Nalendra Pradipto
Universitas Airlangga

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Fungsi Jaminan Sebagai Penentu Credit Scoring Dalam Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi Nalendra Pradipto
Jurist-Diction Vol. 4 No. 5 (2021): Volume 4 No. 5, September 2021
Publisher : Faculty of Law, Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/jd.v4i5.29823

Abstract

AbstractThe growth of information technology or commonly referred to as Industrial Revolution 4.0 has given birth to a new idea namely Money Lending and Borrowing Services based on Information Technology. Peer to Peer Lending (P2P) Lending is a service that is much in demand by the public. The majority of P2P Lending financial technology providers do not require collateral. With this condition, OJK has issued a special regulation, namely POJK No. 77 / POJK.01 / 2016 concerning Money Lending and Borrowing Services based on Information Technology. Article 21 POJK No.77 / POJK.01/2016 states that the Operator is required to manage credit risk and operational risk. One risk management undertaken by the Provider is to use Credit Scoring to classify Debtors into certain risk grades. However, because the majority of P2P Lending does not require a material guarantee, the Credit Scoring factor other than collateral becomes very important. In practice, the Operator is often less selective about the classification of Debtors in Credit Scoring, resulting in many defaults.Keywords: Peer to Peer Lending; Financial Technology; Credit Scoring; Risk Grade.AbstrakPerkembangan teknologi informasi informasi atau yang biasa disebut dengan Revolusi Industri 4.0 telah melahirkan gagasan baru yaitu Layanan Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Peer to Peer Lending (P2P) Lending menjadi layanan yang banyak diminati oleh masyarakat. Dari beragam Penyelenggara teknologi finansial P2P Lending mayoritas tidak mensyaratkan adanya jaminan kebendaan. Dengan adanya kondisi tersebut OJK telah mengeluarkan aturan khusus yaitu POJK No. 77/POJK.01/2016 tentang Layanan Pinjam Meminjam Uang Berbasis Teknologi Informasi. Pasal 21 POJK No.77/POJK.01/2016 menyatakan Penyelenggara wajib melakukan manajemen risiko kredit dan risiko operasional. Salah satu manajemen risiko yang dilakukan Penyelenggara adalah menggunakan Credit Scoring untuk mengklasifikasi Debitor ke dalam risk grade tertentu. Meskipun demikian karena mayoritas P2P Lending tidak mensyaratkan adanya jaminan kebendaan, maka faktor Credit Scoring selain jaminan menjadi sangat penting. Pada prakteknya Penyelenggara seringkali kurang selektif terhadap klasifikasi Debitor dalam Credit Scoring sehingga banyak terjadi wanprestasi. Kata Kunci: Peer to Peer Lending; Teknologi Finansial; Credit Scoring; Risk Grade.
Upaya Keberatan atas Putusan KPPU ke Pengadilan Niaga: Pembaharuan Berkepastian Hukum Fairuz Zahirah Zihni Hamdan; Suseno Suseno; Anjas Putra Pramudito; Nalendra Pradipto
Media Iuris Vol. 6 No. 1 (2023): MEDIA IURIS
Publisher : Universitas Airlangga

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20473/mi.v6i1.26393

Abstract

AbstractLegal reform has been implemented in the formation of legislation in Indonesia, namely the Copyright Work Law with the omnibus model. Various laws are made into one in the Copyright Act, including the matter of business competition. The new provisions in the Copyright Act that cause controversy are related to the accuracy of the chosen legal domain to be used as a solution in the case of business competition. The shift of authority from the District Court to the Commercial Court to handle the objections to the KPPU ruling raises pros and cons related to the legal certainty resulting from the process of handling the case. Legal research conducted here aims to explain the facts of the applicable law. The results showed that the handling of objections to the decision of KPPU which became the authority of the Commercial Court based on the Copyright Work Law is the right thing. This is because the Commercial Court is a special court of the general judiciary whose judges are more competent in business matters. Besides, this transfer of authority provides legal certainty to the parties to the dispute because the Commercial Court, in this case, is a judicial institution that has the authority to examine, decide, and adjudicate cases following absolute competence and relative competence, and the judge in it acts as judex facti. AbstrakPembaharuan hukum telah dilaksanakan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan di Indonesia, yaitu UU Cipta Kerja dengan model Omnibus. Berbagai undang-undang dijadikan satu di dalam UU Cipta Kerja, termasuk perihal perkara persaingan usaha. Ketentuan baru dalam UU Cipta Kerja yang menimbulkan kontroversi adalah terkait ketepatan ranah hukum yang dipilih untuk dijadikan solusi dalam perkara persaingan usaha. Pergeseran kewenangan dari Pengadilan Negeri ke Pengadilan Niaga untuk menangani upaya keberatan atas putusan KPPU menimbulkan pro dan kontra berkaitan dengan kepastian hukum yang dihasilkan dari proses penanganan perkara tersebut. Penelitian hukum yang dilakukan disini bertujuan untuk memberikan penjabaran terkait fakta hukum yang telah berlaku. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penanganan upaya keberatan atas putusan KPPU yang menjadi kewenangan Pengadilan Niaga berdasarkan UU Cipta Kerja adalah hal yang tepat. Hal tersebut dikarenakan Pengadilan Niaga merupakan pengadilan khusus dari peradilan umum yang para hakimnya lebih berkompeten dalam perkara perniagaan. Selain itu peralihan kewenangan ini memberikan kepastian hukum kepada para pihak bersengketa karena Pengadilan Niaga dalam hal ini merupakan lembaga peradilan yang memiliki kewenangan memeriksa, memutus, dan mengadili perkara sesuai kompetensi absolut dan kompetensi relatifnya, dan hakim di dalamnya berperan sebagai judex facti.