Claim Missing Document
Check
Articles

Found 6 Documents
Search

Uang dalam perspektif budaya dan filsafat Tionghoa Ardian Cangianto
Extension Course Filsafat ( ECF ) No. 1 (2015): ECF Filsafat Uang
Publisher : Fakultas Filsafat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/ecf.v0i1.1986.%p

Abstract

Perkembangan ekonomi di Tiongkok yang ribuan tahun lamanya melahirkan banyakgagasan maupun teori tentang ekonomi dan fungsi uang. Para filsuf maupun ekonomTiongkok dari zaman ke zaman menghadapi permasalahan-permasalahan ekonomi yangharus diatasi. Secara garis besarnya, kendali negara atas perekonomian maupun perputaranuang itu adalah demi mensejahterakan rakyat. Tanpa ada rakyat yang sejahtera makakekuasaan negara bisa terancam bahkan digulingkan. Dalam mengelola maupunmelaksanakan kegiatan ekonomi harus memiliki keadilan dan kebajikan. Cara itulah yangbisa menghindari kebencian maupun amarah karena kegiatan yang mencari untungberlebihan.Makna dan nilai dari uang menjadi suatu perdebatan di kalangan para filsuf maupunpara ekonom Tiongkok kuno, terutama dalam bidang ekonomi maupun fungsi dalamkehidupan sehari-hari. Namun demikian, bentuk uang koin di Tiongkok selama dua ributahun tidak mengalami perubahan. Bentuk uang koin itu sendiri mengandung nilai filosofitentang keharmonisan.Fungsi dan makna nilai uang akhirnya melampaui fungsi ekonomi, terutama dalambidang metafisik maupun budaya bangsa Tionghoa. Dalam budaya Tionghoa, uang sudahbukan lagi sekedar alat tukar ekonomi, tapi menjadi alat untuk menolak bala, harmonisdengan alam dan lain-lain.
PANDANGAN FILOSOFIS TIONGHOA MEMANDANG MATI BAGAIKAN HIDUP Ardian Cangianto
Extension Course Filsafat ( ECF ) No. 2 (2015): ECF Filsafat Kematian
Publisher : Fakultas Filsafat

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26593/ecf.v0i2.1997.%p

Abstract

Jalan untuk keluar dari lingkaran kematian dan kehidupan adalah dengan pencerahan. Zen buddhisme maupun Taoisme dan Ruisme mengenal konsep pencerahan. “Langit selalu bergerak membangun, seorang junzi ( manusia sejati ) tiada henti memperbaik diri” ada dalam kitab Yijing, jadi sebagai manusia yang hidup harus selalu memperbaiki diri demi  kebaikan alam semesta ini. Tidak perlu berpikir jauh apa yang terjadi setelah mati, jalani saja hidup ini. Agana mengajarkan kebenaran dan kebenaran itu harus dilaksanakan setiap hari. Ini yang  menyamakan semua agama. Tapi asal muasal, tujuan hidup dan kemana pergi setelah mati itu yang berbedabeda. Inilah yang membedakan konsep-konsep agama. Demikian juga berbagai budaya dan mitos yang bernarasi tentang manusia selalu berbeda-beda.
LIVING THE TEMPLE AS EXPRESSION OF CHINESE PHILOSOPHY AND CULTURE Ardian Cangianto
Bambuti Vol 3 No 1 (2021): Bambuti : Bahasa Mandarin dan Kebudayaan Tiongkok
Publisher : Fakultas Sastra Universitas Darma Persada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (680.038 KB) | DOI: 10.53744/bambuti.v3i1.21

Abstract

The temple is not always defined as a mere place of worship but also has multiple functions and cannot stand alone without any connection with others. This paper intends to provide an understanding of the temple as a form of expression of Chinese philosophy and culture. When gender becomes a problem in society, temples can also provide a way out, containing many social elements that are forgotten. Competition for the temple to be claimed by religious institutions makes the temple even more ambiguous and confusing. Such actions further alienated the temple from the development of the times and also lost social values ​​that were horizontal
Tionghoa Dungkek dan Pulau Sapudi (Pulau Madura) dan Makna Kubur Berbentuk Perahu Ardian Cangianto
Bambuti Vol 3 No 2 (2021): Bambuti : Bahasa Mandarin dan Kebudayaan Tiongkok
Publisher : Fakultas Sastra Universitas Darma Persada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1400.091 KB) | DOI: 10.53744/bambuti.v3i2.33

Abstract

Kedatangan masyarakat Tionghoa ke Nusantara sudah berlangsung selama ribuan tahun lamanya dan hubungan antara Tiongkok dengan kerajaan-kerajaan Nusantara dicatat pertama kali dalam “Kronik Han”. Dengan adanya catatan itu menunjukkan berlangsungnya arus migrasi baik dari Nusantara maupun dari Tiongkok. Dalam perjalanan sejarah arus migrasi dari Tiongkok dan menetapnya mereka di Nusantara, tentunya terjadi asimilasi alamiah dan akulturasi orang-orang Tionghoa yang menyimpan harapan dan keinginan dari kaum imigran Tiongkok yang menetap tersebut. Hal itu dapat kita lihat dalam ornament kelenteng maupun kuburan orang Tionghoa, dalam paper ini akan diuraikan bentuk kuburan kaum Tionghoa di Dungkek dan pulau Sapudi yang amat unik dari bentuknya berupa perahu mengandung unsur pengharapan diterima secara utuh oleh masyarakat tempat mereka tinggal dengan tidak melupakan asal mereka. Dari pengamatan terlihat adanya perubahan bentuk kuburan dari yang berornamen Tionghoa menjadi bentuk perahu dan kemudian ornament dan bentuk kuburan Tionghoa yang tidak berbentuk perahu lagi. Dari bentuk kuburan itu dapat disimpulkan bahwa ada empat bentuk kuburan dan juga mewakili tiga masa walau tidak secara sepenuhnya dapat dikatakan harus seperti itu, dan bentuk perubahan dari yang bergaya Tiongkok maupun bergaya ‘modern’ atau makam bernuansa ‘Islam’, dapat menunjukkan kepercayaan mereka, tapi dari pengamatan makam berbentuk ‘perahu’ itu dapat dilihat bahwa ternyata hal itu tidak berlaku berdasarkan kepercayaan. Bentuk kuburan seperti ‘perahu’ yang merapat itu bisa melambangkan pengharapan akan ketenangan dan penerimaan, juga asal muasal mereka adalah perantau melewati lautan dan mendarat di tanah yang baru.
THE TERM OF KELENTENG IN BAHASA INDONESIA Ardian Cangianto
Bambuti Vol 4 No 1 (2022): Bambuti : Bahasa Mandarin dan Kebudayaan Tiongkok
Publisher : Fakultas Sastra Universitas Darma Persada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (402.845 KB) | DOI: 10.53744/bambuti.v4i1.36

Abstract

This paper aims to explain the term kelenteng in Bahasa Indonesia. The temple in this paper is intended as a place of worship for the Chinese with their classification according to their respective categories. The study was conducted using literature data and observation methods. The mention of temples is a tool for referring to non-Chinese people, especially in Java, to indicate places of worship for Chinese people in general. The mention of the term temple has exceeded its limits and is generally accepted by the Chinese community as a designation for places of worship of Chinese beliefs that have various kinds.
Chinese Temples and Buddhism Unite In Harmony Ardian Cangianto
Jounal Nyanadassana Vol 1 No 2 (2022)
Publisher : STAB Kertarajasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.59291/jnd.v1i2.15

Abstract

Relationship history between China and Indonesia Archipelago has been recorded since 1st century and followed by Chinese community to migrate to the archipelago at that time. The migration also brought their beliefs and culture to enrich archipelago culture. Chinese people and their temples role in developing Buddhism were not discussed in detail, even, there were many misunderstandings between temples and Buddhism institutions. Further, to overcome this problem, we must understand how Chinese belief system and temple role in developing Buddhism in 18th to 21st centuries. Chinese temple's track record is dominant in Buddhism development. Benqing monk's record who traveled from one temple to another in providing services for people in temples or Mahayana Buddhist was possible to be traced. In addition, role of Dizang Yuan in Jakarta to educate the "flower monks" as prayers. Even the role of spreading Buddhism through symbols could be seen in various temples. Absolutely, this role requires better establishment and deeper understanding of Chinese people beliefs and temple function as an effort to build harmony. Furthermore, Chinese temples division and belief systems with "Three Teachings" are required to be studied deeper. So, we can all understand that the core is "harmony”