Rendahnya partisipasi berarti kelompok rentan dalam pembentukan Peraturan Daerah di Indonesia merupakan permasalahan struktural yang diperburuk oleh stigma sosial, sehingga membatasi akses dan representasi mereka dalam forum legislasi daerah. Penelitian ini berfokus pada empat kelompok rentan, yaitu masyarakat adat (Sedulur Sikep Samin), penyandang disabilitas (Forum Komunikasi Disabilitas Kudus), kelompok perempuan (Jaladara Collectiva), dan pekerja non-formal (Komunitas Grab Kudus). Penelitian ini menggunakan pendekatan sosio hukum , dengan metode analisis kualitatif melalui pendekatan kasus, perbandingan, dan konteks. Hasil penelitian menunjukkan hanya kelompok perempuan yang memenuhi prinsip partisipasi bermakna, sementara tiga kelompok lainnya masih mengalami partisipatif eksklusi akibat hambatan struktural, dan tidak adanya mekanisme representasi yang memadai. Untuk menjawab permasalahan tersebut, penulis mengonseptualisasikan pembentukan Badan Partisipasi Kelompok Rentan (BPKR) sebagai solusi kelembagaan. Konsep ideal BPKR mencakup dimensi substantif dengan dasar hukum yang kuat dan menjamin perlindungan kelompok rentan serta dimensi prosedural meliputi prinsip, fungsi, dan struktur kelembagaan BPKR. Penelitian ini menyarankan pembentukan BPKR sebagai alat kelengkapan DPRD yang bersifat permanen untuk memperkuat demokrasi deliberatif dan mencegah marginalisasi dalam legislasi daerah.