Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

Persepsi Orang tua Mengenai Belajar dari Rumah dan Pendampingan Keluarga Kristen Selama Masa Pandemi Covid-19 Ezra Pradeksa Widyawan; J Priyanto Widodo; Tan Lie Lie
JURNAL TERUNA BHAKTI Vol 4, No 1: Agustus 2021
Publisher : SEKOLAH TINGGI AGAMA KRISTEN TERUNA BHAKTI

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47131/jtb.v4i1.77

Abstract

This research aims to describe the implementation of Learning from Home (BDR) based on the regulations of the Ministry of Education and Culture of the Republic of Indonesia, regarding parents' perception of the implementation of BDR and the implementation of Christian family assistance during the Covid19 pandemic. The type of research used is qualitative research. The results showed the impact of the Covid-19 pandemic, The government sets regulations related to learning, namely online learning. The results showed the impact of the Covid-19 pandemic, the government set regulations related to learning, namely online learning. Then parents' perception of BDR, online learning was done during the COVID-19 pandemic, students can use technological devices when learning from home, although many are still lazy to do tasks given by teachers and do not focus on learning. In terms of mentoring, many parents are unable to directly assist this because most parents work when BDR is done. The main factor that must be considered by the school in learning during the pandemic is cleanliness, school health facilities, implementation of health protocols, and schools/teachers being able to follow learning materials.AbstrakPenelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan pelaksanaan Belajar dari Rumah (BDR) berdasarkan peraturan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia, mengenai persepsi orang tua terhadap pelaksanaan BDR dan pelaksanaan pendampingan keluarga Kristiani di masa pandemi Covid19. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan dampak pandemi Covid-19, pemerintah menetapkan peraturan terkait pembelajaran yaitu pembelajaran online. Kemudian persepsi orang tua terhadap BDR, pembelajaran online dilakukan pada masa pandemi COVID-19, siswa dapat menggunakan perangkat teknologi saat belajar dari rumah, meskipun banyak yang masih malas mengerjakan tugas yang diberikan guru dan tidak fokus belajar. Dalam hal pendampingan, banyak orang tua yang tidak dapat mendampingi secara langsung hal ini dikarenakan sebagian besar orang tua bekerja saat dilakukan BDR. Faktor utama yang harus diperhatikan pihak sekolah dalam melakukan pembelajaran pada masa pandemi adalah tentang kebersihan, fasilitas kesehatan sekolah, menerapkan protokol kesehatan dan sekolah/guru mampu mengikuti materi pembelajaran. 
Prinsip-Prinsip Etika Kristiani Bermedia Sosial Simon Simon; Tan Lie Lie; Heppy Wenny Komaling
Danum Pambelum: Jurnal Teologi dan Musik Gereja Vol 1 No 1 (2021): DPJTMG: Mei
Publisher : Institut Agama Kristen Negeri Palangka Raya

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (282.623 KB) | DOI: 10.54170/dp.v1i1.36

Abstract

Indonesian netizens are often labeled as social media users at will without heeding politeness when interacting. This assessment is further confirmed by a survey conducted by Microsoft, that Medsos users are labeled as netizens with the worst politeness level for Southeast Asia scale. The predicate is certainly aimed at allreligius netizens without emphasizing certain beliefs. The low politeness indicates the lack of social media ethics applied by the people of the country. Ironically, Indonesia is known as areligius and civilized country, it seems invisible if you look at the behavior of netizens who are. The method used in this paper is descriptive qualitative method with a literature study approach. The description of this topic religion certainly teaches how politeness and politeness in the public space are displayed especially in social media, because politeness is an indikator we are called ethical or not. The principle of Christian ethics teaches that when using social media what a believer must do is not to do body shaming with other online media users, or not to comment racistically. Because God does not differentiate between fellow humans by loving one and not loving another just because humans are different physically, race or nation. The next principle of Christian ethics in social media is not to argue theologically and not to spit negative things. The goal is to avoid quarrels, let alone hate speech. Netizen Indonesia kerap di cap sebagai pengguna media sosial sesuka hati tanpa mengindahkan kesantunan ketika berinteraksi. Penilaian ini makin dipertegas melalui survei yang dilakukan oleh Microsoft, bahwa pengguna Medsos dilabeli sebagai netizen dengan tingkat kesopanan paling buruk untuk skala Asia Tenggara. Predikat itu tentu ditujukan kepada semua netizen yang beragama tanpa menitik-beratkan keyakinan tertentu. Rendahnya kesopanan menandakan kurangnya etika bermedia sosial diterapkan oleh masyarakat tanah air. Ironisnya, Indonesia yang di kenal sebagai negara yang religius dan beradab, hal itu seakan tidak terlihat bila melihat perilaku netizen yang bar-bar. Metode yang digunakan dalam tulisan ini adalah metode kualitatif deskriftif dengan pendekatan studi kepustakaan. Uraian dari topik ini agama tentu mengajarkan bagaimana kesopanan dan kesantunan di ruang publik ditampilkan terlebih dalam bermedia sosial, karena kesopanan itu merupakan indikator kita di sebut beretika atau tidak. Prinsip etika Kristiani mengajarkan bahwa ketika bermedia sosial yang harus dilakukan orang Kristen adalah tidak melakukanbody shaming kesesama pengguna media online, maupun tidak berkomentar secara rasis. Karena Allah tidak membeda-bedakan sesama manusia dengan mengasihi yang satu dan tidak mengasihi yang lain hanya karena manusia itu berbeda secara fisik, ras atau bangsa. Prinsip etika Kristiani berikutnya dalam bermedia sosial adalah tidak berdebat secara teologis dan tidak mengumbar hal negatif. Tujuannya agar tidak terjadi pertengkaran apalagi ujaran kebencian.
Kajian Alkitab Terhadap Fenomena Ibadah Metaverse Tjutjun Setiawan; Andreas Joswanto; Tan Lie Lie; Simon Simon
JURNAL LUXNOS Vol. 8 No. 2 (2022): LUXNOS: JURNAL SEKOLAH TINGGI TEOLOGI PELITA DUNIA EDISI DESEMBER 2022
Publisher : STT Pelita Dunia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47304/jl.v8i2.223

Abstract

Abstract: Metaverse offered a virtual world where each member could interact with one another without face-to-face. Metaverse digital technology has drawn the churches’ interest to utilize it as an option for virtual worship. The existence of metaverse in churches has gradually led to less interaction among believers. Was it true that metaverse made the church ministry easier? What does the Bible say about the metaverse? This research used a literature study in which the function of the church was studied and how it related to the metaverse, a virtual space device. The conclusion is that the digital technology of the metaverse could not always be used in Christian worship. Biblical facts assign the believers' meetings (face-to-face) as an option and priority in communion. The Bible does not reject digital developments but requires believers and church leaders to be critical and wise in facing technological developments to improve the ministry and not to take people away from God and fellow believers because of technological devices. Abstrak: Metaverse menyajikan sebuah dunia virtual di mana setiap anggota dapat saling berinteraksi tanpa harus melakukan tatap muka secara langsung. Teknologi digital metaverse sudah mulai diminati gereja untuk digunakan sebagai opsi dalam melakukan ibadah virtual. Kehadiran metaverse dalam gereja secara perlahan menyebabkan berkurangnya interaksi bagi sesama orang percaya. Benarkah metaverse memudahkan pelayanan gereja? Bagaimana kajian Alkitab terhadap metaverse? Penelitian ini menggunakan metode studi pustaka di mana fungsi gereja dikaji dan bagaimana relevansinya dengan perangkat ruang virtual metaverse. Kesimpulan yang didapat bahwa tidak selalu teknologi digital metaverse dapat dipergunakan dalam hal ibadah Kristiani. Fakta Alkitab menempatkan pertemuan-pertemuan orang percaya (tatap muka) sebagai opsi dan prioritas dalam suatu persekutuan. Alkitab tidak menolak perkembangan digital, namun menuntut orang percaya dan pimpinan gereja untuk bersikap kristis dan bijak dalam menghadapi perkembangan teknologi agar dapat memajukan pelayanan, bukan sebaliknya membawa manusia menjauh dari Allah dan sesama karena perangkat teknologi.