Yohanes Adhi Satiyoko
Balai Bahasa DIY

Published : 2 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

MEMORIZING PROPAGANDA OF EQUALITY IN NGULANDARA AND KIRTI NDJOENJOENG DRADJAT, NOVELS OF BALAI POESTAKA (Mengingat Kembali Propaganda Kesetaraan dalam Novel-Novel Balai Poestaka, Ngulandara dan Kirti Ndjoenjoeng Dradjat) Yohanes Adhi Satiyoko
Kandai Vol 16, No 1 (2020): KANDAI
Publisher : Kantor Bahasa Sulawesi Tenggara

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.26499/jk.v16i1.1410

Abstract

Equality of men is a great issue to maintain every country all the time. Indonesia is one of them which should struggle to maintain it so far. Fictional work is one of the aesthetical means to support it. The way of struggle can be memorized through the time of independence era in fictional works of Balai Poestaka publisher. Javanese language novels, Ngulandara and Kirti NdjoendjoengDradjat are two literary works published by BalaiPoestaka that were written in the dominance times of Balai Poestaka activities as commission for people’s reading in Dutch colonial era in Indonesia (Dutch Indies). Kepriyayian (nobility) was the theme of Ngulandara (1936) and Kirti NdjoendjoengDradjat(1924) novels. As seen from propaganda point of view, ideologically the portrayal of priyayi (nobleman) was analogy symbol of Dutch colonial government that ruled social system. Ngulandara and Kirti Njunjung Drajat showed a “struggle” through literary works as portrayed in wong cilik (Javanese: lower class people) who struggled against the existence of the authorities. The struggle emerged in the way of wong cilik behaved intellectually, morally, even mannerly better than the nobles (priyayi). This research used the theory of literature and propaganda using a sociological approach. Those oppositional relationships between deconstruction nobles and the raise of wong cilik in the field of intellectual, moral, and manner show the propaganda of equality of men through the voice of Jasawidagdo and Margana Djajaatmadja.Kesetaraan manusia merupakan isu besar yang harus selalu dijaga di setiap negara. Indonesia adalah salah satu negara yang harus tetap berjuang menjaga isu tersebut. Karya fiksi berfungsi sebagai salah satu peranti estetis untuk mendukung isu tersebut. Cara memperjuangkan isu tersebut ialah dengan mengingat kembali masa kemerdekaan melalui penerbit Balai Poestaka. Novel-novel berbahasa Jawa, Ngulandara dan Kirti Ndjoendjoeng Dradjat ialah dua karya sastra yang diterbitkan oleh Balai Poestaka yang ditulis pada waktu dominasi Balai Poestaka sebagai komisi bacaan rakyat di era kolonial Belanda di Indonesia (Hindia Belanda). Kepriyayian merupakan tema novel Ngulandara (1936) dan Kirti Njoendjoeng Dradjat (1924). Dilihat dari sudut pandang propaganda, penggambaran priyayi merupakan analogi simbol pemerintah kolonial Belanda yang berkuasa mengatur sistem sosial kemasyarakatan. Ngulandara dan Kirti Ndjoendjoeng Dradjat menunjukkan sebuah “perjuangan” melalui karya sastra seperti digambarkan melalui wong cilik yang berjuang melawan kemapanan penguasa. Perjuangan tersebut muncul dengan cara wong cilik tersebut bertindak secara intelektual, bermoral, bahkan bersikap lebih terhormat daripada para priyayi. Penelitian ini menggunakan teori sastra dan propaganda dengan pendekatan sosiologi. Relasi oposisional antara dekonstruksi priyayi dan bangkitnya wong cilik dalam ranah intelektual, moral, dan sikap menunjukkan propaganda kesetaraan manusia melalui suara Jasawidagdo dan Margana Djajaatmadja.  
REKONSILIASI TANAH KELAHIRAN DALAM DUA PUISI IMAN BUDHI SANTOSA Yohanes Adhi Satiyoko
JENTERA: Jurnal Kajian Sastra Vol 8, No 1 (2019): Jentera: Jurnal Kajian Sastra
Publisher : Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (442.113 KB) | DOI: 10.26499/jentera.v8i1.851

Abstract

This research discusses the effort of reconciliation to the Javanese people view to their land of origin as expressed in the poems “Ziarah Tembuni” and “Ziarah Tanah Jawa” by Iman Budhi Santosa. The problem formulation is how social and cultural phenomena portrayed in those poems “Ziarah Tanah Jawa” and “Ziarah Tembuni” and ideology of its creation. The purpose of the research is to show modernity phenomena as faced by Javanese people in common and show the the ideology as the foundation of the poems creation. The discussion of the problem formulation and the purpose of the research use qualitative method with sociology theory by Janet Wolff. The result shows that those two poetic expressions of “Ziarah Tembuni” and “Ziarah Tanah Jawa” sound to ask reconciliation to remind, love, and realize the origin of the kinship of man-nature in the Javanese social construction. The result of the research concludes that kinship can avoid character of selfish and individualistic. Ideally, people face and experience modernity in life but they have to base it on local culture and tradition of their own country. Abstrak: Penelitian ini membahas tentang usaha merekonsiliasi pandangan masyarakat Jawa modern terhadap tanah kelahiran yang diekspresikan dalam puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa” karya Iman Budhi Santosa. Masalah penelitian tentang fenomena sosial budaya yang tergambar dalam puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” serta ideologi yang melandasi kedua karya puisi tersebut. Tujuan penelitian adalah menunjukkan fenomena modernitas yang dijumpai dalam masyarakat Jawa secara umum dan menunjukkan ideologi yang melandasi penciptaan puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa”. Pembahasan masalah penelitian dan tujuan penelitian menggunakan metode kualitatif dengan memanfaatkan teori sosiologi Janett Wolff. Hasil penelitian membuktikan bahwa kedua ekspresi puitik dalam“Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa” menjadi ajakan rekonsiliasi untuk mengingat, mencintai, dan menyadari asal-usul kekerabatan manusia-alam dalam konstruksi sosial masyarakat Jawa. Dari hasil penelitian itu dapat disimpulkan bahwa kekerabatan dapat menghindarkan manusia dari sifat egois dan individualis. Diidealkan manusia mengalami modernitas dalam aktivitas kehidupan tetapi tetap berlandaskan pada budaya dan tradisi lokal atau bangsa sendiri.