Sukimin Sukimin
Universitas Semarang

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

SISTEM NOKEN DI PROVINSI PAPUA: STUDI PUTUSAN MK NO 47-81/PHPU.A-VII/2009 Tri Mulyani; Albertus Heru Nuswanto; Sukimin Sukimin
Jurnal Ius Constituendum Vol 5, No 1 (2020): APRIL
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/jic.v5i1.2133

Abstract

Tujuan dalam penulisan artikel ini adalah untuk menganalisis dasar pertimbangan hukum hakim MK dalam Putusan MK No. 47-81/PHPU.A-VII/2009 terkait dengan legitimasi sistem noken di Provinsi Papua, berserta implikasinya. Tujuan ini didasari kenyataan bahwa sistem pemilu di Indonesia dilaksanakan berdasarkan demokrasi Pancasila, dengan asas Luber-Jurdil, namun jika ada satu daerah yang melaksanakan berbeda dengan daerah lainnya, maka akan menimbulkan pro dan kontra di masyarakat, yaitu di Provinsi Papua, dengan menggunakan sistem noken, hingga berujung sengketa pemilu di Mahkamah Konstitusi. Metode yang dipergunakan adalah yuridis normatif, dengan analisis data kualitatif. Hasil analisa menunjukkan bahwa dasar pertimbangan hukum hakim konstitusi dalam Putusan MK No 47-81/PHPU.A-VII/2009 terkait dengan legitimasi sistem Noken Di Provinsi Papua merujuk pendapat Bagir Manan bahwa dalam setiap putusan, wajib mengandung unsur yuridis, sosiologis dan filosofis tidak terpenuhi, salah satunya adalah unsur yuridis, yaitu mengenai tata cara pelaksanaan pemilu dengan sistem Noken sebagai pengganti kotak suara dan pengambilan suara secara transparan dengan prosedur musyawarah dan kemudian menyerahkan segala putusan kepada kepala suku, tidak sesuai dengan sistem pemilu nasional yang tata caranya didasarkan pada Pasal 22E Ayat (1) UUD NRI Tahun 1945 yaitu Pemilu dilaksanakan secara Luber-Jurdil. Unsur sosiologis dapat terlihat pada kenyataan bahwa pemerintah memberikan perlindungan dan penghormatan sebagai daerah istemewa dan memberikan legitimasi sistem noken. Secara filosofis tercermin pada saat Mahkamah Konstitusi mengesampingkan peraturan tertulis demi menegakkan keadilan bagi masyarakat hukum adat yang masih hidup di wilayah pegunungan. Adapun implikasinya bahwa putusan MK, adalah sah dan bersifat erga omnes, sehingga secara nasional, akan tetap hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat adat Papua.
REPOSISI KEWENANGAN KEJAKSAAN DALAM MELAKUKAN PENEGAKAN TINDAK PIDANA KORUPSI DAN MALADMINISTRASI PEMERINTAHAN Izzudin Arsalan; Muhammad Junaidi; Sukimin Sukimin; Kukuh Sudarmanto
JURNAL USM LAW REVIEW Vol 4, No 2 (2021): NOVEMBER
Publisher : Universitas Semarang

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26623/julr.v4i2.4248

Abstract

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk memahami kewenangan  kejaksaan dalam melakukan pencegahan tindak pidana korupsi dan maladministrasi pemerintahan dalam kajian MoU Kemendagri, Kejaksaan dan Kepolisian. Munculnya MoU antara Kemendagri, Kejaksaan dan Kepolisian pada tahun 2018 menimbulkan probelematika hukum dikarenakan penegakan tindak pidana korupsi yang seharusnya di atur dalam norma hukum positif justru di atur dalam MoU atau Memorandum of Understanding sehingga menimbulkan permasalahan pada tahap pelaksanaannya. Urgensi dalam artikel ini untuk mengembalikan kedudukan kejaksaan dalam sudut apndang regulasi hukum yang seharusnya, semenjak lahirnya MoU tersebut Kejaksaan menjadi tersandera dalam lekukan penanganan kasus tindak pidana korupsi, dimana terduga tindak pidana korupsi yang mengembalikan kerugian uang negara kepada BPKAD, Inspektorat dan APIP dianggap pertanggung jawaban pidananya hilang, hal tersebut sangat bertentangan dengan Pasal 2, 3 dan 4 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi. Dimana pengembalian kerugian keuangan negara hanya dapat meringankan sangsi pidana bagi terdakwa. Metode Penelitian ini menggunakan yuridis normatif. Kebaruan penelitian ini terletak pada penyimpangan penegakan tindak pidana korupsi yang dijalankan oleh kejaksaan sejak lahirnya MoU antara Kemendagri, Kejaksaan dan Kepolisian harus segera dihentikan dengan langkah Kejaksaan menarik diri dari MoU tersebut dan dalam melaksanakan tugas penanganan tindak pidana korupsi kejaksaan berjalan sesuai norma hukum positif yang di atur dalam  Undang-undang nomor 16 tahun 2004 tentang kejaksaan dan diperkuat kembali dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981, Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001, Undang-undang Nomor16 Tahun 2004, Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983, Peraturan Presiden RI Nomor 38 Tahun 2010 dan PERJA Nomor PER. 009/A/JA/2011, PERJA-039/A/JA/2010.
Konsep Mediasi Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha Negara Berbasiskan Nilai Keadilan Pancasila Tri Mulyani; Sukimin Sukimin; Wahyu Satria Wana Putra Wijaya
Jurnal Ilmiah Galuh Justisi Vol 10, No 1 (2022): Jurnal Ilmiah Galuh Justisi
Publisher : Universitas Galuh

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.25157/justisi.v10i1.5773

Abstract

Penyelesaian perkara tata usaha negara dengan cepat dan damai senada dengan dasar negara Pancasila sangat didambakan para pencari keadilan, sehingga  tujuan dalam penelitian ini adalah menganalisis mendiskripsikan tentang kelemahan prosedur penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara, konsep mediasi dalam penyelesaian sengketa tata usaha, dan pengaturan konsep mediasi dalam penyelesaian sengekta tata usaha negara berbasiskan nilai Keadilan Pancasila.  Metode penelitian yang dipergunakan diantaranya adalah jenis penelitian yaitu yuridis normatif, dengan analis data secara kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kelemahan prosedur penyelesaian sengketa Tata Usaha Negara dapat dilihat dari tiga aspek, pertama, aspek struktur hukum diantaranya subyektivitas hakim dan ketidakmampuan pengacara; kedua, aspek substansi hukum, bahwa prosedur penyelesaian sengketa tata usaha negara saat ini, kurang efektif, sehingga banyak menyebabkan sisa perkara, lamanya waktu penyelesaian sengketa yang berdampak mahalnya biaya perkara yang harus dikeluarkan; ketiga, aspek budaya hukum, yaitu bahwa budaya yang tidak bisa hilang hingga saat ini adalah para pihak yang bersengketa kurang kooperatif dalam memberikan penjelasan dan memberikan alat bukti atau memberikan alat bukti yang tidak berkaitan dengan substansi perkara yang sedang dipersengketakan. Konsep mediasi dapat dipergunakan dalam penyelesaian sengketa tata usaha, dengan melihat karakteristik sengketa tata usaha negara itu sendiri, melihat obyek sengketa dalam alternatif penyelesaian sengketa dan berpegang pada ajaran perbuatan melawan hukum dan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1991. Pengaturan konsep mediasi dalam penyelesaian sengekta tata usaha negara berbasiskan nilai Keadilan Pancasila yang tepat adalah setelah acara pemeriksaan pendahuluan