Hartatik Hartatik
Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Published : 10 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 10 Documents
Search

RELIGI DAN PERALATAN TRADISIONAL SUKU DAYAK MERATUS DI KOTABARU, KALIMANTAN SELATAN Hartatik Hartatik
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 1 No. 1 (2015): Kindai Etam
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (583.561 KB) | DOI: 10.24832/ke.v1i1.4

Abstract

Suku Dayak penghuni sisi timur Pegunungan Meratus yang dikaji dalam penelitian ini berada dalam wilayahKecamatan Kelumpang Hulu, Hampang, Kelumpang Barat, dan Sungai Durian di wilayah Kabupaten Kotabaru. Mereka tinggal di antara lembah dan tepian sungai dalam jarak yang berjauhan. Dayak Meratus cukup unik karena sebagai suku Dayak, mereka berbahasa Banjar. Sebagian dari mereka masih menganut kepercayaan leluhur, sebagian telah menganut agama baru. Penelitian ini diawali dari permasalahan bagaimana konsep religi dan peralatan tradisional suku Dayak Meratus serta kesinambungannya dengan masa prasejarah. Adapun tujuan penelitian ini adalah membuat model penelitian etnoarkeologi untuk diterapkan pada lingkungan dan sistem budaya yang sama atau hampir sama sesuai dengan syarat analogi, dengan tujuan lebih jauh adalah sebagai data bantu dalam menganalisis dan interpretasikan aspek religi daritemuan situs prasejarah di wilayah Pegunungan Meratus. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif komparatif dengan pendekatan etnoarkeologi, sedangkan teknik pengambilan data dilakukan dengan metode survei dan wawancara.Hasil penelitian menunjukkan bahwa di sepanjang Pegunungan Meratus sisi timur berdiam beberapa jenis subsuku, yaitu Dayak Banjar, Dayak Meratus atau Dayak Bukit, serta Dayak Dusun. Ketiganya mempunyai konsep religi dan peralatan upacara yang hampir sama, sehingga digeneralisasi sebagai Dayak Meratus. Ada kesinambungan konsep kepercayaanDayak Meratus dengan konsep kepercayaan prasejarah, yaitu pemujaan roh leluhur dan penggunaan bekal kubur dalam upacara kematian. Sebagian besar peralatan upacara terbuat dari dedaunan, kayu, dan bambu yang cepat hancur,sebagian kecil terbuat dari logam dan keramik.
KETERBATASAN DATA DALAM PENELITIAN ARKEOLOGI: EVALUASI PADA PENELITIAN VERIFIKASI CAGAR BUDAYA DI KABUPATEN BANJAR Hartatik Hartatik
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 3 No. 1 (2017): Kindai Etam
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (560.037 KB) | DOI: 10.24832/ke.v3i1.15

Abstract

Arkeologi identik dengan budaya bendawi kuno yang terdiri atas artefak, ekofak, fitur serta bentang lahan tempat data arkeologi berada. Dalam beberapa situs, seringkali data artefaktual dan kontekstual banyak yang tidak utuh lagi atau bahkan hilang. Beberapa data arkeologi yang sudah didaftar oleh Dinas Kebudayaan dan disebut sebagai cagar budaya,ternyata tidak mempunyai bentuk fisik yang asli karena sudah dirombak total dengan bentuk, warna, dan bahan yang baru. Hal tersebut sering ditemui di lapangan, terutama pada kegiatan penelitian pengkajian (verifikasi) cagar budaya yang telahdiregister oleh Pemerintah Daerah. Berdasarkan fakta tersebut, permasalahan yang akan dibahas dalam artikel ini adalah bagaimana cara mengatasi keterbatasan data dalam penelitian arkeologi. Bagaimanakah peran informan dan cara memperlakukan informasi yang disampaikan oleh masyarakat sekarang? Tujuan dari penulisan artikel ini adalah membuat strategi mengatasi keterbatasan data dalam penelitian arkeologi dan mengoptimalkan peran informan dan informasinya. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan penalaran induktif. Data primer diperoleh dari penelitian verifikasi cagar budaya tahun 2012 dan 2013 di Kabupaten Banjar yang pengumpulan datanya dilakukan melalui observasi dan wawancara, didukung dengan studi pustaka. Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlu strategi dalam mengatasi keterbatasandata dengan menggunakan informan kunci, tetapi peneliti perlu memahami karakter masyarakat dan melakukan triangulasi (pengecekan data) dengan berbagai sumber tekstual.
KEBERLANJUTAN BUDAYA DI PELAJAU, KALIMANTAN SELATAN (THE CONTINUOUS CULTURE IN PELAJAU, SOUTH KALIMANTAN) Hartatik Hartatik
Kindai Etam : Jurnal Penelitian Arkeologi Vol. 1 No. 1 (2015): Kindai Etam
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (3441.342 KB) | DOI: 10.24832/ke.v1i1.48

Abstract

Pelajau merupakan sebuah kawasan pemukiman kuna yang dikelilingi oleh sungai mati dan kini terpecah menjadi beberapa desa. Beberapa toponim menandai ramainya aktivitas pemukiman masa itu, seperti Sumur Candi, Sumur Pemandian Raja, dan Masjid Keramat Pelajau. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi peran Pelajau pada masa lalu dan hubungannya dengan situs pemukiman tepi sungai bagian hulu Kalimantan Selatan seperti situs Jambu Hulu, Jambu Hilir, dan Nagara. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptif dengan penalaran induktif. Teknik pengambilan data dengan observasi, wawancara dan ekskavasi, dengan analisis data secara laboratorium, morfologi dan teknologi artefak, serta pendekatan etnoarkeologi. Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa Pelajau merupakan pemukiman tepi sungai mempunyai peranan yang penting terhadap perkembangan perekonomian, religi dan nasionalisme di wilayah hulu Kalimantan Selatan. Dari beberapa artefak dan tradisi yang hingga kini masih digunakan, disimpulkan bahwa budaya di Pelajau masih berlanjut dari masa dahulu hingga kini, meskipun sempat terjadi keterputusan generasi dan perubahan konsep pemaknaan terhadap Sumur Candi.Pelajau is an ancient settlement area surrounded by dead river, and nowadays it split into several villages. Some toponyms marked the high activities in the past, such as sumur candi (temple well), sumur pemandian raja (bath well of king) and Masjid Keramat Pelajau (Pelajau Sacred Mosque). This paper aims to identify the role of Pelajau in the pastand relationship of Pelajau with riverbank settlement sites at the upstream of South Kalimantan such as Jambu Hulu, Jambu Hilir and Nagara. The method used is descriptive with inductive reasoning. Data are collected through observation, interviews and excavation, and analysis data are conducted by laboratory, morphology and technological artifacts, as wellas ethnoarchaeological approach. Results from this study indicate that a riverbank settlement of Pelajau has an important role to the development of economy, religion and nationalism in the upstream region of South Kalimantan. Based on some artifacts and traditions which are still in use, it is concluded that the culture in Pelajau is continued from ancient times until present, eventhough there are disconnect generation and changeable concept of sumur candi (temple well) meaning.
KECENDERUNGAN PENGGUNAAN METODE SURVEI PADA PENELITIAN BALAI ARKEOLOGI BANJARMASIN: ALASAN DAN SOLUSINYA Hartatik Hartatik
Naditira Widya Vol 5 No 2 (2011): Oktober 2011
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v5i2.75

Abstract

Abstrak. Terdapat dua jenis metode atau cara perolehan data dalam penelitian arkeologi, yaitu survei dan ekskavasi.Dari kedua metode tersebut, survei merupakan teknik penelitian yang paling sering digunakan oleh peneliti BalaiArkeologi Banjarmasin. Hal tersebut merupakan gejala yang menarik, padahal ekskavasi merupakan ‘jantung’penelitian arkeologi. Tulisan ini mengulas tentang sebab-sebab penggunaan metode survei lebih banyak daripadaekskavasi, serta solusi yang memungkinkan pelaksanaan penelitian arkeologi yang berimbang antara tema danmetode yang sesuai. Data kajian yang dipakai adalah metode penelitian yang digunakan para peneliti pada BalaiArkeologi Banjarmasin selama 2005-2011. Hasil kajian menunjukkan bahwa penyebab utama seringnya penggunaanmetode penelitian survei adalah kondisi alam Kalimantan yang luas dengan fisiografi yang unik. Aktivitas surveiperlu dilakukan agar dapat memperoleh sebaran data lateral terlebih dahulu sebelum meneliti lebih jauh sebarandata vertikalnya. Solusi yang dapat menjembatani kesenjangan ini adalah intensifikasi ekskavasi pada situs-situspotensial, menindaklanjuti rekomendasi hasil penelitian terdahulu, kegiatan survei harus dilakukan bersamaandengan ekskavasi, dan perimbangan penelitian berdasarkan tema dan metode penelitian.
RUMAH PANJANG DAYAK MONUMEN KEBERSAMAAN YANG KIAN TERKIKIS OLEH ZAMAN: STUDI KASUS DAYAK KANAYATN DI KALIMANTAN BARAT Hartatik Hartatik
Naditira Widya Vol 7 No 1 (2013): April 2013
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (689.411 KB) | DOI: 10.24832/nw.v7i1.92

Abstract

Abstrak. Rumah panjang merupakan hunian tradisional komunitas Dayak yang dapat ditemukan di sejumlahtempat di pedalaman Kalimantan. Rumah panjang atau betang atau radakng atau balai atau lamin mempunyaiarsitektur dan komponen bangunan yang serupa. Arsitektur rumah panjang Dayak berupa rumah yang ditopangdengan sejumlah tiang penyangga setinggi satu hingga dua meter. Komposisi bangunan rumah panjang terdiri atassebuah aula persegi panjang yang dikelilingi oleh puluhan bilik kecil yang dihuni oleh sebuah keluarga. Auladifungsikan sebagai tempat berkumpul sehari-hari ataupun mewadahi kegiatan adat. Interaksi sosial dalam rumahpanjang tersebut membentuk ikatan batin dan rasa kebersamaan yang kuat antarpenghuninya. Namun, selamaempat dekade belakangan ini lambat-laun penggunaan rumah panjang banyak yang ditinggalkan. Tulisan inimembahas eksistensi rumah panjang dan nilai-nilai kebersamaan komunitas Kanayatn yang tidak lagi berdiam dirumah panjang. Studi ini dibahas dengan menggunakan metode deskriptif dengan penalaran induktif. Hasil kajianrumah panjang ini menunjukkan tidak dimanfaatkannya rumah panjang sebagai hunian komunal tidak berartihilangnya nilai kebersamaan yang selama ini telah mengakar dalam kehidupan komunitas Dayak. Namun demikian,perubahan gaya hidup tersebut tetap menbawa dampak yang signifikan, yaitu merenggangnya proses interaksisosial sehari-hari.
PERBANDINGAN BAHASA DAN DATA ARKEOLOGI PADA SUKU TIDUNG DAN DAYAK DI WILAYAH NUNUKAN: DATA BANTU UNTUK REKONSTRUKSI SEJARAH DAN PERUBAHAN BUDAYA Hartatik Hartatik
Naditira Widya Vol 8 No 1 (2014): April 2014
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v8i1.104

Abstract

Suku Tidung merupakan salah satu suku asli Nunukan yang beragama Islam dan mengakui bahwa dirinya merupakan orangDayak. Hal tersebut berbeda dengan suku lainnya yang telah memeluk Islam, biasanya tidak menganggap dirinya sebagai orangDayak. Masalah dalam artikel ini adalah adakah hubungan antara suku Tidung dengan suku Dayak di wilayah Nunukan (Tahol,Tenggalan, dan Agabag)? Bagaimana perbandingan bahasa, data arkeologi, dan tradisi dapat menjadi data bantu untuk merekonstruksisejarah dan perubahan budaya suku Tidung kaitannya dengan suku Dayak lainnya di Nunukan? Tujuan penelitian ini adalah untukmengetahui ada tidaknya hubungan antara suku Tidung dengan Dayak Tahol, Agabag, dan Tenggalan melalui perbandingan bahasa,data arkeologi dan tradisi, serta peluangnya sebagai data bantu untuk merekonstruksi sejarah dan perubahan budayanya. Darianalisis perbandingan bahasa, tradisi, dan data arkeologi diketahui bahwa suku Tidung mempunyai persamaan yang signifikandengan suku Dayak Tahol, Tenggalan, dan Agabag. Dari hasil perbandingan itu disimpulkan bahwa suku Tidung mempunyai hubungandengan ketiga suku Dayak tersebut karena berasal dari rumpun yang sama. Suku Tidung mempunyai pergerakan yang lebih dinamisdari pada suku Dayak lainnya sehingga mereka menyebar jauh dari pedalaman dan melakukan kontak dengan pendatang muslim,sehingga kini suku Tidung pun identik dengan muslim.
PEMBERDAYAAN MASYARAKAT DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA ARKEOLOGI: SEBUAH RETROSPEKSI Hartatik Hartatik
Naditira Widya Vol 8 No 2 (2014): Oktober 2014
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.24832/nw.v8i2.109

Abstract

Sumberdaya arkeologi sering diabaikan oleh masyarakat karena ketidakpahaman masyarakat tentang arti penting sumberdayatersebut. Lembaga kebudayaan milik pemerintah, terutama Balai Arkeologi dan Balai Pelestarian Cagar Budaya merupakan motorpenggerak pengelolaan sumberdaya arkeologi yang mempunyai tanggung jawab untuk menginformasikan keberadaan dan nilaipenting sumberdaya arkeologi kepada masyarakat. Berbagai sosialisasi hasil penelitian yang merupakan bagian dari pengembangankegiatan penelitian telah dilakukan, tetapi hasil kerja lembaga kebudayaan milik pemerintah tersebut belum dapat dipahami dandimanfaatkan oleh masyarakat. Akibatnya, pengelolaan sumberdaya arkeologi seolah menjadi beban tunggal pemerintah. Permasalahandalam tulisan ini adalah apa yang seharusnya dilakukan oleh lembaga kebudayaan untuk menarik masyarakat dalam pengelolaansumberdaya arkeologi? Tulisan ini bertujuan untuk mengetahui apa yang seharusnya dilakukan oleh lembaga kebudayaan supayamasyarakat sebagai pemilik budaya tertarik dan terlibat dalam pengelolaan sumberdaya arkeologi. Metode pengumpulan data dilakukanmelalui studi pustaka dan pengamatan selama penulis bekerja di Balai Arkeologi Banjarmasin dari tahun 1999 sampai dengan 2014.Metode analisis data dilakukan secara deskriptif dengan penalaran induktif. Hasil dari tulisan ini adalah nilai penting sumberdayaarkeologi harus dipertahankan dengan melakukan sinergi antara lembaga pengelola kebudayaan dan masyarakat secara efektif danefisien. Selain itu, perlunya instansi pengelola kebudayaan dalam satu garis komando, sehingga akan memudahan koordinasi dalamperencanaan, pelaksanaan, dan pengawasan kinerja.
MODEL STRATEGI PENGELOLAAN RUMAH ADAT BANJAR DI TELUK SELONG ULU Hartatik Hartatik
Naditira Widya Vol 9 No 2 (2015): OKtober 2015
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (494.984 KB) | DOI: 10.24832/nw.v9i2.126

Abstract

Rumah adat Banjar tipe Bubungan Tinggi dan Gajah Baliku di Teluk Selong Ulu, Kalimantan Selatan mempunyaibentuk dan bahan yang masih asli serta nilai penting bagi sejarah dan ilmu pengetahuan. Untuk kepentingan pariwisata,pemerintah membuat taman dan halaman parkir konblok beton dengan mengurung lahan rawa di depan dan sampingrumah adat. Tulisan ini bertujuan untuk mengidentifikasi dampak pengelolaan dan membuat model pengelolaan kawasanrumah adat di Teluk Selong Ulu. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode kualitatif.Teknik pengumpulan datadilakukan dengan pengamatan langsung dan wawancara mendalam.Untuk membuat model pengelolaan dilakukan denganteknik Participatory Rural Apprasial (PRA), kemudian dianalisis dengan menggunakan analisis SWOT.Hasil penelitianmenunjukkan, bahwa pengembangan kawasan rumah adat telah menimbulkan dampak sosial yang meresahkan.Modelpengelolaan dibuat dengan memperhatikan zonasi cagar budaya, melibatkan multi stakeholder baik pemerintah maupunmasyarakat yang terkoordinir dan dilakukan secara berkelanjutan.Disimpulkan bahwa dengan strategi pengelolaan yangdidasarkan pada prinsip pengelolaan sumber daya arkeologi dan kearifan lokal, maka kawasan rumah adat Banjar dapatdikembangkan dan dimanfaatkan optimal sebagai ikon dan kebanggaan budaya lokal.
EKSISTENSI RUMAH RUMAH ADAT BANJAR DALAM PEMBANGUNAN BERKELANJUTAN Hartatik Hartatik
Naditira Widya Vol 10 No 2 (2016): Naditira Widya Vol. 10 No. 2 Oktober 2016
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (687.576 KB) | DOI: 10.24832/nw.v10i2.127

Abstract

Rumah adat Banjar merupakan salah satu sumber daya budaya yang memiliki nilai penting bagi sejarah perkembangan arsitektur, seni dan sejarah budaya lokal. Materialnya yang terbuat dari bahan kayu menyebabkan rumah adat ini rentan terhadap kerusakan, baik karena ulah manusia, cuaca maupun  faktor biologis. Di balik keterancamannya, rumah adat mempunyai nilai yang dapat diambil manfaatnya untuk masa kini dan masa depan. Tujuan dari penelitian  ini adalah untuk menjelaskan realitas pengelolaan dari sisi pemerintah dan masyarakat, sejauhmana keberadaan rumah adat Banjar sebagai salah satu sumber daya budaya dapat dimanfaatkan dalam pembangunan berkelanjutan, serta pesan apa saja yang dapat ditangkap oleh masyarakat dalam memaknai rumah adat ini. Tulisan ini merupakan hasil penelitian kualitatif dengan metode dekriptif, pengambilan data dilakukan dengan survei dan kajian pustaka. Analisis data dilakukan dengan menggunakan penalaran induktif. Dari analisis diketahui bahwa keberadaan rumah adat Banjar belum dikelola secara maksimal, belum ada kerjasama yang harmonis terutama antara pemerintah daerah di tingkat provinsi dan kabupaten. Perjuangan dari penggiat budaya lokal membawa hasil, kini bangunan panggung telah diadopsi menjadi sebuah Peraturan Daerah. Hal tersebutmenunjukkan adanya apresiasi terhadap budaya leluhur dan keberlanjutan  kearifan lokal yang  mampu menjaga keseimbangan lingkungan rawa.
PERANAN SUNGAI BARITO DALAM PERSEBARAN SUKU DAYAK DI KALIMANTAN BAGIAN TENGGARA Hartatik Hartatik
Naditira Widya Vol 11 No 2 (2017): Naditira Widya Volome 11 Nomor 2 Oktober 2017
Publisher : Balai Arkeologi Kalimantan Selatan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (357.812 KB) | DOI: 10.24832/nw.v11i2.211

Abstract

Abstrak. Sungai Barito merupakan sungai besar yang berhulu di Pegunungan Schwaner Muller di bagian utara Kalimantan Tengah dan bermuara di Banjarmasin menuju Laut Jawa. Sebagai sungai terpanjang di Kalimantan, sungai ini terkenal sejak ratusan tahun silam hingga kini. Berbagai mitos dan legenda tercipta di sekitar aliran sungai ini. Situs-situ kuno bertebaran dari hilir  hingga hulu sungai, seperti situs Kerajaan Banjar di Banjarmasin, situs Patih Muhur di Batola, dan permukiman suku Dayak di bagian tengah hingga hulu Sungai Barito. Artikel ini akan membahas tentang keberadaan Sungai Barito (dan anak sungainya) kaitannya dengan persebaran suku Dayak di Kalimantan bagian tenggara. Tujuan dari tulisan ini adalah mengetahui persebaran suku Dayak berdasar persebaran data arkeologi, sejarah dan tradisi  di sepanjang Sungai Barito dan anak-anak sungainya di bagian tenggara Kalimantan. Metode penelitian yang digunakan adalah deskriptip dengan penalaran induktif. Data diperoleh dari berbagai sumber terutama hasil penelitian Balai Arleologi Kalimantan Selatan  dan studi pustaka. Keberadaan sungai berpengaruh pada konsep religi dan bentuk pola hunian. Dalam konsep religi, Sungai Barito sering disebut dalam mantra balian sebagai tempat tinggal pidara. Dari hasil analisis pemanfaatan ruang dan persebaran hunian diketahui pola hunian yang cenderung mengelompok tidak jauh dari sungai, meskipun ada juga yang memanjang di tepi sungai. Persebaran suku Dayak di Kalimantan bagian tenggara dimungkinkan melalui sungai Barito dan anak-anak sungainya, seperti Sungai Negara dan Martapura. Kata Kunci : Sungai Barito, persebaran, suku Dayak, situs, balian Abstract. Barito River is a large river headwaters in Schwaner Muller Mountains in the northern part of Central Kalimantan and empties in Banjarmasin to the Java Sea. As the longest river in Kalimantan, the river is famous since hundreds of years ago to the present. Various myths and legends created around this river. Site-fashioned situ scattered from downstream to upstream, such as the site of Banjar Kingdom in Banjarmasin, Patih Muhur sites in Batola, and settlement Dayak tribe in the middle to upper Barito River. This article will discuss about the existence of the Barito River (and its tributaries) relation with the spread of the Dayak tribe in southeast Kalimantan. The purpose of this paper is to determine the distribution of the Dayak tribe-based distribution of archaeological data, historical  and tradition along the Barito River and its tributaries in the southeastern region of Kalimantan. The method used is descriptive with inductive reasoning. Data obtained from various sources specially the results of Balai Arkeologi Kalimantan Selatan  research, and supported by the literature. The existence of rivers affects the religion concept occupancy patterns and shapes. In the religion concept, the Barito River often called in the balian spell as a residence of pidara. The results of spatial analysis and settlement spread known that patterns of occupancy is cluster near  the river, although there is elongated riverside. The spread of the Dayak tribe in the southeastern part of Kalimantan possible through of the Barito River and its tributaries, such as the Negara River and Martapura River. Key Words : Barito River, spread,  Dayak tribes, sites, balian