognosis dan monitoring pasien selama treatment. Test dalam bentuk critical clini- cal reading mengharuskan mereka membuat abstrak dari artikel klinis yang ditugaskan, dan mereka diha- ruskan mengkritisi metodologi yang digunakan serta hasilnya. Examen Classant National (ECN) akan menghasilkan ranking nasional untuk mahasiswa yang dianggap layak untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Berdasarkan ranking mereka inilah mere- ka diperbolehkan atau tidak memilih spesialisasi yang mereka inginkan. Jadi, persaingan untuk masuk ke spesialisasi yang diinginkan sangat ditentukan oleh hasil ECN. Spesialisasi yang menjadi favorit adalah ophthalmology, nephrology, radiology dan cardiology. Rata-rata, hanya 1 dari 3 mahasiswa yang bisa meneruskan ke spesialisasi yang benar- benar mereka inginkan. Mengapa demikian?Karena setiap tahun, Kementrian Kesehatan mengeluarkan daftar jumlah dan jenis spesialisasi yang dibutuhkan. Jenis spesialisasi yang tersedia adalah: General Medicine, Medical Specialties (16 specialties), Surgical Specialties (5 specialties), Anesthesiology, Pediatrics, Obstetrics and Gynecology, Medical Gynecology, Psychiatry, Medical Biology, Occupational Medicine, Public Health. Ke- mudian untuk masing-masing spesialisasi terdapat pula daftar di daerah mana spesialisasi tersebut dibu- tuhkan. Daerah yang dimaksud adalah daerah yang menjadi catchment area dari rumah sakit pendidikan. Jadi, kombinasi antara hasil ECN dan daftar yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan menentukan distribusi dan jumlah residen yang tersedia untuk tiap spesialisasi di masing-masing daerah.Di Negara Perancis terdapat 28 rumah sakit pendidikan (Centre Hospitalier Universitaire/CHU), dan tahun lalu (2013-2014) ada 7.820 residen baru yang ditempatkan diseluruh rumah sakit pendidikan ini. Penugasan mereka adalah selama tiga tahun, biasanya didaerah peripheral. Misalnya, apabila pe- nugasan mereka di CHU Rennes (Rennes adalah semacam ibukota Propinsi) berarti mereka akan ditempatkan di Vannes, Lorient, Vitré atau Saint- Malo (semacam kota Kabupaten atau lebih kecil lagi). Selama menjadi residen, mereka melayani pasien, membuat diagnosis, menulis resep, melakukan tin- dakan operasi dan sebagainya, di bawah pengawas- an dokter senior. Mereka adalah mesin penggerak di rumah sakit pendidikan.Apabila suatu jenis spesialisasi dibutuhkan dibe- berapa daerah sekaligus, residen diperbolehkan me- milih akan ditempatkan dimana, sejauh kuotanya belum terpenuhi. Sebuah survey cepat1 dilakukan untuk melihat preferensi residen dalam memilih CHU yang diinginkan, kemudian dibandingkan dengan survey cepat lain2 yang meneliti seberapa ‘menarik’ sebuah kota/daerah, biasanya diukur dari tingkat per- tumbuhan ekonomi, kenyamanan hidup, dan seba- gainya. Ternyata hasilnya cukup menarik. Tidak se- mua daerah yang terlihat ‘preferable’ menjadi pilihan utama para residen. Bahkan kota-kota besar seperti Paris dan Marseille, bukan merupakan daerah tujuan utama. Paris, misalnya, hanya berada di urutan ke- 8, ‘dikalahkan’ oleh Grenoble (kota dengan 155.000 penduduk).Jawaban para residen mengindikasikan bahwa pilihan mereka merupakan kombinasi dari faktor kua- litas hidup secara umum, level remunerasi, persepsi terhadap kualitas spesialisasi tertentu di CHU terse- but, dan sebagainya, namun tidak selalu berbanding lurus dengan ‘seberapa menarik’ suatu kota/daerah. Kualitas hidup yang mereka maksud ternyata men- cakup hal-hal yang sifatnya sangat subyektif (misal- nya: daerah tersebut diminati karena dekat dengan pantai, atau merupakan daerah wisata pegunungan, atau karena kota tersebut kaya akan sejarah dan budaya, dan sebagainya), namun juga memiliki visi (misalnya: karena di kota tersebut terdapat pusat penelitian kanker terbesar di Eropa), dan kadang- kadang menyangkut faktor ‘lingkungan kerja yang manusiawi’ (misalnya: karena kepala departemen spesialisasi di CHU tersebut terkenal memperlaku- kan intern dengan baik). Faktor yang terakhir ini di- picu oleh kenyataan yang residen sadari akan hadapi selama menjalani tiga tahun masa penugasannya di CHU tersebut. Rata-rata jam kerja di Perancis adalah 48 jam/minggu, namun residen menyadari bahwa dalam kenyataannya ‘jam kerja’ mereka rata- rata adalah 60 jam/minggu (tepatnya: sekitar 66 jam/ minggu untuk spesialisasi obsgyn dan 69 jam/ming- gu untuk spesialisasi bedah), dan dapat berlangsung 20 hari berturut-turut tanpa akhir pekan. Level remu- nerasi juga penting, namun bukan yang utama, kare- na di Perancis level remunerasi untuk dokter dan spesialisasinya sudah memiliki range yang jelas dan standar. Lebih menariknya pula, secara umum, me- reka ini juga tetap tinggal di daerah/kota tersebut setelah mereka menyelesaikan pendidikannya. Menurut mereka factor potensi berkembangnya suatu daerah dan suatu CHU lebih penting dari fac- tor lainnya.Dari uraian singkat ini, pembaca dapat menarik beberapa point pelajaran yang bisa diambil dari sistem pendidikan kedokteran di Perancis. Salah satu yang paling mencolok adalah bagaimana sektor pendidikan dan sektor kesehatan bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kesehatan. Jadi, kelengkapan dan ketersediaan tenaga kesehatan bukan tergantung semata-mata pada seberapa besar kemampuan rumah sakit ‘menarik minat’ tenaga ke- sehatan untuk bekerja di sana. Sisi penyedia (sektor pendidikan) tidak sekedar bertanggung jawab me- nyediakan sejumlah tenaga kesehatan, namun lebih jauh lagi sistemnya memastikan bahwa tersedia jumlah yang cukup untuk setiap jenis spesialisasi yang dibutuhkan oleh sisi pengguna (sektor kese- hatan). Namun, sistem ini juga hanya bisa berjalan apabila sisi pengguna (dalam hal ini, Kementrian Kesehatan) dapat secara rutin tahunan mengetahui peta kebutuhan spesialis disetiap daerah. Disisi lain, sektor ekonomi daerah juga berkembang sesuai po- tensinya untuk dapat menarik masyarakat berinves- tasi dan tinggal di daerah tersebut. Seberapa jauh pelajaran tersebut dapat diterapkan pula di Indone- sia? Tepatnya, perubahan dan kebijakan apa yang harus kita buat apabila kita menginginkan system serupa di Negara kita agar bisa mengatasi maldistri- busi tenaga kesehatan?
Reformasi Tiada Henti Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 3 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (114.663 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36374

Abstract

Reformasi kebijakan seringkali bukanlah se- suatu yang statis. Reformasi dalam salah satu aspek bidang kesehatan akan berdampak pada bidang- bidang yang lain sehingga terjadi pula reformasi di bidang-bidang lain. Reformasi system pembiayaan kesehatan, misalnya, seyogyanya diikuti pula oleh reformasi di bidang pelayanan kesehatan, yang ke- mudian diikuti oleh reformasi di bidang sumberdaya kesehatan, dan seterusnya. Reformasi juga hampir tidak pernah berjalan sempurna. Dalam pelaksa- naannya, berbagai hal yang bersifat internal dan eksternal mempengaruhi kinerja pencapaian hasil yang diinginkan sehingga dibutuhkan penyesuaian dan ‘reformasi’ selanjutnya. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia tetapi juga di Negara-negara lain.Di Perancis, bulan September ini memiliki arti penting di sektor kesehatan karena pada bulan inilah strategi dan anggaran kesehatan untuk tahun berikut- nya dibahas di Council of Ministers, sebelum akhir- nya dibawa ke National Assembly di awal 2015. Kali ini yang menjadi fokus perhatian pemerintah adalah reformasi di bidang kesehatan untuk menghemat anggaran sebanyak 10milyar Euro selama kurun wak- tu 2015-2017. Ini adalah bagian dari kebijakan “aus- terity” yang dilakukan pemerintah terkait krisis ekonomi yang berkepanjangan di Perancis.Menteri Kesehatan Perancis, Marisol Touraine, menjabarkan rencana reformasi di empat bidang: preventif, pelayanan kesehatan territorial, inovasi dan tatakelola. Di bidang preventif, ada beberapa hal baru yang akan dilakukan. Pertama, program nasional untuk berhenti merokok. Berbagai aturan mengenai kenaikan cukai rokok, pembatasan penjualan dan pembatasan ruang merokok diperketat termasuk untuk rokok elektronik. Ke-dua, aturan baru tentang logo nutrisi makanan kemasan. Kini logo nutrisi dise- derhanakan dengan kode warna (hijau, kuning, merah, dst) di bagian depan kemasan makanan untuk mengindikasikan proporsi kandungan nutrisinya di- bandingkan dengan ‘recommended daily value’. Ke- tiga, uji coba balai suntik higienis bagi pemakai narkoba, untuk mengurangi resiko penularan penya- kit melalui jarum suntik. Ke-empat, penyediaan pil KBB darurat di sekolah menengah. Dalam hal per- baikan pelayanan kesehatan territorial, akan ada nomor darurat di setiap regional untuk dihubungi di luar jam kerja dokter, dan nomor-nomor ini khusus disediakan untuk layanan kesehatan dasar, layanan kesehatan berkelanjutan, layanan preventif, layanan kesehatan jiwa dan layanan kesehatan untuk kelom- pok difabel. Dengan cara ini, selalu ada tenaga medis yang dapat diakses 24 jam. Dalam bidang tatakelola, juga ada beberapa hal baru yang akandilakukan. Pertama, layanan terintegrasi untuk penanganan pasien pelayanan kesehatan yang merasa dirugikan dan diperbolehkannya ‘class action’. Ke-dua, aturan baru tentang third-party payment bagi para peserta asuransi kesehatan tambahan (sebagai tambahan/ top-up dari jaminan sosial). Ke-tiga, koordinasi dalam layanan rujukan yang ditunjang dengan layanan rekam medis online. Ke-empat, re-negosiasi untuk insentif bagi tim yang melayani kasus (case man- agement team). Dalam hal inovasi, rumah sakit khu- susnya akan direhabilitasi dan melakukan program rasionalisasi dan kerjasama pembelian. Rumah sakit juga akan melakukan berbagai inovasi untuk mem- perpendek length-of-stay, mengurangi penggunaan MRI, memperbaiki hubungan kontrak dengan dokter dan kerjasama antar beberapa fakultas kedokteran. Salah satu hal yang paling dicermati masya- rakat adalah mengenai kebijakan third-party pay- ment. Selama ini, hampir 77% biaya kesehatan di Perancis ditanggung oleh jaminan sosial, sementara sisanya dibiayai oleh third-party (asuransi tambahan lain atau OOP). Namun prosentase reimbursement jaminan sosial khususnya untuk kelompok menengah dan kelompok atas, semakin lama semakin berkurang (catatan: untuk kelompok miskin; jaminan sosial menutup 100% biaya) sehingga mendorong kelompok menengah untuk memilih self-medication. Saatini, self-medication di Perancis masih relative rendah (15.7%, dibanding rata-rata 25.7% di Eropa). Selain itu, harga obat bebas (tanpa resep) di Peran- cis lebih murah rata-rata sekitar 1.5 euro dibanding Negara lain di Eropa. Pemerintah melihat potensi penghematan dengan mendorong self-medication pada taraf tertentu dengan cara mengeluarkan bebe- rapa jenis obat dari daftar obat dari DON. Masya- rakat juga terpaksa mengurangi konsumsi pembelian kacamata karena adanya pembatasan reimbur sement kacamata maksima l470 euro (untuk single lense) dan 850 euro (untuk lensa kompleks). Reimbure sementini hanyalah 36% dari total biaya kacamata, sehingga mayoritas (68%) harus ditang- gung oleh asuransi tambahan dan OOP. Pemerintah terus mendorong masyarakat untukmemiliki ‘respon- sible contract’ dengan third-party untuk menghindari biaya kesehatan yang terlalu tinggi.Paket reformasi ini bukanlah satu-satunya yang akan diperjuangkan Menteri Kesehatan bulan Sep- tember ini. Isu fraud juga akan menjadi pokok bahas- an karena disinyalir tingginya imigran gelap di Pe- rancis telah mengakibatkan membengkaknya ang- garan AME (Aide médicaled’Etat) dari 588juta Euro menjadi 744juta Euro. Dapat dipastikan pemerintah akan menindaklanjuti dengan berbagai pengetatan kebijakan terkait akses untuk mendapatkan AME.Di Indonesia, upaya pemantauan kebijakan kesehatan telah dilakukan berbagai pihak. Berbagai penelitian mengungkapkan berbagai kendala dan keterbatasan dalam implementasi, dan biasanya penanganannya membutuhkan penambahan biaya atau anggaran. Edisi kali ini menyoroti berbagai hal dalam implementasi kebijakan jaminan kesehatan, kesehatan balita, layanan farmasi dan BLUD di ber- bagai daerah. Namun, belum banyak yang memba- has sejauhmana inefisiensi dalam system kesehatan dapat diatasi dengan reformasi pelayanan dan dam- paknya terhadap penghematan anggaran, sehingga dapat direalokasi untuk hal-hal lain yang lebih men- desak. Di dalam era jaminan kesehatan semesta, efisiensi sistem kesehatan dan kontrol anggaran akan menjadi area baru yang perlu kita cermati ber- sama. Semoga kita dapat berkontribusi dalam hal ini. Selamat membaca. Shita Listya DewiPusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan
Pelajaran dari Pendidikan Kedokteran di Perancis Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 2 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (140.268 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36381

Abstract

Pendidikan kedokteran di Perancis cukup berat. Walaupun tidak ada pembatasan jumlah calon ma- hasiswa yang bisa diterima di fakultas kedokteran, namun kenyataannya terjadi proses eliminasi alami. Rata-rata, setiap tahun ada 550.000 mahasiswa kedokteran di tahun pertama, namun dari antara mereka hanya sekitar 7.500 mahasiswa yang bisa melanjutkan ke tahun kedua. Jumlah mereka yang bisa melanjutkan ke tahun ketiga akan kembali ber- kurang, dan seterusnya. Pada tahun keenam, mere- ka akan menjalani ujian ranking nasional (Examen Classant National/ECN). ECN dilaksanakan serentak di tujuh pusat ujian yang tersebar di seluruh negeri, berlangsung selama empat hari berturut-turut, dan terdiri dari dua macam test, yaitu test dalam bentuk case setting, dan test critical clinical reading. Test dalam bentuk case setting akan menguji mahasiswa mulai dari diagnostic awal, hypotheses, clinical dan diagnostic testing, prognosis dan monitoring pasien selama treatment. Test dalam bentuk critical clini- cal reading mengharuskan mereka membuat abstrak dari artikel klinis yang ditugaskan, dan mereka diha- ruskan mengkritisi metodologi yang digunakan serta hasilnya. Examen Classant National (ECN) akan menghasilkan ranking nasional untuk mahasiswa yang dianggap layak untuk melanjutkan ke jenjang berikutnya. Berdasarkan ranking mereka inilah mere- ka diperbolehkan atau tidak memilih spesialisasi yang mereka inginkan. Jadi, persaingan untuk masuk ke spesialisasi yang diinginkan sangat ditentukan oleh hasil ECN. Spesialisasi yag menjadi favorit adalah ophthalmology, nephrology, radiology dan cardiology. Rata-rata, hanya 1 dari 3 mahasiswa yang bisa meneruskan ke spesialisasi yang benar- benar mereka inginkan. Mengapa demikian?Karena setiap tahun, Kementrian Kesehatan mengeluarkan daftar jumlah dan jenis spesialisasi yang dibutuhkan. Jenis spesialisasi yang tersedia adalah: General Medicine, Medical Specialties (16 specialties), Surgical Specialties (5 specialties), Anesthesiology, Pediatrics, Obstetrics and Gyne- cology, Medical Gynecology, Psychiatry, Medical Biology, Occupational Medicine, Public Health. Ke- mudian untuk masing-masing spesialisasi terdapat pula daftar di daerah mana spesialisasi tersebut dibu- tuhkan. Daerah yang dimaksud adalah daerah yang menjadi catchment area dari rumah sakit pendidikan. Jadi, kombinasi antara hasil ECN dan daftar yang dikeluarkan Kementrian Kesehatan menentukan distribusi dan jumlah residen yang tersedia untuk tiap spesialisasi di masing-masing daerah.Di Negara Perancis terdapat 28 rumah sakit pendidikan (Centre Hospitalier Universitaire/CHU), dan tahun lalu (2013-2014) ada 7.820 residen baru yang ditempatkan diseluruh rumah sakit pendidikan ini. Penugasan mereka adalah selama tiga tahun, biasanya didaerah peripheral. Misalnya, apabila pe- nugasan mereka di CHU Rennes (Rennes adalah semacam ibukota Propinsi) berarti mereka akan ditempatkan di Vannes, Lorient, Vitré atau Saint- Malo (semacam kota Kabupaten atau lebih kecil lagi). Selama menjadi residen, mereka melayani pasien, membuat diagnosis, menulis resep, melakukan tin- dakan operasi dan sebagainya, di bawah pengawas- an dokter senior. Mereka adalah mesin penggerak di rumah sakit pendidikan.Apabila suatu jenis spesialisasi dibutuhkan dibe- berapa daerah sekaligus, residen diperbolehkan me- milih akan ditempatkan dimana, sejauh kuotanya belum terpenuhi. Sebuah survey cepat1 dilakukan untuk melihat preferensi residen dalam memilih CHU yang diinginkan, kemudian dibandingkan dengan survey cepat lain2 yang meneliti seberapa ‘menarik’ sebuah kota/daerah, biasanya diukur dari tingkat per- tumbuhan ekonomi, kenyamanan hidup, dan seba- gainya. Ternyata hasilnya cukup menarik. Tidak se- mua daerah yang terlihat ‘preferable’ menjadi pilihan utama para residen. Bahkan kota-kota besar seperti Paris dan Marseille, bukan merupakan daerah tujuan utama. Paris, misalnya, hanya berada di urutan ke- 8, ‘dikalahkan’ oleh Grenoble (kota dengan 155.000 penduduk).Jawaban para residen mengindikasikan bahwa pilihan mereka merupakan kombinasi dari faktor kua- litas hidup secara umum, level remunerasi, persepsi terhadap kualitas spesialisasi tertentu di CHU terse- but, dan sebagainya, namun tidak selalu berbanding lurus dengan ‘seberapa menarik’ suatu kota/daerah. Kualitas hidup yang mereka maksud ternyata men- cakup hal-hal yang sifatnya sangat subyektif (misal- nya: daerah tersebut diminati karena dekat dengan pantai, atau merupakan daerah wisata pegunungan, atau karena kota tersebut kaya akan sejarah dan budaya, dan sebagainya), namun juga memiliki visi (misalnya: karena di kota tersebut terdapat pusat penelitian kanker terbesar di Eropa), dan kadang- kadang menyangkut faktor ‘lingkungan kerja yang manusiawi’ (misalnya: karena kepala departemen spesialisasi di CHU tersebut terkenal memperlaku- kan intern dengan baik). Faktor yang terakhir ini di- picu oleh kenyataan yang residen sadari akan hadapi selama menjalani tiga tahun masa penugasannya di CHU tersebut. Rata-rata jam kerja di Perancis adalah 48 jam/minggu, namun residen menyadari bahwa dalam kenyataannya ‘jam kerja’ mereka rata- rata adalah 60 jam/minggu (tepatnya: sekitar 66 jam/ minggu untuk spesialisasi obsgyn dan 69 jam/ming- gu untuk spesialisasi bedah), dan dapat berlangsung 20 hari berturut-turut tanpa akhir pekan. Level remu- nerasi juga penting, namun bukan yang utama, kare- na di Perancis level remunerasi untuk dokter dan spesialisasinya sudah memiliki range yang jelas dan standar. Lebih menariknya pula, secara umum, me- reka ini juga tetap tinggal di daerah/kota tersebut setelah mereka menyelesaikan pendidikannya. Menurut mereka factor potensi berkembangnya suatu daerah dan suatu CHU lebih penting dari fac- tor lainnya.Dari uraian singkat ini, pembaca dapat menarik beberapa point pelajaran yang bisa diambil dari sistem pendidikan kedokteran di Perancis. Salah satu yang paling mencolok adalah bagaimana sektor pendidikan dan sektor kesehatan bekerjasama dalam memenuhi kebutuhan akan tenaga kesehatan. Jadi, kelengkapan dan ketersediaan tenaga kesehatan bukan tergantung semata-mata pada seberapa besar kemampuan rumah sakit ‘menarik minat’ tenaga ke- sehatan untuk bekerja di sana. Sisi penyedia (sektor pendidikan) tidak sekedar bertanggung jawab me- nyediakan sejumlah tenaga kesehatan, namun lebih jauh lagi sistemnya memastikan bahwa tersedia jumlah yang cukup untuk setiap jenis spesialisasi yang dibutuhkan oleh sisi pengguna (sektor kese- hatan). Namun, sistem ini juga hanya bisa berjalan apabila sisi pengguna (dalam hal ini, Kementrian Kesehatan) dapat secara rutin tahunan mengetahui peta kebutuhan spesialis disetiap daerah. Disisi lain, sektor ekonomi daerah juga berkembang sesuai po- tensinya untuk dapat menarik masyarakat berinves- tasi dan tinggal di daerah tersebut. Seberapa jauh pelajaran tersebut dapat diterapkan pula di Indone- sia? Tepatnya, perubahan dan kebijakan apa yang harus kita buat apabila kita menginginkan system serupa di Negara kita agar bisa mengatasi maldistribusi tenaga kesehatan? 
Catatan Akhir Tahun Sektor Kesehatan Shita Dewi
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (169.008 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36384

Abstract

Harapan Indonesia untuk mencapai jaminan kesehatan semesta pada tahun 2019 memerlukan upaya untuk membangun lebih lanjut berdasarkan kemajuan sektor kesehatan Indonesia saat ini dan membuat perbaikan di tiga dimensi utama yang umum digunakan dalam system jaminan kesehatan semesta, yaitu cakupan populasi, cakupan pelayan- an, dan cakupan biaya. Tujuannya untuk memasti- kan bahwa seluruh masyarakat Indonesia dapat menggunakan pelayanan promotif, preventif, kuratif, rehabilitatif, dan layanan kesehatan paliatif yang mereka butuhkan, dan bahwa layanan ini memenuhi kualitas tertentu yang efektif, dan juga memastikan bahwa penggunaan layanan ini tidak mengakibatkan pengguna mengalami kesulitan keuangan. Penye- diaan layanan dan kesiapan sisi penawaran adalah elemen sistem kesehatan mendasar dan penting untuk pada akhirnya meningkatkan luaran kesehatan dan mendukung pengembangan sumber daya manu- sia, hal-hal yang merupakan pendorong utama untuk pertumbuhan ekonomi.Cakupan asuransi kesehatan di Indonesia telah meningkat secara signifikan dalam beberapa tahun terakhir, yaitu dari 27% pada tahun 2004, menjadi 65% pada tahun 2012. Di sisi pena- waran, jumlah rumah sakit naik hampir dua kalilipat, yaitu dari 1,246 pada tahun 2004, menjadi sekitar 2,228 pada tahun 2013, dan lebih dari setengahnya adalah swasta. Jumlahpuskesmas juga meningkat dari 7.550 pada tahun 2004, menjadi 9.654 pada ta- hun 2013, dan sebagai hasilnya ketersediaan tempat tidur rawat inap per kapita meningkat dari 7,0 menja- di 12,6 per 10.000 penduduk. Tingkat pemanfaat- an rawat jalan dan rawat inap telah terus meningkat, terutama di kelompok 40% terbawah dari populasi, dan hal ini semakin terjadi di fasilitas swasta. Ke- siapan pelayanan umum di fasilitas kesehatan telah menunjukkan peningkatan. Sekarang lebih dari 90% dari puskesmas telah memiliki listrik, kamar konsul- tasi pasien dengan privasi wicara dan privasi visual, timbangan untuk orang dewasa, stetoskop, alat te- kanan darah, alat suntik sekali pakai/auto-disable, solusi rehidrasi oral, dan parasetamol. Ketersediaan layanan khusus juga telah meningkat, karena hampir semua puskesmas, 65% dari klinik swasta, dan sekitar 60% dari posyandu menyediakan layanan antenatal. Sekitar 74% dari puskesmas menyedia- kan layanan KB, 86% menyediakan layanan imuni- sasi, 66% menyediakan layanan preventif dan kuratif untuk anak, 76% menyediakan layanan diabetes, 73% menyediakan layanan penyakit pernapasan kro- nis, dan sekitar 81% menyediakan layanan kardio- vaskular.Namun, seperti kita ketahui, Indonesia tidak “on- track” untuk beberapa indikator MDG. Selain itu, Indo- nesia terus memperlihatkanbesarnya kesenjangan geografis dan kesenjangan luaran kesehatan yang terkait dengan kesenjangan pendapatan. Misalnya, data provinsi menunjukkan kisaran kesenjangan dua sampai tiga kali lipat dalam angka kematian bayi. Beberapa peningkatan yang telah dialami Indonesia ternyata masih berada di bawah standar. Misalnya, rasio kepadatan tempat tidur yang saat ini 12,6 per 10.000 penduduk masih jauh di bawah rekomendasi dan standar WHO yaitu 25 per 10.000. Maldistribusi juga merupakan masalah, ditunjukkan oleh adanya perbedaan rasio kepadatan tempat tidur antar provinsi hingga empat kali lipat. Meskipun di Indonesia jarak rata-rata ke fasilitas kesehatan hanya 5 km, namun di provinsi-provinsi seperti Papua Barat, Papua, dan Maluku jarak rata-ratanyaternyata jauh lebih tinggi, yaitu lebih dari 30 km. Sementara itu, lebih dari 18% penduduk Indonesia membutuhkanwaktu lebih dari satu jam untuk mencapai rumah sakit umum (meng- gunakan sarana transportasi apa pun). Walau pun akses ke puskesmas lebih mudah karena hanya 2,4% dari populasi yang membutuhkan waktu lebih dari satu jam untuk mencapai puskesmas, tetapi pro- porsi dari populasi secara nasional yang menghadapi tantangan waktu tempuh ini jauh lebih tinggi di Papua (27,9%), Nusa Tenggara Timur (10,9%), dan Kaliman- tan Barat (10,9% ). Tingkat pemanfaatan masih tetap sangat rendah menurut standar global dan masih ada kesenjangan besar antar provinsi. Tingkat pe- manfaatan rawat inap di Indonesia yaitu 1,9% adalah kurang dari seperlima dari patokan yang diusulkan WHO,yaitu 10 kepulangan pasien (discharges) per 100 penduduk, dan ada perbedaan antar provinsi hingga lima kali lipat dalam hal ini. Kesiapan layanan umum puskesmas masih lemah di banyak dimensi dan ada variasi yang luasantar provinsi, dengan skor yang lebih rendah terutama di beberapa provinsi-pro- vinsi bagian timur Indonesia seperti Papua, Maluku, Papua Barat, Sulawesi Barat, dan Maluku Utara. Akses puskesmas ke komunikasi rujukan penting dan sistem transportasi sangat lemah. Banyak tan- tangan terkait dengan ketersediaan layanan khusus dan kesiapan layanan khusus di puskesmas untuk beberapa kategori pelayanan kesehatan, misalnya sehubungan dengan pelayanan keluarga berencana, pelayanan antenatal, pelayanan kebidanan dasar, imunisasi rutin, malaria, TBC, diabetes, bedah dasar, transfusi darah, dan bedah komprehensif.Hal-hal di atas menjadi tantangan saat ini dan ke depan, khususnya karena bahkan di era pembia- yaan jaminan kesehatan semesta pun beberapa fakta mendasar tidak berubah. Pada tahun 2012, angka belanja kesehatan publik di semua tingkat pemerintahan hanya sekitar 1,2% dari PDB. Ini ada- lah rasio angka kesehatan belanja terhadap PDB kelima terendah dunia. Alokasi untuk kesehatan biasanya kurang dari 5% dari anggaran pemerintah pusat dalam beberapa tahun terakhir, jauh lebih rendah dibandingkan alokasi pendidikan dan hanya hampir sepertiga dari alokasi subsidi BBM. Dari perspektif tata kelola dan manajemen keuangan publik, desentralisasi kesehatan diikuti oleh arus pembiayaan kesehatan menjadi jauh lebih kompleks dan sulit untuk dikelola, ditandai dengan adanya berbagai saluran pembiayaan pemerintah vertikal, masing-masing dengan aturan dan prosedur yang berbeda. Pengawasan pemerintah terhadap sektor swasta tetap terbatas meskipun jumlah penyedia swasta terus meningkat, dan hanya sedikit yang diketahui mengenai jumlah dan distribusi layanan swasta, serta cakupan dan kualitas layanan mereka Edisi kali ini menyuguhkan beberapa potret dari beberapa tantangan di sektor kesehatan yang masih tersisa untuk dibenahi. Beberapa artikel menyoroti mengenai tantangan di sisi penawan, misalnya me- ngenai ketersediaan tenaga spesialis di rumah sakit, dan bagaimana dampak ketidaksiapan fasilitas kesehatan terhadap pembiayaan kesehatan di bawah system jaminan kesehatan semesta. Selain itu, ada pula potensi fraud yang perlu diwaspadai dalam hal pembiayaan jaminan kesehatan semesta. Beberapa artikel lain menyoroti bahwa proses membuat dan menjalankan kebijakan untuk menjalankan program kesehatan tidak selalu mudah dan belum optimal. Artikel lain membahas bagaimana unit pelayanan kesehatan swasta pun memiliki potensi peran yang besar dalam system jaminan kesehatan semesta dan perlu mendapat dukungan pemerintah.Tahun 2014 dimulai dengan diluncurkannya sys- tem Jaminan Kesehatan Nasional yang menerbitkan harapan baru. Mari kita tutup tahun 2014 dengan harapan pula bahwa di tahun-tahun selanjutnya In- donesia di bawah pemerintahan yang baru terus membangun keberhasilan sektor kesehatan dan berhasil mengatasi satu persatu tantangan yang masih tersisa. Selamat membaca. Shita DewiPusat Kebijakan dan Manajemen Kesehatan