Kebijakan merupakan suatu keputusan yang diambil oleh pemerintah dari berbagai alternatif yang ada. Salah satu kebijakan pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta adalahpengembangan ke arah utara dengan melakukan reklamasi Pantai Utara Jakarta. Namun dalam pelaksanaannya, kebijakan tersebut ditentang oleh masyarakat Muara Angke dan Lembaga Swadaya Masyarakat. Dengan adanya pertentangan tersebut diperlukan pengelolaan konflik. Makalah ini bertujuan untuk menganalisis konflik melalui apa yang dikenal dengan manajemen konflik beserta fase-fase konflik reklamasi Pulau G Pantai Utara Jakarta. Fase-fase konflik meliputi fase potensi konflik, fase pertumbuhan konflik, fase pemicu dan ekskalasi, dan fase pasca konflik. Temuan-temuan empiris memperlihatkan bahwa, fase potensi konflik reklamasi Pulau G ini dimulai oleh dampak yang dirasakan masyarakat terutama nelayan tradisional dan tidak adanya sosialisasi dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Kemudian, pada fase pertumbuhan konflik, masyarakat mengetahui apa itu reklamasi dan dampak reklamasi melalui sosialisasi yang dilakukan oleh lembaga swadaya masyarakat. Pada fase pemicu dan ekskalasi, masalah tersebut disuarakan oleh masyarakat kepada Pemerintah Provinsi DKI Jakarta dengan bantuan lembaga swadaya masyarakat. Kemudian, fase pasca konflik diawali dengan dikeluarkannya sanksi administrasi penghentian sementara reklamasi Pulau G oleh Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan.