Ekwasita Rini Pribadi
Balai Peneltian Tanaman Obat dan Aromatik

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

TANGGAP PETANI DAN KELAYAKAN PENGEMBANGAN BENIH NILAM HASIL KULTUR JARINGAN Pribadi, Ekwasita Rini; ., Sujianto
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 24, No 1 (2013): Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
Publisher : Balittro

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

ABSTRAKPenelitian tanggap petani dan kelayakan benih nilam hasil kultur jaringan dilakukan dengan demplot di kebun petani Kecamatan Cibeurem, Kuningan, Jawa Barat sejak Januari sampai Juni 2011. Rancangan acak kelompok (RAK) terdiri atas dua perlakuan (1) Benih hasil kultur jaringan dan (2) Benih setek pucuk (konvensional) masing-masing diulang 10 kali dengan 50 tanaman per petak, jarak tanam 100 cm x 50 cm, dengan jenis dan dosis pupuk sesuai anjuran. Data tanggap petani dikumpulkan melalui wawancara menggunakan kuesioner terstruktur kepada 18 orang anggota kelompok tani nilam Pendil Cisusu, Kecamatan Cibeureum. Kelayakan teknologi benih nilam hasil kultur jaringan diukur berdasarkan produksi terna basah dan kering per satuan luas, efisiensi ekonomis berdasarkan (1) pendapatan per satuan luas, (2) rasio antara pendapatan bersih dan pendapatan kotor, serta efisiensi alokatif (harga) berdasarkan rasio antara biaya operasional dan pendapatan kotor. Hasil penelitian menunjukkan petani responden tanggap terhadap benih hasil kultur jaringan karena vigor tanaman, ketahanan terhadap hama dan penyakit, serta produksi terna yang lebih baik. Analisis efisiensi teknis menunjukkan bahwa budidaya menggunakan benih nilam hasil kultur jaringan lebih efisien karena menghasilkan terna basah untuk tiga kali panen tahun-1 (4.927 kg 1.000 m2-1) dan terna kering (1.205 kg 1.000 m2-1) lebih tinggi dari pada budidaya petani, dan lebih efisien dalam alokasi input (harga), yaitu pada produk terna basah 66,67% dan terna kering 69,90%. Walaupun demikian harga benih kultur jaringan (Rp.796,- polibag-1) lebih mahal dari harga benih petani (Rp 550,- polibag-1).Kata kunci: Pogostemon cablin, tanggap petani, benih kultur jaringan, kelayakan usaha
Pasokan dan Permintaan Tanaman Obat Indonesia Serta Arah Penelitian dan Pengembangannya PRIBADI, EKWASITA RINI
Perspektif Vol 8, No 1 (2009): Juni 2009
Publisher : Puslitbang Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (686.42 KB) | DOI: 10.21082/p.v8n1.2009.%p

Abstract

ABSTRAKDi Indonesia, terdapat sekitar 31 jenis tanaman obat digunakan sebagai    bahan baku industri obat tradisional (jamu), industri non jamu, dan bumbu, serta untuk kebutuhan ekspor, dengan volume permintaan lebih dari 1.000 ton/tahun.  Pasokan bahan baku   tanaman   obat   tersebut   berasal   dari   hasil budidaya (18 jenis) dan penambangan (13 jenis).  Oleh karena itu, perlu usaha yang lebih intensif supaya pasokan bahan baku tanaman obat dapat terpenuhi, terutama tanaman obat yang masih ditambang dari habitat alaminya.  Berdasarkan data neraca pasokan dan permintaan, serta teknologi yang tersedia, arah kebijakan pengembangan dan penelitian tanaman obat  bagi menjadi 4 kelompok.  Pertama, untuk kelompok tanaman obat yang telah dibudidayakan dalam skala luas, seperti jahe, maka prioritasnya adalah penelitian untuk   pengendalian   penyakit layu  bakteri yang disebabkan oleh Raltsonia solanacearum.Untuk tanaman obat yang masih memungkinkan dikembangkan areal budidayanya, seperti temulawak (Curcuma xanthorrhiza) dan lempuyang wangi (Zingiiber aromaticum),   prioritasnya   adalah   penelitian   untuk menghasilkan varietas unggul dan teknologi budidaya untuk   meningkatkan   produksi   dan   bahan   aktif. Sedangkan  untuk  tanaman  obat  lainnya,  prioritas penelitian  ditujukan  pada  diversifikasi  vertikal  dan horizontal.    Kedua,  untuk  menunjang  kemandirian pasokan  tanaman  obat  budidaya  yang  diusahakan dalam skala sempit, seperti ketumbar, adas, dan cabe jawa,    prioritas  penelitian  adalah  penelitian  untuk mendapatkan  varietas  unggul  dan  teknik  budidaya Ketiga, untuk tanaman obat yang masih ditambang dari habitat alami dan permintaannya cukup besar, seperti beluntas, majakan, kunci pepet, seprantu, dan brotowali, maka prioritas penelitian diarahkan pada domestikasi,   benih   unggul,   cara   bercocok   tanam, pemupukan  dan  pengendalian hama  dan  penyakit. Keempat,  untuk  tanaman  obat  yang  sudah langka, seperti kedawung, pulasari, pulai, bidara putih, bidara laut, bangle, temu giring, dan joho keling, prioritas penelitiannya adalah penangkaran, penentuan kesesuaian lingkungan tumbuh dan teknologi budidaya.Kata kunci : Tanaman obat, pasokan, permintaan, pengembangan, penelitian ABSTRACTStatus of Supply and Demand of Indonesian Medicinal Crops and Their Research and Development PrioritiesThere are 31 medicinal crops of Indonesia that are demanded more than 1.000 tones/year for traditional medicine (jamu)  industry, spices and export.  Some of these crops (18 species) are cultivated  and the others (13 species) are harvested directly from their natural habitat, such as forest.  Therefore, the intensive effort to supply the demand of the raw material of medicinal plants is needed, especially the medicinal plants which were still harvested from their natural habitat. Based on the supply and demand data, as well as current available   cultivation   technologies,   research   and development strategy of medicinal crops in Indonesia can be grouped in 4 classifications.  First, for those medicinal crops which are used in large scale, such as ginger, the research priority is to find effective contro measure   of   bacterial   wilt   caused   by   Raltsonia solanacearum.    However,  for  those  which  can  be expanded, such as Curcuma xanthorrhiza (temulawak) and  Zingiiber  aromaticum (lempunyang  wangi),  the research  priority  should  be  focused  on  developing high-yielding varieties and cultivation technology for improving yield and lead compounds of the plants. For other crops within this group, diversification of secondary products need to be intensified.  Second, to sustain the supply of medicinal crops that grow in small-scale areas, such as coriander, fennel, and long pepper, research on crop improvement and cultivation technologies  must  be  intensified.  Third,  medicinal plants which are harvested directly from their natural habitat in large scale, such as Pluchea indica (beluntas), Querqus   lusitania (majakan),   Kaempferia   angustifolia (kunci   pepet),   Sindora   sumatrana (seprant)u,   and Tinospora tuberculata (brotowali), domestication of these crops should be carried out to fulfill the demand of raw materials, supported by studies on improving plant breeding and their cultivation technologies.  Finally, the endanger medicinal plants  such as Parkia roxburghii (kedawung,  Alyxia  reinwardti  (pulasari), Alstonia scholaris (pulai),  Merremia  mammosa (bidara  putih), Strychnos  lucida  (bidara  laut), Zingiber cassumunar (bangle), Curcuma heyneana (temu giring), and Terminalia arbereae (joho keling), the research priority is conservation,  finding  site-specific  location  for  their growth, and cultivation technology.Key words: Medicinal crops, supply, demand, research, development
KAJIAN EKONOMI BUDIDAYA ORGANIK DAN KONVENSIONAL PADA 3 NOMOR HARAPAN TEMULAWAK (Curcuma xanthorhiza Roxb) Pribadi, Ekwasita Rini; Rahardjo, Mono
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 18, No 1 (2007): BULETIN PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bullittro.v18n1.2007.%p

Abstract

Semua varietas tanaman mempunyai spesifik karakter terhadap adaptasi lingkungan tumbuh dan input yang diberikan dan akan ber-pengaruh terhadap produksi serta pendapatan usahatani. Tujuan penelitian ini mengkaji nilai ekonomi budidaya organik dan konvensional dari tiga nomor harapan temulawak. Informasi ini diharapkan akan menjadi acuan dalam pe-ngembangan budidaya temulawak. Percobaan menggunakan Rancangan Petak Terbagi dan diulang 4 kali. Petak utama terdiri dari dua pa-ket pemupukan; 1) budidaya organik dan 2) bu-didaya konvensional. Sedangkan anak petak terdiri dari 3 nomor harapan temulawak yaitu, Balittro 1, Balittro 2, dan Balittro 3. Penelitian dilaksanakan di Kebun Percobaan (KP) Suka-mulya, sejak Agustus 2005 sampai Oktober 2006. Ukuran petak percobaan 30 m2, dengan jarak tanam 75 cm x 50 cm dan setiap petak terdapat 80 tanaman. Paket budidaya organik terdiri dari; bokashi 10 t/ha, pupuk bio 90 kg/ ha, zeolit 300 kg/ha, dan pupuk fosfat alam 300 kg/ha, sedangkan paket budidaya konvensio-nal; pupuk kandang kotoran sapi 20 t/ha, urea 200 kg/ha, SP-36 200 kg/ha, KCl 200 kg/ha. Data yang dikumpulkan adalah input-output dari setiap paket percobaan, data dianalisis se-cara deskriptif dan kelayakan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan : (1) Produksi rimpang segar dan simplisia temulawak pada budidaya konvensional lebih tinggi dibandingkan dengan produksi budidaya organik. (2) Produktivitas temulawak budidaya organik 15,20 – 17,83 ton/ha, produksi tertinggi pada nomor harapan Balittro 3 (17,83 ton/ha rimpang dan 3,57 ton/ ha simplisia). Produksi rimpang segar dan sim-plisia temulawak pada budidaya konvensional masing-masing berkisar 19,64 – 22,31 ton/ha dan 3,93 – 4,46 ton/ha, produksi tertinggi dica-pai nomor harapan Balittro 2. (3) pada harga jual Rp 1.500,-/kg rimpang, budidaya organik tidak layak diusahakan pada semua nomor ha-rapan temulawak Balittro 1, 2, dan 3. (4) Har-ga pokok temulawak budidaya organik adalah Rp 1.726,-/kg untuk rimpang, Rp 19.805,-/kg untuk simplisia, dan Rp 163.179,-/kg untuk ekstrak. Sedangkan pada budidaya konvensio-nal, harga pokok Rp 1.471,-/kg untuk rim-pang, Rp 18.531,-/kg simplisia, dan Rp 155.046,-/kg ekstrak, (5) dengan harga jual Rp 1.500,-/kg rimpang, budidaya konvensio-nal pada nomor harapan Balittro 2 dan 3, la-yak diusahakan, dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan masing-masing Rp 228.750,- dan 78.750,- dengan B/C rasio 1,073 dan 1,026, (6) bila diproduksi dalam bentuk sim-plisia dan ekstrak dengan harga jual Rp 20.000,-/kg dan Rp 174.000,-/kg budidaya or-ganik nomor harapan Balittro 1 dan 2, serta budidaya konvensional nomor harapan Balit-tro 1, 2, dan3 layak diusahakan. Pendapatan tertinggi dari budidaya konvensional nomor harapan Balittro 2 dengan pendapatan bersih per 1.000 m2 lahan sebesar Rp 819.965,- dan B/C rasio 1,101 untuk simplisia dan Rp 2.747.516,- dan B/C rasio 1,226 untuk rim-pang. 
ANALISIS TITIK IMPAS HARGA DAN SISTIM PEMASARAN PADA INDUSTRI MINYAK BUAH MERAH (Pandanus conoideus LAMK) Yuhono, JT.; Pribadi, Ekwasita Rini
Buletin Penelitian Tanaman Rempah dan Obat Vol 18, No 2 (2007): BULETIN PENELITIAN TANAMAN REMPAH DAN OBAT
Publisher : Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.21082/bullittro.v18n2.2007.%p

Abstract

Permasalahan utama dalam industri minyak buah merah (Pandanus conoideus Lamk) adalah harga jual yang sangat tinggi, berkisar antara Rp 300.000,- sampai dengan  Rp 1.000.000,- per liter, dan sistem pemasaran-nya yang kurang efisien. Padahal harga bahan bakunya cukup murah, sedangkan jumlah lem-baga tataniaga yang terlibat relatif sedikit. Un-tuk mengetahui besarnya biaya yang dibutuh-kan memproduksi satu liter minyak buah merah dan kendala dalam pemasarannya dilakukan penelitian, berjudul : ”Analisis titik impas dan sistem pemasaran pada industri minyak buah merah (Pandanus conoideus Lamk)”. Peneli-tian dilakukan di daerah sentra industri peng-olahan di Kecamatan Sentani Kabupaten Jaya-pura dan Kecamatan Wamena, Kabupaten Jayawijaya, Propinsi Papua, sejak Januari 2006 sampai dengan Desember 2006. Tujuan pene-litian untuk mengetahui titik impas harga yang terjadi pada pengolahan setiap liter minyak buah merah, dan efisiensi sistem pemasaran-nya. Penelitian menggunakan metode survey. Penentuan responden industri dan petani diten-tukan secara sengaja (purposive sampling). Untuk mengetahui harga pokok proses satu liter minyak buah merah digunakan analisis titik impas, sedangkan untuk mengetahui efi-siensi sistem pemasarannya digunakan analisis margin pemasaran dan analisis deskriptif kualitatif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk memproses atau menghasilkan satu liter minyak buah merah, hanya dibutuhkan biaya sebesar Rp 107.810,-. Nilai tersebut jauh lebih murah bila dibandingkan dengan harga jual yang terjadi di pasaran umum. Selain itu sistem pemasarannya dinilai kurang efisien, bagian harga yang diterima petani pengolah minyak buah merah hanya sebesar 35,42 % dari harga jual pedagang antar pulau, dan bagian harga yang diterima pedagang tingkat kecamatan hanya 50% dari harga jual pedagang antar pulau. Salah satu upaya untuk meningkatkan bagian harga yang diterima petani adalah dengan cara memutus salah satu pedagang tingkat kecamatan atau menjual langsung ke pedagang tingkat kabupaten.