Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Hak Asasi Perempuan Dalam Islam Nazar naamy
QAWWAM Vol. 12 No. 2 (2018): Qawwam: Journal for Gender Mainstreaming
Publisher : Pusat Studi Gender dan Anak Universitas Islam Negeri (UIN) Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20414/qawwam.v12i2.792

Abstract

Interpretasi tentang HAM serta ayat-ayat yang berkaitan dengan perempuan hanya dipandang sebelah mata dan lebih banyak muatan politik belaka.Kaum perempuan selalu menjadi objek kekerasan dan tidak dipandang sebagai manusia, dimana dalam kelas sosial selalu menjadi objek kekerasan, seperti kekerasan terhadap perkawinan, kejahatan pelacuran, banyaknyajanda-jandayangmasihdibawahumur. Konsep HAMituseolah- olah hanya berlaku bagi kaum laki-laki yang selalu merasa superioritas sedangkan kaum perempuan selalu tersubordinasi. KonsepHAM dalam Islam tentu tidak secara mudah diterima di negara Islam, hal demikian terjadikarena umat Islam selalu memiliki anggapan yang negatif bahwa HAM itu seolah-olah produk dari Barat yangakhirnya berdampakpada kesombongan intelektual serta kemalasan kita untuk mengkaji secara mendalam tentang HAM dalam Islam. Isu apakah HAM ada dalam Islam atau tidak, tentu melahirkan rumusan HAM pada akhir tahun 1948 ketika itu berhasil mencanangkan piagam hak asasi manusia. HAM adalah bagian dari Islam, karena Islam itu sangat universal berlaku untuk segala zaman, dan Islam juga tidak pernah memandang perbedaan antara laki-laki dan perempuan, akan tetapi karena pemahaman individu dan kelompok itulah yang membuat Islam itu menjadi inklusif dan terbatas, sehingga dalam mengartikan konsep HAM masih dipandang sebelah mata dalam dunia Islam. Konsep HAM itu sudah ada dalam tubuh Islam yang dimana dalam sejarah kehidupan dan perjalanan Nabi Muhammad SAW telah mengajarkan kita bahwa tidak ada perbedaan posisi kaum laki-laki dan perempuan, tidak ada diskriminasi satu sama lain dan terlebih lagi dalam konteks sekarang sejak munculnya konsep HAM yang mengusung equality antara laki-laki dan perempuan dimata hukum dan tidak ada diskriminasi antara satu sama lain, karenaIslam sesungguhnya sudah lebih ramah terhadap kaum perempuan.
Moderasi Beragama Di Ruang Publik Dalam Bayang-Bayang Radikalisme Nazar Naamy; Ishak Hariyanto
Sophist : Jurnal Sosial Politik Kajian Islam dan Tafsir Vol. 3 No. 2 (2021): Masa Depan Dan Tantangan Moderasi Beragama
Publisher : UIN Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20414/sophist.v3i2.51

Abstract

Moderasi beragama dan saling mencintai menjadi cita-cita manusia di dunia ini, karena itu jejak yang paling dasar dalam diri manusia. Maka dari itu, kita harus membenci kekerasan atas nama apapun, baik itu agama, dan kemanusiaan. Manusia harus saling menghargai, menerima, menghormati, dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Kekerasan atas nama agama sering dijadikan alat legitimasi aksi dan reaksi kekerasan, baik radikalisme maupun terorisme oleh para pengusungnya. Kemunculan gerakan radikalisme dan terorisme yang didorong oleh beberapa faktor, baik internal maupun eksternal. Hal ini dapat ditelusuri dari gejala radikalisme di masyarakat, yang ditandai dengan adanya kecenderungan individu maupun kelompok untuk menafsirkan teks secara leterlek serta mengabaikan konteks, ingin penegakan syari’ah, dan cenderung intoleransi terhadap sesama manusia. Dalam artikel ini, penulis menawarkan bahwa moderasi beragama harus hidup di ruang publik, meski dibayang-bayangi oleh radikalisme. Meskipun dalam bayang radikalisme, moderasi beragama harus menjadi jalan keluar di tengah masyarakat yang pluralis dan harus diangkat pada ruang publik sebagai ruang demokratis, yang mana warga negara dapat menyatakan opini, kepentingan, dan kebutuhan mereka secara diskursif. Berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politisnya, bebas menyatakan sikap, dan argumen, terlibat dalam membicarakan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan bersama, bukan ditentukan oleh satu individu; Presiden, Tuan guru, Pejabat, Pendeta, Dan Kepala Suku. Ia bersifat bebas dari pengaruh siapapun termasuk pemerintah dan harus mudah diakses oleh semua anggota masyarakat.
Modernisasi dan Pembaharuan; Analisis Epistemologi Ilmu Islam Klasik dan Kontemporer Nazar Naamy
PALAPA Vol 11 No 1 (2023): MEI
Publisher : LP2M STIT Palapa Nusantara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.36088/palapa.v11i1.3525

Abstract

Through Hassan Hanafi's theological and intellectual reconstruction, this study analyzes the projection of Islamic renewal. He recognized the necessity to recreate classical theology, which was thought to be weakly practical and overly abstract in its description of theological terminology. The author serves as the primary instrument, analyzes the numerous phenomena discovered, and uses Hanafi's writings as source material for the analysis. So that the author may distinguish between empirical reality and focus, elaborate on the empirical reality behind the phenomena, and provide a methodical and factual account of the information regarding the thing to be researched. Some of the results of the analysis found include (1) Hanafi tries to bridge the discourse on classical Islamic sciences which is responsive to the problems of Muslims today. (2) He describes a future civilization that will face a variety of difficulties that the Muslim generation will need to prepare for with useful classical studies. (3) To combat the backwardness of society, which is reflected in progress and enlightened thought, Hanafi cultivates critical thinking. It also builds the capacity to reconstruct reality from negative to positive aspects and to take advantage of current changes for the social benefit of Muslims. (4) Developing classical sciences as an attraction and support in an effort to build a generation that is religious and able to become agents of change in the future.
OBSERVING THE ACCESSABILITY OF DISABLED GROUPS IN MOSQUE: A CASE STUDY IN MATARAM CITY Nazar Naamy
FiTUA: Jurnal Studi Islam Vol 4 No 1 (2023): JUNE
Publisher : STIT Sunan Giri Bima

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47625/fitua.v4i1.526

Abstract

This article tries to explain the practice of da’wah inclusion over disabled groups in houses of worship. The research using qualitative methods with a case study approach was carried out in Lombok and disability data was taken from "NTB in numbers". The data of this disability group were analyzed using Axel Honneth's theory of recognition. The study reveal that in practice da’wah inclusion there is a gap in the pattern of da’wah and the sociological reality of da’wah in Lombok, especially in Mosque. Based on data on disabilities in Lombok, it was found that out of a hundred houses of worship such as Mosques, Temples, Monasteries, and Churches, they have not been inclusive in responding to disabled groups. This can be seen from the indicators that there is no access road for people with disabilities, wheel facilities, Quran Braille, hearing aids, lack of religious references that can make it easier for people with disabilities to study religious studies independently, and sign language interpreters of lecture materials, as well as recognition in religious and social names.