ABSTRAKPasal 156a KUHP yang dikategorikan “Tindak Pidana terhadap Agama“ (offenses againts religion), perlu reformulasi karena perumusan normanya masih terlalu umum dan multitafsir, yaitu kata “permusuhan, penyalahgunaan dan penodaan“. Sedangkan kata “agama“ sebagai kata benda hukum abstrak, perlu rincian yang menjadi objek penghinaan, yaitu Tuhan, Rasul, Nabi, Kristus, Awatara, atau tokoh-tokoh suci dari agama yang dianut di Indonesia, Kitab Suci atau ibadah keagamaan, seperti yang dirumuskan di Massachussets, Pakistan, dan Yunani. Pasal 156a, huruf (a) KUHP bisa direformulasikan menjadi beberapa pasal: (1) Tindak Pidana terhadap Agama secara umum (di beberapa negara disebut “Outrage to Religious Feeling and Insult to Religion“), yang objeknya perasaan keagamaan; dan (2) Tindak Pidana terhadap Agama yang objeknya langsung ditujukan langsung terhadap pokok-pokok ajaran agama (di beberapa negara disebut “Blasphemy“). Selain itu, dalam KUHP ada pasal-pasal yang dapat dikategorikan “Tindak Pidana terhadap Kehidupan Beragama“ (offenses related religion) , yaitu Pasal 175-177 ayat (1) dan (2) dan 503 ke-2, namun belum diatur tindak pidana Perusakan Bangunan Tempat Ibadah. Padahal secara sosiologis, kejahatan ini dari tahun ke tahun terus meningkat di Indonesia. Di beberapa negara sudah diatur tindak pidana perusakan tempat-tempat ibadah dan benda-benda sarana ibadah, antara lain India, Pakistan, dan Israel, bahkan kriminalisaisi atas perbuatan ini berakar pada budaya bangsa Indonesia sendiri, terbukti telah diatur dalam Canto 55 Undang-undang Ādigama Majapahit. Dari segi sanski, pasal-pasal yang digolongkan “tindak pidana terhadap kehidupaan beragama†dalam KUHP, apabila dibandingkan dengan negera-negara lain, tergolong sangat ringan, sehingga tidak lagi memenuhi rasa keadilan masyarakat. Berat atau ringannya sanksi yang diterapkan untuk Tindak Pidana ter-hadap Agama dan Kehidupan Beragama di beberapa negara, tidak dapat dilepaskan dengan filosofi masing-masing negara yang melatarbelakangi perumusan tindak pidana tersebut. Pada umumnya negara yang manganut teokrasi, seperti Pakistan, menjatuhkan pidana yang lebih berat dibandingkan dengan negara-negara sekuler. Untuk tindak pidana perusakan tempat Ibadah dan benda yang digunakan dalam beribadah, jenis sanksi ganti kerugian relevan diterapkan, khususnya ditinjau dari perspektif korban kejahatan. Meskipun RUU KUHP Konsep 2010 sudah mengatur tindak pidana perusakan tempat ibadah (Pasal 348), namun sanksinya belum memenuhi rasa keadilan, khususnya secara victimologis dari kepentingan korban kejahatan.Kata kunci: Kebijakan formulasi, Tindak Pidana terhadap Agama dan Kehidupan Beragama, Pembaruan KUHP Nasional.