Perkembangan pesat di bidang hukum dan kedokteran di Indonesia menyebabkan wacana akan hukuman pidana berbasis medis tak dapat dikekang lagi. Misalnya injeksi letal, yang dinilai memiliki letalitas tinggi dan bahkan dianggap meminimalisasi penderitaan terpidana, dinilai lebih baik dan etis dibandingkan alternatif eksekusi konvensional seperti hukuman tembak mati. Namun, secara teknis pelaksanaan tindakan pro justitia ini memunculkan dilema etik bagi profesi kedokteran jika tindakan ini mencederai, membuat cacat baik permanen maupun sementara, ataupun menyebabkan kematian bagi terpidana. Di satu sisi, profesi kedokteran senantiasa harus setia pada karakternya yang mengedepankan kemanusiaan dan berorientasi menyembuhkan manusia. Di sisi lain, menyerahkan suatu tindakan kedokteran pro justitia kepada selain dokter, berpotensi merugikan terpidana karena tindakan tersebut tidak dilakukan secara profesional. Dilema etik ini secara umum perlu diatur dalam fatwa etik profesi kedokteran, yang mana merupakan wewenang Majelis Kehormatan Etik Kedokteran (MKEK). Dalam pelaksanaannya, hal ini perlu dimusyawarahkan seluruh pihak yang berkepentingan, termasuk eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang akan menarasikan bentuk eksekusi hukuman tersebut.