Prima Maulana cahyo Nugroho
Unknown Affiliation

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Prevalensi Derajat Asfiksia Neonatorum pada Berat Badan Bayi Lahir Rendah Afiana Rohmani; Lilia Dewiyanti; Prima Maulana cahyo Nugroho
Jurnal Kedokteran Muhammadiyah Vol 4 (2015): JURNAL KEDOKTERAN
Publisher : Jurnal Kedokteran Muhammadiyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (45.235 KB)

Abstract

Latar Belakang : Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan bayi yang lahir dengan berat badan lahir kurang dari 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan. Pada BBLR beresiko untuk mengalami kegagalan nafas yang akan menjadi asfiksia neonatorum. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui prevalensi derajat asfiksia neonatorum pada BBLR di RSUD Kabupaten Karanganyar periode 1 Agustus 2012 31 Agustus 2013.Metode : Jenis penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Cara pengambilan sample dilakukan secara total sampling, dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi sehingga didapatkan 125 BBLR.Hasil :Jumlah BBLR dengan derajat BBLR (berat bayi lahir 1500 2500) merupakan yang terbanyak dengan jumlah 107(85,6%). Jumlah Asfiksia Neonatorum tingkat keparahan sedang merupakan yang terbanyak dengan jumlah 104 (83,2%). BBLR dengan kejadian asfiksia neonatorum ringan sebanyak 7 dengan prosentase 5,6%, kejadian asfiksia neonatorum sedang sebanyak 97 dengan prosentase 77,6%, dan kejadian asfiksia berat sebanyak 3 dengan prosentase 2,4%. BBLSR dengan kejadian asfiksia nenonatorum ringan sebanyak 0 dengan prosentase 0,0%, kejadian asfiksia neonatorum sedang sebanyak 7 dengan prosentase 5,6%, dan kejadian asfiksia neonatorum berat sebanyak 1 dengan prosentase 0,8%. BBLASR dengan kejadian asfiksia neonatorum ringan sebanyak 0 dengan prosentase 0,0%, kejadian asfiksia neonatorum berat sebanyak 0 dengan prosentase 0,0%, sedangkan kejadian asfiksia neonatorum berat sebanyak 10 dengan prosentase 4,3%.Kesimpulan : Derajat BBLR dengan asfiksia neonatorum dengan tingkat keparahan sedang adalah yang tertinggi angka kejadiannya.Kata Kunci : BBLR, Asfiksia Neonatorum.
TINGKAT KEPARAHAN ASFIKSIA NEONATORUM PADA BAYI BERAT LAHIR RENDAH (BBLR) Prima Maulana Cahyo Nugroho; Lilia Dewiyanti; Afiana Rohmani
Jurnal Kedokteran Muhammadiyah Vol 2, No 1 (2013): JURNAL KEDOKTERAN
Publisher : Jurnal Kedokteran Muhammadiyah

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Latar Belakang : Bayi berat lahir rendah (BBLR) merupakan bayi yang lahir dengan berat badan lahir kurang dari 2.500 gram tanpa memandang masa kehamilan. BBLR mempunyai resiko mengalami kegagalan nafas yang dapat menyebabkan asfiksia neonatorum. Hal ini terjadi akibat kurangnya surfaktan paru, pertumbuhan dan pengembangan paru yang belum sempurna, otot pernapasan yang masih lemah dan tulang iga yang mudah melengkung. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan antara derajat BBLR dengan tingkat keparahan asfiksia neonatorum di RSUD Kabupaten Karanganyar periode 1 Agustus 2012 31 Agustus 2013. Metode : Jenis penelitian yang digunakan adalah cross sectional. Teknik pengambilan sampel adalah total sampling, dengan memperhatikan kriteria inklusi dan eksklusi. Data diolah menggunakan analisis korelasi rank spearman.Hasil : Sampel yang diperoleh adalah sebesar 125 BBLR, dengan jumlah terbanyak adalah BBLR derajat rendah (berat bayi lahir 1500 2500) yaitu 107(85,6%). Jumlah Asfiksia Neonatorum dengan tingkat keparahan sedang merupakan yang terbanyak di RSUD Kabupaten Karanganyar yaitu 104 (83,2%). Uji Rank Spearman diperoleh ada hubungan yang signifikan antara derajat BBLR dengan tingkat keparahan asfiksia neonatorum (p<0,05).Kesimpulan : Ada hubungan yang signifikan antara derajat BBLR dengan tingkat keparahan Asfiksia nenoatorum, semakin berat derajat BBLR maka semakin tinggi tingkat keparahan asfiksia neonatorum.Kata Kunci : BBLR, asfiksia neonatorum.
Acinar Gland Hyperplasia Masquerading as Pancreatic Head Carcinoma: A Case Report on a Diagnostic and Surgical Dilemma Prima Maulana Cahyo Nugroho; Suryo Wahyu Raharjo
Open Access Indonesian Journal of Medical Reviews Vol. 5 No. 5 (2025): Open Access Indonesian Journal of Medical Reviews
Publisher : HM Publisher

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.37275/oaijmr.v5i5.785

Abstract

The preoperative differentiation of benign from malignant pancreatic head masses presents a significant clinical challenge. While pancreatic ductal adenocarcinoma (PDAC) is the primary concern, rare benign pathologies can be radiologically and clinically indistinguishable from cancer, leading to diagnostic uncertainty and complex surgical decisions. A 61-year-old male presented with a classic triad of obstructive jaundice, significant weight loss, and right upper abdominal pain. A contrast-enhanced computed tomography (CT) scan of the abdomen revealed a solid mass in the head of the pancreas, causing concomitant dilation of the common bile and pancreatic ducts—the "double duct sign." These findings were highly suggestive of pancreatic head carcinoma, prompting a decision for surgical intervention. The patient underwent a standard pancreaticoduodenectomy (Whipple procedure). Surprisingly, the final histopathological examination of the resected specimen revealed no evidence of malignancy. The diagnosis was benign acinar gland hyperplasia. The postoperative course was complicated by a delayed post-pancreatectomy hemorrhage from a gastroduodenal artery pseudoaneurysm, which was successfully managed with minimally invasive transarterial embolization (TAE). In conclusion, acinar gland hyperplasia is an exceedingly rare benign condition that can precisely mimic the clinical and radiological features of pancreatic cancer. This case underscores the current limitations of preoperative diagnostics and affirms that aggressive surgical management is justified in patients with a high suspicion of malignancy, as the risk of withholding surgery for a potentially curable cancer outweighs the risk of resecting a benign lesion. Furthermore, it highlights that the Whipple procedure carries a significant risk of life-threatening complications, such as delayed hemorrhage, irrespective of the underlying pathology, necessitating vigilant postoperative care.