Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Legitimasi Hukum Pemberlakuan Syari’at Islam di Aceh: Tinjauan Yuridis, Sosiologis dan Filosofis M Jafar
Ulumuna Vol 19 No 1 (2015): June
Publisher : Universitas Islam Negeri Mataram

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.20414/ujis.v19i1.1250

Abstract

The glory of Aceh Darussalam Kingdom in the past cannot be separated from the complete application of Islamic Sharia (kāffah) as the way of life in Aceh. Reflecting the historical past, the implementation of Sharia in Aceh in the present context is absolutely necessary. However, today's enforcement must refer to the three foundations, namely judicial, sociological, and philosophical. The most fundamental of juridical basis is the Constitution of 1945 (UUD 1945) Chapter XI on Religion and paragraph 2 of Article 29, new amendment of Article 18A paragraph 1 and Article 18B paragraph 1. The implementing of Sharia law in Aceh began with the birth law No. 44/1999 regarding the Implementation Features Special of Aceh Province, then refined by law No. 18/2001 on Special Autonomy for Aceh Province as Nanggroe Aceh Darussalam province. Then it is continued by the Law Number 11/2006 on the Governing of Aceh (UUPA). The sociological ground is majority Muslim of Acehnese can receive all the products based on Islamic Sharia law. The philosophical foundation, Islamic law, should be enforced based on the Qur'an and Hadith recommended preserving religion, life, property, lineage, and resourceful. DOI: http://dx.doi.org/10.20414/ujis.v19i1.1250
Kepemilikan Mahar dalam Adat Masyarakat Aceh Menurut Tinjauan Usul Fikih (Analisis Berdasarkan Teori 'Urf) M Jafar
Al-Manahij: Jurnal Kajian Hukum Islam Vol 9 No 1 (2015)
Publisher : Sharia Faculty of State Islamic University of Prof. K.H. Saifuddin Zuhri, Purwokerto

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2785.913 KB) | DOI: 10.24090/mnh.v9i1.512

Abstract

Mahar yang diserahkan pihak keluarga calon mempelai laki-laki pada hari akad nikah di sebagian komunitas masyarakat Aceh dikuasai sepenuhnya oleh pihak keluarga (orangtua) mempelai perempuan dan digunakan sebagai bekal berbelanja untuk keperluan mempelai perempuan itu sendiri. Penggunaan mahar atau mas kawin sebagai bekal untuk berbelanja keperluan-keperluan tersebut biasanya tanpa sepengetahuan mempelai perempuan. Setelah menganalisis berbagai macam sumber, penulis berkesimpulan bahwa masyarakat Aceh sangat menghormati adat istiadat yang sudah mengakar dalam sendi-sendi kehidupan. Adat yang dapat dipertahankan sebagai suatu bagian dari produk hukum adalah yang tidak bertentangan dengan hukum syariat. Selanjutnya, menurut pandangan ulama-ulama mazhab, seorang ayah atau wali lainnya tidak boleh menguasai mahar putrinya atau mahar mempelai perempuan yang dimanfaatkan untuk keperluan atau kepentingan apapun, kecuali menurut ulama mazhab Maliki dan Hanbali. Dasar filosofi mereka masing-masing adalah ayat Alquran dan hadis-hadis Rasulullah saw. Berdasarkan teori 'urf, kebiasaan (adat) yang berlaku pada sebagian masyarakat Aceh dalam hal penguasaan mahar oleh orangtua atau keluarga dengan memanfaatkannya untuk berbelanja kebutuhan resepsi pernikahan termasuk ke dalam kategori 'urf khas. Kemudian 'urf khas tersebut termasuk dalam kategori 'urf fasid ('urf batal) karena bertentangan dengan ketentuan hukum syariat sebagaimana yang telah ditetapkan oleh ulama-ulama fiqh dalam berbagai mazhab, kecuali dalam mazhab Maliki dan Hanbali.