Herwin Sulistyowati, SH,MH
Unknown Affiliation

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

TINJAUAN TENTANG PEMBERIAN GRASI TERHADAP TERPIDANA KORUPSI DI INDONESIA Herwin Sulistyowati, SH,MH
PROSEDING SEMINAR UNSA 2014: PROSEDING SEMINAR KORUPSI FAKULTAS HUKUM
Publisher : PROSEDING SEMINAR UNSA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (326.06 KB)

Abstract

Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah negara yang menganut sistem Pemerintahan Presidensil. Dalam sistem Pemerintahan Presidensil ini terdapat hak prerogatif yang dimiliki oleh seorang Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan. Salah satu hak prerogatif tersebut ada pada kewenangan dalam pemberian Grasi yang tidak bersifat absolut. Pemberian Grasi oleh Presiden kepada terpidana perlu dibatasi, seperti yang diatur di dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia bahwa, “Presiden memberi Grasi dan Rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung.” Hal ini juga Berkaitan dengan prinsip Checks and Balances serta hubungan kewenangan antara Presiden dan lembaga negara lainnya, mengenai pemberian Grasi yang semula menjadi hak prerogatif Presiden sebagai Kepala Negara, dalam menggunakan kewenangannya dengan memperhatikan pertimbangan dari lembaga Negara lain yang memegang kekuasaan sesuai dengan wewenangnya. Pengaturan Kewenangan Presiden dalam pemberikan Grasi berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi dengan memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung, Kewenangan Presiden dalam pemberian Grasi perlu memperhatikan pertimbangan dari Mahkamah Agung sebagai lembaga yudikatif, agar terjalin saling mengawasi dan saling mengimbangi antara Presiden dan kedua lembaga negara tersebut dalam hal pelaksanaan tugas kenegaraan. Sehingga dengan adanya peran serta pertimbangan Mahkamah Agung kepada Presiden dalam pemberian Grasi, memberikan batasan kepada Presiden dalam mengunakan kekuasaannnya, sehingga dapat menghindari pemberian Grasi yang berlebihan kepada pelaku kejahatan yang berat. Kriteria yang dijadikan pertimbangan bagi Presiden dalam pemberian Grasi dan implikasi hukumnya, pertimbangan yang diberikan Presiden berdasarkan atas pertimbangan-pertimbangan lain diluar hukum, termasuk yang menyangkut pertimbangan kemanusiaan dan tetap menjunjung tinggi rasa keadilan dan kepastian hukum. Pemberian Grasi oleh Presiden menimbulkan implikasi hukum terhadap terpidana yang mengajukan permohonan Grasi. Keputusan yang diambil oleh Presiden, baik yang bersifat menolak maupun mengabulkan permohonan Grasi, tidak akan memperberat pidana yang diputus oleh pengadilan.
TINJAUAN HUKUM PIDANA TERHADAP UNDANG-UNDANG NOMOR 35 TAHUN 2009 TENTANG KEBIJAKAN PENGATURAN TINDAK PIDANA NARKOTIKA DI INDONESIA Herwin Sulistyowati, SH,MH
PROSEDING SEMINAR UNSA 2014: PROSEDING SEMINAR NARKOBA FAKULTAS HUKUM
Publisher : PROSEDING SEMINAR UNSA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (242.653 KB)

Abstract

Setiap warga negara wajib "menjunjung hukum". Dalam kenyataan sehari-hari,  warga                        negara     yang         lalai/sengaja                    tidak    melaksanakan kewajibannya sehingga merugikan masyarakat, dikatakan bahwa warga negara  tersebut  "melanggar  hukum"  karena  kewajiban  tersebut  telah ditentukan berdasarkan hokum.  Berawal dari pemikiran bahwa manusia merupakan serigala bagi manusia lain (Homo homini lupus), selalu mementingkan diri sendiri dan tidak  mementingkan orang lain  sehingga bukan hal yang mustahil bagi manusia untuk  melakukan kesalahan, baik itu disengaja maupun tidak disengaja, sehingga perbuatan itu merugikan orang lain dan tidak jarang pula melanggar hukum, kesalahan itu dapat berupa suatu tindak pidana (delik). Salah satu tindak pidana yang dilakukan masyarakat adaiah tindak pidana  Narkotika.  Narkotika  adaiah  zat  atau  obat  yang  berasal  dari tanaman atau bukan  tanaman, baik sintetis maupun semisintetis yang dapat  menyebabkan  penurunan  atau  perubahan  kesadaran,  hilangnya rasa,          mengurangi             sampai menghilangkan   rasa        nyeri,dan dapat menimbulkan ketergantungan,yang     dibedakan            kedalam golongan- golongan          UU No. 35 tahun 2009, adalah UU yang direvisi dan dibuat untuk memberikan  filter atau batasan bagi masyarakat agar yang termasuk jenis- jenis  narkotik dan   psikotropika,digunakan  hanya untuk kepentingan medis/pengobatan dengan dosis tertentu yang sudah ditetapkan. Di luar dari pada itu, penggunaannya sudah dikenakan sanksi/hukuman yang telah diatur dalam UU.