Law enforcement in Aceh Province operates under the Sharia legal system as a manifestation of its special autonomy status. The Mahkamah Syar’iyah (Sharia Court) holds jurisdiction over religious and certain criminal cases involving Muslim individuals. However, in practice, not all jarimah (criminal) cases are processed through the Sharia Court. Some are handled by customary courts or general courts, especially when the offender is a non-Muslim. This overlapping jurisdiction and legal pluralism raise normative challenges regarding justice and human rights protection. This study employs a qualitative method using a juridical-sociological approach through interviews and analysis of Sharia court rulings. The findings reveal that while Mahkamah Syar’iyah possesses formal authority over jinayat cases, enforcement remains suboptimal due to limited legal substance, regulatory gaps, and low public legal awareness. These factors underscore the need to harmonize Islamic legal norms with the national legal system and human rights principles to ensure fairness, legal certainty, and equal treatment before the law. Abstrak Penegakan hukum di Provinsi Aceh dilakukan melalui sistem peradilan syariat Islam sebagai manifestasi kekhususan dan otonomi daerah. Mahkamah Syar’iyah menjadi lembaga peradilan yang memiliki kewenangan dalam perkara keagamaan dan sebagian perkara pidana bagi subjek hukum Muslim. Namun, dalam praktiknya, penanganan perkara jarimah tidak selalu melalui Mahkamah Syar’iyah. Terdapat kasus-kasus yang ditangani melalui peradilan adat atau peradilan umum, terutama ketika pelaku bukan beragama Islam. Selain itu, terjadi ketidaksinkronan dalam pemilihan jalur hukum dan kewenangan lembaga penegak hukum, yang menimbulkan persoalan normatif terkait prinsip keadilan dan hak asasi manusia. Penelitian ini merupakan studi kualitatif dengan pendekatan yuridis-sosiologis melalui wawancara dan telaah putusan Mahkamah Syar’iyah. Hasilnya menunjukkan bahwa meskipun Mahkamah Syar’iyah memiliki kewenangan absolut terhadap perkara jinayat, implementasinya belum optimal karena keterbatasan substansi hukum, kelemahan regulasi, dan rendahnya kesadaran hukum masyarakat. Kondisi ini menunjukkan perlunya harmonisasi antara hukum syariat, sistem hukum nasional, dan prinsip-prinsip HAM agar tidak terjadi pelanggaran terhadap hak individu dalam proses peradilan