This Author published in this journals
All Journal JURNAL BIOMEDIK
Jan T. Ngantung
Universitas Sam Ratulangi Manado

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

Pengaruh terapi oksigen hiperbarik terhadap penyembuhan luka pada luka bakar derajat dua dalam pada hewan coba kelinci Susilo, Rudy H.; Hatibie, Mendy; Ngantung, Jan T.; Durry, Meilany F.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 9, No 1 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.9.1.2017.15317

Abstract

Abstract: Wound healing process consists of inflammation, proliferation, and remodelling phases with increasing inflammatory cells, angiogenesis, and epithelization. Mechanism of hyperbaric oxygen therapy is O2 pressure over 1 ATA will increase oxygen pressure in the tissue. The main outcome measure is wound healing. This study was aimed to obtain the influence of hyperbaric oxygen therapy to wound healing process of deep second degree burn wounds. This was an experimental study. Subject were 36 rabbits divided into 2 groups, each of 18 rabbits. Deep second degree burn wounds were performed on all rabbits. One group was treated with hyperbaric oxygen therapy 2.4 ATA for 6 days, meanwhile the other group as control. The result of Mann-Whitney U test showed significant differences in inflammatory cells (P = 0.025) and epithelization (P = 0.024); albeit, there was not significant difference in angiogenesis (P = 0.442) between the two groups. Conclusion: Hyperbaric oxygen therapy could influence the inflammatory cells and epithelization but not the angiogenesis.Keywords: second degree burn wound, healing process, hyperbaric oxygen therapyAbstrak: Proses penyembuhan luka terdiri dari: fase inflamasi, proliferasi, dan perupaan kembali/remodeling, yang tampak dengan meningkatnya sel-sel radang, angiogenesis serta epitelialisasi. Mekanisme kerja terapi oksigen hiperbarik (TOHB) ialah pemberian tekanan O2 yang melebihi 1 ATA akan menyebabkan peningkatan tekanan O2 dalam jaringan. Jenis penelitian ialah eksperimental. Subyek penelitian 36 ekor kelinci yang dibuat luka bakar derajat dua dalam, kemudian dibagi menjadi dua kelompok, masing-masing 18 ekor. Kelompok perlakuan diberikan TOHB dengan dosis 2,4 ATA selama 6 hari sedangkan kelompok lain sebagai kontrol. Hasil uji Mann-Whitney U menunjukkan terdapat perbedaan bermakna pada jumlah sel radang (P = 0,025) dan epitelialisasi (P = 0,024), tetapi tidak terdapat perbedaan bermakna pada angiogenesis (p=0,442), serta ada perbedaan bermakna pada pada kedua kelompok. Simpulan: Terapi oksigen hiperbarik berpengaruh terhadap jumlah sel radang dan epitelialisasi namun tidak terhadap angiogenesis.Kata kunci: penyembuhan luka bakar, oksigen hiperbarik, luka bakar derajat dua dalam
Hubungan Facial Injury Severity Scale dengan lama rawat inap pasien trauma maksilofasial di RSUP Prof. Dr R. D. Kandou Manado Rampisela, Richard; Lumintang, Nico; Ngantung, Jan T.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 9, No 1 (2017): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.9.1.2017.15382

Abstract

Abstract: Maxillofacial trauma includes soft tissue injuries, such as burns, bruises and contusions, as well as fractures of facial bones that form the maxillofacial structure. The causes of maxillofacial fractures are traffic accidents, falls, hits, gun shots, sport accidents, and industrial accidents. Scoring system has been introduced as a tool to determine the prognostic value of patients with trauma. Facial trauma requires a different scoring system due to many dysfunctions that can occur afterwards. This study was aimed to determine the length of stay (LOS) of inpatients by using Facial injury Severity Scale (FISS). This was a correlation analytical study with a cross sectional design performed on inpatients of emergency care installation and medical records at Prof. Dr. R. D. Kandou Hospital from January 2015 through April 2016. The results showed that there were 52 patients in this study. Most of them were males (49 cases; 94.2%), aged 17-25 years (16 cases; 30.8%), refused to be operated (40 cases; 76.9%), patients with FISS 1-3 (42 cases; 80.7%), minor trauma (FISS <3), and zygoma fracture cases. The Pearson correlation coefficient test showed an r value = 0.646 (P <0.001) which stated that there was a significant relationship between FISS and LOS. Conclusion: Most patients with maxillofacial trauma had a FISS value less than 3 (mild trauma). Moreover, this FISS value could be used to estimate the length of stay.Keywords: maxillofacial trauma, facial fractures, FISSAbstract: Trauma maksilofasial mencakup cedera jaringan lunak seperti luka bakar, mencakup cedera jaringan lunak seperti luka bakar, memar, fraktur tulang fasial yang membentuk sturktur maksilofasial. Penyebab fraktur maksiofasial ialah antara lain kecelakaan lalu lintas, jatuh, pukulan, tembakan, kecelakaan olah raga, dan kecelakaan kerja. Sistem skoring digunakan untuk menentukan nilai prognostik pasien dengan trauma. Trauma fasial memerlukan sistem skoring yang berbeda karena banyak disfungsi yang dapat terjadi. Penelitian ini bertujuan untuk menentukan lama rawat inap dari pasien cedera fasial dengan menggunakan Facial injury Severity Scale (FISS). Jenis penelitian ialah korelasi analitik dengan desain potong lintang terhadap pasien rawat ianap dengan trauma maksilofasial di Instalasi Gawat Darurat dan Bagian Rekam Medik RSUP Prof. Dr. R. D. Kandou periode Januari 2015 s/d April 2016. Hasil penelitian mendapatkan 52 pasien dengan trauma maksilofasial. Sebagian besar pasien ialah laki-laki (49 kasus; 94,2%), berusia 17-25 tahun (16 kasus; 30,8%), menolak dioperasi (40 kasus; 76,9%), nilai FISS 1-3 (42 kasus; 80,7%), trauma ringan (FISS <3), dan fraktur tulang zygoma. Uji korelasi Pearson mendapatkan nilai r = 0,646 (P < 0,001) yang menunjukkan terdapatnya hubungan bermakna antara FISS dan lama rawat inap. Simpulan: Umumnya pasien dengan trauma maksilofasial mempunyai nilai FISS 3 (trauma ringan). FISS mempunyai nilai prognostik terhadap lama rawat inap.Kata kunci: trauma maksilofasial, fraktur fasial, FISS
Pengaruh terapi oksigen hiperbarik terhadap jumlah kuman pada luka bakar derajat dua dalam dari hewan coba kelinci Setiadi, Taat; Hatibie, Mendy; Ngantung, Jan T.; Wewengkang, Luisa A. J.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 8, No 2 (2016): JURNAL BIOMEDIK : JBM
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.8.2.2016.12672

Abstract

Abstract: Management of wound has improved together with development of medical sciences, especially biomolecular science and traumatology. Wounds, especially burn wound is prone to edema and infection, associated with a lot of free radicals. Due to tissue edema, hypoxia and hypoperfusion occur. Exposure of high pressure oxygen increase gamma interferron (IFN-γ) which further induces nitric oxide synthase (i-NOS) and VEGF. Besides that, IFN-γ increases the number of T helper 1 cells (TH-1) which influence B cells to produce IgG. Due to the increased IgG, the phagocytosis effect of leucocytes increase, therefore, it is assumed that hyperbaric oxygen therapy (HBO2) can reduce the degree of infected wound. This study aimed to analyze the effect of HBO2 on the numbers of bacteria in deep burn wound (2nd degree) in rabbits. This was a pure experimental study with a post test group design. Samples were 34 rabbits with deep burn wound (2nd degree) on their backs sized 2x1 cm. On day-5, bacteria cultures were obtained from all the wounds, and then the rabbits were divided randomly into 2 groups: treated with HBO2 and without; each group consisted of 17 rabbits. On day-10, the second bacteria cultures were done. The numbers of bacteria of the two groups were compared before and after HBO2. The results showed that distribution of bacteria in the two groups were as follows: Citrobacter freundii (34%), Citrobacter difersus (32%), Proteus vulgaris (13%), Citrobacter mirabilis (10.5%), and Staphylococcus aureus (10.5%). The Mann-Whitney U test showed a significant difference in the number of bacteria between the 2 groups before and after treatment (P < 0.001). The treated group showed a decrease of bacteria number. Conclusion: Hyperbaric oxygen therapy could reduce the number of bacteria in burn wounds.Keywords: burn wound, hyoperbaric oxyhen therapy, bacteriaAbstrak: Paradigma penatalaksanaan luka berubah seiring dengan perkembangan ilmu kedokteran, khususnya bidang ilmu biomolekuler dan traumatologi. Dalam bidang luka, terutama luka bakar, bagian tubuh mengalami edema dan infeksi. Pada bagian ini ditemukan radikal bebas dalam jumlah besar. Akibat edema jaringan terjadi hipoksia karena hipoperfusi. Paparan oksigen tekanan tinggi menyebabkan peningkatan interferon gamma (IFN-γ) yang menginduksi nitric oxide synthase (i-NOS) dan VEGF. IFN-γ meningkatkan sel T helper 1 (TH-1) yang memengaruhi sel B untuk menginduksi Ig-G. Dengan meningkatnya Ig-G, efek fagositosis dari leukosit juga akan meningkat, sehingga dapat diasumsikan bahwa hiperbarik mengurangi derajat infeksi pada luka. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengaruh terapi oksigen hiperbarik (TOH) terhadap jumlah kuman pada luka bakar derajat dua dalam pada hewan coba kelinci. Jenis penelitian ini eksperimental murni dengan desain post test kelompok. Penelitian dilakukan pada 34 kelinci yang diberikan luka bakar derajat dua dalam di daerah punggung dengan ukuran 2x1 cm. Pemeriksaan kultur kuman pada luka bakar dilakukan dua kali. Pada hari ke-5 diambil kultur dengan cara swab pada semua luka bakar di bagian punggung 34 kelinci, setelah itu kelinci dibagi secara acak menjadi dua kelompok yaitu yang menerima perlakuan TOH total 17 kelinci dan kelompok kontrol yang tidak menjalani TOH sebanyak 17 kelinci. Pada hari ke-10 setelah menyelesaikan TOH dilakukan kultur kuman pada luka bakar dengan cara swab pada kedua kelompok. Jumlah bakteri dibandingkan pada kedua kelompok sebelum dan setelah pengobatan. Hasil penelitian memperlihatkan berdasarkan distribusi jenis kuman pada dua kelompok dalam penelitian ini ditemukan Citrobacter freundii (34%), Citrobacter difersus (32%), Proteus vulgaris (13%), Citrobacter mirabilis (10,5%), dan Staphylococcus aureus (10,5%). Uji Mann-Whitney U menunjukkan perbedaan bermakna jumlah kuman antara kedua kelompok sebelum dan sesudah diberikan TOH dengan nilai P <0,001 di mana kelompok TOH menunjukkan penurunan jumlah kuman. Simpulan: TOH dapat mengurangi jumlah kuman pada luka bakar kulit.Kata kunci: luka bakar, TOH, kuman
PROFIL PALATOSKISIS DI BAGIAN ILMU BEDAH PLASTIK BLU RSUP PROF. DR. R.D. KANDOU MANADO PERIODE JANUARI-DESEMBER 2011 Taufiq, Kalsum; Ngantung, Jan T.; Oley, Maximillian C. H.
Jurnal Biomedik : JBM Vol 5, No 1 (2013): JURNAL BIOMEDIK : JBM Suplemen
Publisher : UNIVERSITAS SAM RATULANGI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.35790/jbm.5.1.2013.2632

Abstract

Abstract: After labioschizis, palatoschizis is the most frequently encountered congenital disorder with multifactorial causes, and is a disorder that can be found in every nation in the world. Among the factors, the genetic factor was agreed upon to be a major factor. This was a descriptive retrospective  study. This study aimed to find out palatoschizis cases in the Division of Plastic Surgery, Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital, Manado, from January to December 2011. The results showed that there were 40 cases of both disordersd in the Division of Plastic Surgery Prof Dr. R.D. Kandou Manado Hospital from January 2011 through December 2011, showing 55% with palatoschizis and 45% with labiopalatoschizis. From the total cases, 53% were females in contrast to 47% males. Fifty-seven percent represented the most frequently treated age group of 1-4 years with 72.5% requiring palatoplasty. From the total number of palatoschizis cases, as many as 58% were caused by environmental factors. Fifty-two percent were unilateral palatoschizis, in comparison to 2.5% bilateral. Conclusion: In the Division of Plastic Surgery, Prof. Dr. R.D. Kandou Hospital, Manado, from January to December 2011 most of the palatoschizis and labiopalatoschizis cases were unilateral. Environmental factors were the mot common etiology for most of the women who suffered from this disease. Palatoplasty procedures were most widely used among the largest age group of 1-4 years. Keywords: palatoschizis, labiopalatoschizis.   Abstrak: Palatoskisis merupakan kelainan kongenital yang paling sering dijumpai setelah labioskisis dengan penyebab multifaktorial, dan dijumpai pada setiap bangsa di dunia. Diantara faktor-faktor penyebabnya, faktor genetika disepakati menjadi faktor utama. Palatoskisis lebih banyak ditemukan pada perempuan. Palatoskisis unilateral kiri lebih sering dari pada yang kanan. Penelitian ini bersifat retrospektif deskriptif untuk mengetahui tentang kejadian palatoskisis di Bagian Ilmu Bedah Plastik RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Januari-Desember 2011. Hasil penelitian memperlihatkan jumlah kasus di Bagian Bedah Plastik RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Januari-Desember 2011 sebanyak 40 kasus dengan palatoskisis (55%) dan labiopalatoskisis (45%), lebih sering pada perempuan (53%) dibandingkan laki-laki (47%). Kelompok usia yang tersering ditangani 1-4 tahun (57%) dan jenis operasi yang digunakan yaitu palatoplasty (72,5%). Faktor penyebab yang tersering ialah faktor lingkungan (58%). Kasus palatoskisis unilateral sebanyak 52,5% sedangkan yang bilateral 2,5%. Simpulan: Di Bagian Ilmu Bedah Plastik RSUP Prof. Dr. R.D. Kandou Manado periode Januari-Desember 2011 sebagian besar kasus palatoskisis dan labiopalatoskisis ditemukan unilateral dengan lokasi defek terbanyak di bagian kiri. Jenis kelamin perempuan lebih sering ditemukan dan etiologi tersering yaitu faktor lingkungan. Kelompok usia yang tersering ditangani yaitu 1-4 tahun dan tindakan yang tersering digunakan ialah palatoplasty. Kata kunci: palatoskisis, labiopalatoskisis.