Laksono Trisnantoro
Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Yogyakarta

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Penerapan Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum (PPK-BLU) Pada Program Kesehatan Jiwa Masyarakat Puskesmas di Kabupaten Sleman Karmijono Pontjo Widianto; Laksono Trisnantoro; Ratna Siwi Padmawati
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 2 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (184.711 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i2.36093

Abstract

Background: The decision of the Minister of Home Affairs No. 61 of 2007 on Technical Guidelines for Financial Manage- ment of Public Service Board seems to bring another option in the management of health centers which have existed as a Technical Implementation Unit (UPT) oh health department. The entire budget for health centers through the health departmen is able to follow the system of Financial Management of Re- gional Public Service Agency (PPK-BLUD) that provides flex- ibility in the implementation of the budget, including the revenue and expenditure management, cash management, and pro- curement of goods / services, and gives opportunity to hire a professional/non-civil servants and gives the opportunity for a performance based remuneration. Promotive and preventive health centers functions to encourage community empower- ment. That function is realized in each program activity called Public Health Efforts (SMEs); one of which is the Community Mental Health program (Keswamas). Objective: To describe the impact of the financial manage- ment of health centers using PPK-BLUD in the implementation of the SME program, in this case the community mental health program. Methods: This study used a case study design and descrip- tive analysis. Results: (1). There is no difference in principle on program management Keswamas before and after the BLUD. (2) The type of community mental health program activities carried out by the health center after BLUD status is the same as before the status as BLUD (3). Budgeting activities of community mental health programs in health centers after the BLUD status is the same as before the BLUD status (4). Human resources in- volved in the implementation of community mental health pro- grams in health centers after the BLUD status is as the same as before the BLUD status (5). The involvement of members of the management team is not specifically for community mental health program, but also other programs at the health center. Conclusion: There is no difference in the management of health centers in Sleman after PPK-BLUD, because not all of the flexibility or independence as PPK-BLUD is utilized by health centers and health authorities to create activities / new, more innovative programs and to solve existing health problems. An understanding of the PPK-BLUD is adequate but not encour- age health authorities and health centers to create a more innovative activities in solving the problems that occur. Knowl- edge and understanding of the PPK-BLUD supported by the courage to innovate is essential for health centers and health department leaders in order to take advantage of being PPK-BLUD to improve the quality of public services in order to improve the health of society. Management of health centers with PPK-BLUD is needed to provide flexibility of budget man- agement in the era of the National Health Insurance. Latar Belakang: Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 61 tahun 2007 tentang Pedoman Teknis Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah yang seolah-olah memunculkan pilihan lain dalam hal pengelolaan puskesmas yang selama ini berstatus sebagai Unit Pelaksana Teknis (UPT) dinas kesehatan. Seluruh penganggaran puskesmas yang selama ini melalui dinas kesehatan, menjadi dapat mengikuti sistem Pola Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD) yang memberikan fleksibilitas dalam rangka pelaksanaan anggaran, termasuk pengelolaan pendapatan dan belanja, pengelolaan kas, dan pengadaan barang/jasa serta diberikan kesempatan untuk mempekerjakan tenaga profesional non PNS dan kesem- patan pemberian imbalan jasa kepada pegawai sesuai dengan kontribusinya. Fungsi puskesmas promotif dan preventif yang berorientasi pada pemberdayaan masyarakat. Fungsi tersebut diwujudkan dalam setiap kegiatan program Upaya Kesehatan Masyarakat (UKM); salah satunya adalah program Kesehatan Jiwa Masyarakat (Keswamas). Tujuan: Menggambarkan dampak pengelolaan keuangan pus- kesmas dengan PPK-BLUD pada pelaksanaan program UKM dalam hal ini program kesehatan jiwa masyarakat Metode: Penelitian ini menggunakan rancangan studi kasus dan analisis deskriptif. Hasil: (1). Belum ada perbedaan pada pengelolaan program Keswamas sebelum dan setelah Era BLUD. (2) Jenis kegiatan program kesehatan jiwa masyarakat yang dilaksanakan oleh puskesmas setelah berstatus BLUD bertambah dibanding sebelum berstatus sebagai BLUD (3). Penganggaran kegiatan program kesehatan jiwa masyarakat di puskesmas setelah berstatus BLUD sama seperti sebelum berstatus BLUD (4). SDM yang terlibat dalam pelaksanaan kegiatan program kese- hatan jiwa masyarakat pada puskesmas setelah berstatus BLUD sama seperti sebelum berstatus BLUD (5). Keterlibatan anggota Tim sebagai pengelola kesehatan jiwa masyarakat tidak secara khusus menangani program namun juga menjalan- kan program lain di puskesmas. Kesimpulan: Belum ada perbedaan pengelolaan puskesmas di Kabupaten Sleman setelah diterapkan PPK-BLUD, karena belum semua keleluasaan atau kemandirian yang diberikan se- bagai PPK-BLUD dimanfaatkan oleh puskesmas maupun dinas kesehatan untuk menciptakan kegiatan/program baru yang lebih inovatif dan dapat menyelesaikan permasalahan kesehatan yang ada. Pemahaman tentang PPK-BLUD telah cukup namun belum mendorong dinas kesehatan dan puskesmas untuk berani menciptakan kegiatan yang lebih inovatif dalam menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Pengetahuan dan pemahaman tentang PPK-BLUD yang didukung dengan keberanian berino- vasi sangat penting bagi pimpinan puskesmas dan dinas kese- hatan sebagai pembina puskesmas, agar dapat memanfaatkan status sebagai PPK-BLUD untuk meningkatkan mutu pelayanan pada masyarakat dalam rangka meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Pengelolaan puskesmas dengan PPK-BLUD sa- ngat dibutuhkan untuk memberikan kemudahan pada puskes- mas dalam pengelolaan anggaran dalam era Jaminan Kesehat- an Nasional.
Potret Masyarakat Sektor Informal di Indonesia: Mengenal Determinan Probabilitas Keikutsertaan Jaminan Kesehatan sebagai Upaya Perluasan Kepesertaan pada Skema Non PBI Mandiri Arih Diyaning Intiasari; Laksono Trisnantoro; Julita Hendrartini
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 4, No 4 (2015)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (249.489 KB) | DOI: 10.22146/jkki.v4i4.36121

Abstract

Latar Belakang: Perluasan kepesertaan jaminan kesehatan pada masyarakat sektor informal masih merupakan permasa- lahan nyata di berbagai negara. Karakteristik spesifik yang dimiliki oleh masyarakat sektor informal mempunyai potensi negatif dan positif yang harus bisa dikenali oleh pembuat kebijakan dalam rangka memberikan rekomendasi kebijakan yang paling tepat. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan karakteristik masyarakat sektor informal terhadap kepemilikan jaminan kesehatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam upaya perluasan cakupan kepesertaan Non PBI Mandiri dimasa yang akan datang. Metode Penelitian : Penelitian ini merupakan studi observasio- nal analitik dengan rancangan Cross sectional dengan pende- katan data kuantitatif yang digunakan berhasil mendapatkan sebanyak 349.491 responden masyarakat sektor informal di Indonesia. Untuk memberikan gambaran karakteristik masyara- kat sektor informal dalam kepemilikan Jaminan kesehatan digu- nakan analisis data univariat dan bivariat. Hasil : Berdasarkan hasil analisis diketahui bahwa faktor yang berhubungan dengan kepemilikian asuransi sukarela adalah umur (p<0,001), pendidikan (p<0,001), pekerjaan (p<0,001), status perkawinan (p=0,002), status dalam keluarga (p=0,035), tempat tinggal (p<0,001), status ekonomi (p<0,001), status tempat tinggal (p<0,001), kepemilikan obat tradisional (p<0,001) dan kepemilikan riwayat penyakit kronis (p<0,013). Sebanyak 95,4% responden tidak memiliki akses terhadap pelayanan kesehatan Kesimpulan: Upaya perluasan cakupan kepesertaan Non PBI mandiri tidak hanya membutuhkan promosi kesehatan yang baik, akan tetapi juga harus diimbangi dengan kebijakan peme- rataan akses dan peningkatan kuantitas serta kualitas pelayan- an kesehatan. Upaya untuk mengkaji potensi pembiayaan kesehatan, utamanya melalui identifikasi revenue collection dan metode pengumpulan premi yang tepat bagi masyarakat sektor informal harus terus dilakukan.Background: The effort of extending of health insurance enrollment to the informal sector has risen to become an agenda in Man countries. The informal sector has a specific characteristic with positive and negative potential that should be recognized by all of the decision-makers in order to make appropriate policy. This research aims to analyze the informal sector characteris- tic regarding health insurance enrollment. The Renault may contribute to extending universal coverage in the enrollment of Non-PBI (voluntary scheme) on JKN in the coming years. Method: This study was observational analytic with a cross-sectional design. A quantitative approach was used to analyze 349.492 respondents from informal sector community in Indonesia. Univariate and bivariate data analysis was used to give information about the correlation between informal sector charac- teristic and health insurance enrollment. Result: Data analysis showed the variables correlate into health insurance enrollment are : Age (p<0,001), Education (p<0,001), jobs(p<0,001), marital status (p=0,002), role on family (p=0,035), place of resident (p<0,001), economic status (p<0,001), home status (p<0,001), traditional medication stock (p<0,001) and history of chronic illness (p<0,013). Many re- spondents ( 95,4% ) have no access to health care provider Conclusion: Effort on extending of non PBI (voluntary scheme) enrollment not only need a good health promotion but also balancing with policies in order to ensure many factors such as equity on health care access and increasing the quantity and quality of health care. There must be a policy analysis to explore health financing potential on informal sector communi- ty, especially to identify the appropriate and adequate me- thods on revenue collection and premium collection.
Efektifitas Pembangunan Dua Rumah Sakit Umum Daerah di Kabupaten Seruyan Propinsi Kalimantan Tengah Tahun 2007 Bahrun Abbas; Laksono Trisnantoro
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 1 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (180.168 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36355

Abstract

Background: In the current era of regional autonomy, local goverments have wider scope of authority in making their policies according to their capacities and their needs. To improve access to health care and equitable health service, the Goverment of Seruyan District made a policy to build two District Hospitals. This policy was made due to the area of Seruyan District that is very widespread. In its implementation, this policy has been confronted with many obstacles, among other is limited human resources and funding, and low utilization of health facilities and services by community. Objective: To determine the extent of utilization of the two hospitals and to determine the factors corresponding to the utilization of the two District Hospitals in Seruyan Districy. Metodhs: This study is a descriptive study with a qualitive approach supported by a quantitive approach. Hospital utilization data are obtained by examining the available data in both District Hospitals in Seruyan District and two other hospitals in the neighboring district, and also by interviewing some people in Seruyan District. Samples are determined using two stage cluster sampling. To further investigate the issue of hospital utilization, in-depth interviews are conducted both with people using the hospitals and with people not using the hospitals in Seruyan District. The data will be quantitatively analyzed and further explore qualitatively. Results: The result findings show that there is a correlation between the distances of home and hospital and seeking treatment at the hospital, there is a correlation between the means of transportation to the hospital and seeking treatment at the hospital, there is a correlation between travel time to the hospital and seeking treatment at the hospital, there is a correlation between the ease of transportation to the hospital and seeking treatment at the hospital, there is a correlation between cost of transportation to the hospital and seeking treatment at the hospital, there is no correlation between the expenses and seeking treatment at the hospital, and there is a correlation between people’s knowledge and seeking treatment at the hospital. Conclusion: In terms of its utilization and manpower, the construction of two hospitals in Seruyan District is ineffective. However, factors correlating with hospital utilization are distance, transportation, travel time, ease of transportation, transportation cost dan knowledge, and government should pay attention to these factors to improve utilization. Latar belakang: Dalam era otonomi daerah saat ini Pemerintah Daerah memiliki kewengan lebih luas dalam mengambil kebijakan yang sesuai dengan kemampuan dan kebutuhan daerah. Untuk meningkatkan akses pelayanan kesehatan, pemerataan pelayanan kesehatan maka Pemerintah Kabupaten Seruyan membuat kebijakan pembangunan 2 RSUD. Kebijakan ini diambil mengingat sangat luasnya wilayah Kabupaten Seruyan. Dalam pelaksanaannya kebijakan ini menghadapi berbagai kendala diantaranya, keterbatasan sumber daya manusia dan keterbatasan pembiayaan, serta masih rendahnya pemanfaatan sarana pelayanan kesehatan oleh masyarakat. Tujuan penelitian: Untuk mengetahui sejauh mana pemanfaatan 2 RSUD tersebut dan untuk mengetahui faktor- faktor yang berhubungan terhadap pemanfaatan 2 RSUD di Kabupaten Seruyan. Metode: Jenis penelitian ini adalah penelitian deskriptif dengan pendekatan kuantitatif didukung kualitatif. Data pemanfaatan rumah sakit dilakukan dengan menelaah data yang ada di kedua rumah sakit di Kabupaten Seruyan dan 2 rumah sakit Kabupaten tetangga, serta melakukan wawancara terhadap masyarakat Kabupaten Seruyan. Sampel ditentukan dengan metode two stage cluster sampling. Untuk lebih mengetahui permasalahan pemanfaatan rumah sakit dilakukan wawancara mendalam kepada masyarakat yang memanfaatkan rumah sakit umum daerah di Kabupaten Seruyan dan yang tidak memanfaatkan. Data akan dianalisis secara kuantitatif dan diperdalam dengan kualitatif. Hasil: Ada hubungan antara jarak rumah dengan berobat ke rumah sakit, ada hubungan antara sarana transportasi dengan berobat ke rumah sakit, ada hubungan antara waktu tempuh dengan berobat ke rumah sakit, ada hubungan antara kemudahan transportasi dengan berobat ke rumah sakit, ada hubungan antara biaya transportasi dengan berobat ke rumah sakit, tidak ada hubungan antara biaya pengeluaran dengan berobat ke rumah sakit dan ada hubungan antara pengetahuan masyarakat dengan berobat ke rumah sakit. Kesimpulan: Pembangunan 2 RSUD di Kabupaten Seruyan tidak efektif apabila dilihat dari segi pemanfaatan dan ketenagaan. Faktor yang berhubungan dengan pemanfaatan RSUD adalah jarak, sarana transportasi,waktu tempuh,kemudahan transportasi, biaya transportasi dan pengetahuan. Pemerintah perlu mengupayakan perbaikan dalam hal-hal di atas untuk meningkatkan utilisasi rumahsakit.
Analisis Lingkungan Rumah Sakit Umum Bethesda Serukam Kalimantan Barat sebagai Dasar Pemilihan Strategi dalam Menghadapi Sistem Jaminan Sosial Nasional Theresia Tatie Marksriri; Laksono Trisnantoro; Niluh P E Andayani
Jurnal Kebijakan Kesehatan Indonesia Vol 3, No 4 (2014)
Publisher : Center for Health Policy and Management

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (288.389 KB) | DOI: 10.22146/jkki.36389

Abstract

Background: Universal Health Coverage known as Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) started at 1st January 2014 managed by the Social Security Administrative Bodies (BPJS). Bethesda General Hospital is a class C hospital that located in Bengkayang Regency, West Borneo. This hospital does not have any strategic plan which requires an analysis to map the issues needed to join in JKN system. The analysis can become a recommendation for the hospital strategic plan. Objective: To describe the analysis of the health insurance for patient service unit in the hospital and giving a recommendation for the hospital strategic planning. Method: The study design is a case study with a single-case embedded design. The informant are Head Regency, Health Office, Hospital Directors of other hospital, Bethesda General Hospital worker, Bethesda Serukam Foundation and World Venture Mission. The data taken from observation, in-depth interview, FGD and secondary data. Result: The hospital has the opportunities that come from government support, cooperation with other surrounding hospital which helped the hospital to gain a good reputation and many patients with UHC. The threats are the unclear of UHC socialization, and market competition with other surrounding hospitals and hospital tendency to accept severe diagnosis. The hospital strengths are equity service in organization culture, teamwork and support from mission/donor. The weaknesses are lack of quality and budget control, no clinical pathway, the health information system is not running well, lack of human resources and competence, also unclear organization structure. Conclusion and recommendation: The SWOT resulted from hospital environment helps to formulate the strategy toward universal health coverage. The general strategic suggested is the growth strategy in healthcare services. Latar belakang: Sistem Jaminan Sosial Nasional mulai diselenggarakan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), sejak 01 Januari 2014. RSU Bethesda Serukam adalah RS kelas C, terletak di Kabupaten Bengkayang, Kalimantan Barat. RSUB belum memiliki rencana strategis. Dibutuhkan suatu analisis lingkungan yang dapat memetakan isu-isu yang akan dihadapi RS dalam menyambut era BPJS. Tujuan: Mendeskripsikan dan menganalisis situasi lingkungan unit pelayanan pasien Askes dan Jamkesmas RSUBS, serta memberikan rekomendasi strategi untuk penyusunan rencana strategi. Metode: Jenis penelitian adalah studi kasus dengan desain kasus tunggal terjalin. Responden penelitian adalah Bupati Bengkayang, Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Bengkayang, Direktur RS sekitar RSUBS, pejabat struktural dan fungsional RSUBS, perwakilan Yayasan Bethesda dan misi World Venture. Sumber data dari observasi, wawancara mendalam dan pedoman diskusi kelompok terarah serta data sekunder rumah sakit. Hasil dan pembahasan: Peluang RSUBS adalah dukungan pemerintah kabupaten, kerjasama dengan RS sekitar, nama RS yang sudah dikenal baik dan banyak pasien berobat dengan JKN. Ancamannya adalah sosialisasi pelayanan JKN yang belum jelas, serta persaingan dengan RS sekitar serta kecenderungan RS menerima pasien sulit. Kekuatan RSUBS adalah budaya RS yang tidak membeda-bedakan pelayanan, kerjasama tim dan dukungan donatur misi. Kelemahannya adalah kurangnya kendali mutu dan biaya, belum ada clinical pathway, SIRS belum berjalan baik, kurangnya SDM dan struktur organisasi yang tidak jelas. Kesimpulan dan saran: Analisis lingkungan rumah sakit menghasilkan kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman untuk formulasi strategi dalam menghadapi SJSN. Strategi umum yang tepat untuk RSUBS dalam menghadapi perubahan SJSN adalah strategi pertumbuhan dalam kegiatan pelayanan kesehatan.