Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

KEABSAHAN PENGANGKATAN WÂLÎMUHAKKAM DI MADURA BERDASARKAN FIKIH SYÂFI’Î Moh. Zahid
Karsa: Journal of Social and Islamic Culture Islam, Budaya dan Hukum
Publisher : Institut Agama Islam Negeri Madura

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/karsa.v20i2.48

Abstract

Abstract There are several events of sirrî (secret) marriage that employ wâlî (best man) muhakkam in Madurese society. It relies on the basis of fiqh (law) clauses especially Syâfi’î school of law. This kind of marriage is considered lawful but the term of wâlî (male relative legally responsible for a bride) muhakkam is unknown in legal constitution of Indonesia. The common reason behind it is that wali does not allow marriage permission and/or wali has fulfilled a required distance 2 marhalah (masâfat al-qashr) with the bride. It is around ± 92,5 km (wâlîghâ’ib). The wâlî transposition legality of a marriage, from wâlînasab to wâlîmuhakkam by denying the wâlîhâkim, needs to study from the perspective of Syâfi’î school of law itself. Abstrak Pada masyarakat Madura, terdapat beberapa peristiwa pernikahan sirrî dengan menggunakan wâlîmuhakkam yang didasarkan pada ketentuan hukum (fikih) terutama mazhab Syâfi’î. Pernikahan dengan cara tersebut diyakini sebagai cara yang sah meski keberadaan wâlîmuhakkam tidak dikenal dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia. Alasan yang jamak digunakan adalah wali tidak mau menikahkan (wali ‘adlal) dan/atau keberadaan wali sudah memenuhi jarak 2 marhalah (masâfat al-qashr) dengan calon mempelai wanita yaitu ± 92,5 km (wâlîghâ’ib). Perpindahan perwalian dalam pernikahan dari wali nasab kepada wâlîmuhakkam tersebut –dengan ‘menafikan’ posisi wali hakim– perlu ditelaah keabsahannya dari sudut pandang mazhab Syâfi’î sendiri.   Kata Kunci: Wâlînasab, wâlîhâkim dan wâlîmuhakkam, mazhab Syâfi’î    
MAKNA DAN PESAN PENGUAT SUMPAH ALLAH DALAM SURAT-SURAT PENDEK Moh. Zahid
NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam Vol. 8 No. 1 (2011)
Publisher : Research Institute and Community Engagement of IAIN MADURA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/nuansa.v8i1.3

Abstract

Study to message of Allah pass His oath in al- Qur'an is oftentimes only focussed at Muqsam ` alayh (news strengthened with oath). While message of muqsam bih( lasing of oath) used by Allah not yet many expressed. Result of study to message from varous muqsam bih which is described in 10 short letters concluded to become two matter 1) Inviting human being to comprehend muqsam ‘alayh ( message strengthened with oath) by the way of contemplating muqsam bih (lasing of His oath); and 2) Motivating the human being to be deepening farther about important values, scientific truth and relevance in life a day from varous muqsam bih used.
PERBEDAAN PENDAPAT PARA ULAMA TENTANG JUMLAH AYAT AL-QUR’AN DAN IMPLIKASINYA TERHADAP PENERBITAN MUSHAF AL-QUR’AN DI INDONESIA Moh. Zahid
NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam Vol. 9 No. 1 (2012)
Publisher : Research Institute and Community Engagement of IAIN MADURA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/nuansa.v9i1.20

Abstract

Para Imam Qurra’ berbeda pendapat dalam menghitung jumlah ayat al-Qur’an. Tujuan Penelitian ini, yaitu pertama, mendeskripsikan perbedaan pendapat para ulama tentang jumlah ayat pada masing-masing surat. Kedua, mendeskripsikan mushaf al-Quran yang diterbitkan oleh beberapa penerbit. Ketiga, merumuskan implikasi perbedaan pendapat para ulama terhadap penerbitan mushaf al- Quran.Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif dengan jenis penelitian library research (study kepustakaan). Analisis data dalam penelitian ini menggunakan tehnik analisis isi (content analysis). Hasil Penelitian adalah terdapat tujuh madzhab yang terkenal mengenai penghitungan jumlah ayat al-Qur’an, yaitu pertama, Al-Madanî al-Awwal menyebutkan sebanyak 6217 atau 6214 ayat. Kedua, Al-Madanî al-Akhîr menyebutkan sebanyak 6214 ayat. Ketiga, Ahl Mekkah menyebutkan angka 6210 ayat. Keempat, Ahl Bashrah menghitungnya sebanyak 6204 ayat. Kelima, Ahl Damaskus berpendapat sebanyak 6227 atau 6226 ayat. Keenam, al-Humushi berpendapat sebanyak 6232 ayat. Ketujuh, ahl Kufah menyebutkan sebanyak 6236 ayat. Mushaf al-Qur’an yang diterbitkan di Indonesia jumlah ayat al-Qur’an sebanyak 6236 ayat. Mushaf Standar Indonesia mengikuti pendapat Kûfiy, yaitu Imam 'Asim (127/744), Imam Hamzah (156/772), Imam Al-Kisa'i (189/804) Khalaf al-Asyir (229/843), dan al-A’masy (148/765).
POSISI DAN FUNGSI MUSHHAF AL-QUR’AN DALAM KOMUNIKASI MASSA Moh. Zahid
NUANSA: Jurnal Penelitian Ilmu Sosial dan Keagamaan Islam Vol. 11 No. 1 (2014)
Publisher : Research Institute and Community Engagement of IAIN MADURA

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.19105/nuansa.v11i1.182

Abstract

Al-Qur’an dikenal dengan sebutan Mushhaf (himpunan dari shuhuf, bentuk plural dari kata shahîfah yang berarti ‘surat kabar’), dan al-Kitâb (Buku), sebagai dua media komunikasi dalam proses komunikasi massa yang memiliki fungsi yang kurang lebih sama dengan fungsi media massa cetak lainnya, seperti informasi, mendidik, hiburan, persuasi, transmisi budaya atau pewarisan sosial, pengawasan sosial, korelasi, penafsiran, dan bahkan membius. Mushhaf al-Qur’an pun memeroleh perhatian yang tiada bandingannya bagaikan sebuah permata yang memancarkan cahaya yang berbeda-beda dengan dari berbagai sudut pandang. Apakah dengan demikian Mushhaf al- Qur’an dapat disebut sebagai media massa? Artikel penelitian ini ditulis untuk meyakinkan para pemerhati studi al-Qur’an bahwa asumsi tersebut adalah benar.
Dinamika Lafal Mawlā dalam Al-Qur’an: Analisis Kajian Semantik Ferdinand De Saussure Mohammad Nabil Iklil Mubarok; Moh. Zahid
Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur'an, Tafsir dan Pemikiran Islam Vol. 6 No. 3 (2025): Ta’wiluna: Jurnal Ilmu Al-Qur’an, Tafsir dan Pemikiran Islam
Publisher : Lembaga Penelitian, Penerbitan dan Pengabdian kepada Masyarakat (LP3M) IAIFA Kediri

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

This study traces the development of the meaning of the term mawlā from the pre-Qur'anic to the post-Qur'anic period, focusing on the diversity of meanings that appear in the texts of the Qur'an. As a key term in the Qur'an, mawlā has a broad range of meanings, from the vertical relationship between humans and God to the horizontal relationship between humans. This study aims to examine the dynamics of these meanings through an analysis of a number of Qur'anic verses, including Al-Taḥrīm (66:2), Al-Ḥajj (22:13), and others. Using a qualitative approach and descriptive-analytical methods, this study utilizes Ferdinand de Saussure's synchronic and diachronic theories as a semantic analysis framework. Secondary data comes from various classical to modern interpretations, Arabic dictionaries, and pre-Islamic literary works. The results show that the meaning of mawlā is contextual, functional, and not static. Synchronically, this term refers to various roles such as helper, protector, or regulator in the context of vertical and horizontal relationships. Diachronically, there has been a shift in meaning from the terms patronage and slavery in the Jahiliyyah period to spiritual and egalitarian concepts in Islam, to becoming a religious title in the post-Qur'anic tradition. These findings confirm that the meaning of mawlā is differential, depending on the system and context, rather than having a fixed or singular meaning.