Aji Halim Rahman
Fakultas Hukum Universitas Majalengka

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PERJANJIAN BAKU KREDIT PEMILIKAN RUMAH (KPR) DIHUBUNGKAN DENGAN PASAL 45 UNDANG-UNDANG NOMOR 8 TAHUN 1999 TENTANG PERLINDUNGAN KONSUMEN Aji Halim Rahman
Journal Presumption of Law Vol 2 No 2 (2020): Volume 2 Nomor 2 Tahun 2020
Publisher : Universitas Majalengka

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31949/jpl.v2i2.799

Abstract

Rumah merupakan kebutuhan primer bagi sebagian besar keluarga, baik yang tinggal di pedesaan maupun di perkotaan yang merupakan suatu kebutuhan primer. Pemenuhan kebutuhan primer tersebut, tidak dapat dipenuhi oleh semua orang untuk membeli secara tunai. karenanya diperlukan suatu lembaga keuangan untuk memberikan bantuan dana dalam bentuk penyaluran kredit terutama dalam Kredit Pemilikan Rumah (KPR), Permasalahan dalam bisnis perumahan yang sering muncul adalah ketentuan mengenai pernyataan dan persetujuan untuk menerima segala persyaratan yang tercantum dalam surat pemesanan, yang sering disebut perjanjian baku atau klausula baku. Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai permasalahan dalam penelitian ini. Setelah data sekunder dan primer terkumpul, kemudian diadakan analisis secara kualitatif. Berdasarkan hasil analisis data, disimpulkan bahwa konsumen merasa dirugikan dapat menggugat pelaku usaha. Begitu pula menurut Pasal 45 UUPK setiap konsumen yang dirugikan dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum. Posisi konsumen pada umumnya lemah dibandingkan dengan pelaku usaha Hal ini berkaitan dengan tingkat kesadaran akan haknya, kemampuan financial dan daya tawar yang rendah. Tata hukum harus memposisikan pada tempat yang adil dimana hubungan konsumen dan pelaku usaha berada pada kedudukan yang saling menghendaki dan mempunyai tingkat ketergantungan yang cukup tinggi satu dengan yang lain.
DEKONSTRUKSI ASAS LEGALITAS DALAM HUKUM PIDANA Ateng Sudibyo; Aji Halim Rahman
Journal Presumption of Law Vol 3 No 1 (2021): Volume 3 Nomor 1 Tahun 2021
Publisher : Universitas Majalengka

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31949/jpl.v3i1.985

Abstract

Asas legalitas sering dilihat sebagai ketentuan yang secara absolut dianggap benar sehingga secara formil pasti telah mewakili rasa keadilan masyarakat. Oleh sebab itu, ketentuan-ketentuan dalam undang-undang harus ditegakkan bagaimanapun caranya dan mesti diperlakukan sebagai representasi dari nilai-nilai keadilan. Konsekuensi dari pola pikir dan paradigma seperti ini tentu saja adalah persepsi yang berlebihan dengan menganggap bahwa hukum adalah undang-undang dan undang-undang sama dengan hukum. Paradigma formalistik dalam melihat hukum ini telah berakibat semakin sulitnya menemukan keadilan sejati. Yang ada adalah keadilan yang formal, sempit dan kaku, yakni keadilan yang tidak mewakili semua hak dan kepentingan, baik hak korban, pelaku, negara, dan masyarakat. Oleh karena itu muncul berbagai wacana untuk menggali Asas Legalitas yang dapat mewakili norma hukum yang hidup dan berkembang dalam masyarakat. Metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang bersifat deskriptif analisis, pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan data primer dan data sekunder berupa bahan hukum primer, sekunder dan tertier sebagai data utama. Setelah data sekunder dan primer terkumpul, kemudian diadakan analisis secara kualitatif Berdasarkan hasil analisis data, disimpulkan bahwa kedudukan Asas legalitas formil diterapkan untuk mencegah kesewenang-wenangan penguasa terhadap orang yang tidak bersalah. Sedangkan asas legalitas materiil untuk mengakomodir hukum tidak tertulis yang masih berlaku di masyarakat. Dekonstruksi asas legalitas dalam hukum pidana dilakukan dengan menggali dan memasukkan nilai-nilai hukum adat agar mampu menyelesaikan penyimpangan kejahatan. Penyimpangan kejahatan dalam artian bukan tergantung pada ketetapan hukum yang ditetapkan dalam hukum pidana secara tertulis, namun menekankan pula pada hukum tidak tertulis.
SISTEM UPAH BERDASARKAN PRINSIP KEADILAN DALAM KONSEP NEGARA KESEJAHTERAAN (WELFARE STATE) Aji rahman Halim
Journal Presumption of Law Vol 3 No 2 (2021): Volume 3 Nomor 2 tahun 2021
Publisher : Universitas Majalengka

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31949/jpl.v3i2.1496

Abstract

Pengaturan Upah dalam hukum positif diatur pada Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, dan peraturan pelaksananya yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 tentang Pengupahan. Meskipun Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan sudah lama berlaku, namun peraturan ini belum sepenuhnya menciptakan Hubungan Industrial yang harmonis dan kondusif di Indonesia. Hal ini dikarenakan, secara substansial ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2015 hanya mempertimbangkan laju inflansi dan pertumbuhan ekonomi serta tidak memperhatikan kebutuhan hidup layak (KHL) pekerja . Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai permasalahan dalam penelitian ini. Setelah data sekunder dan primer terkumpul, kemudian diadakan analisis secara kualitatif . Berdasarkan hasil analisis data, disimpulkan bahwa hubungan perusahaan dengan pekerjanya seringkali tidak seimbang dalam pelaksanaannya dan penyebab utama terjadinya perselisihan antara pekerja/buruh dengan pengusaha didominasi oleh masalah pengupahan. Peraturan upah yang ada masih belum dapat menciptakan hubungan yang kondusif dan harmonis antara pekerja dan pengusaha dibidang pengupahan, ini terbukti dengan adanya unjuk rasa dari serikat pekerja yang rutin dilakukan setiap tahun dan adanya ancaman pemutusan hubungan kerja besar-besaran bahkan ancaman penutupan perusahaan. Bagi pekerja/buruh sangat membutuhkan upah yang sesuai agar dapat memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari sehingga dapat tercapai kesejahteraan hidup, namun bagi perusahaan perlu juga mendapatkan jaminan apabila sudah menaikkan Upah Minimum tidak terganggu perkembangan dan produktivitas perusahaan tersebut, khususnya bagi perusahaan menengah dan kecil
ASAS PRESUMPTION OF INNOCENCE DALAM PERLINDUNGAN HAK ASASI MANUSIA SEBAGAI LANDASAN KEADILAN Aji rahman Halim
Journal Presumption of Law Vol 4 No 1 (2022): Volume 4 Nomor 1 Tahun 2022
Publisher : Universitas Majalengka

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.31949/jpl.v4i1.2202

Abstract

Abstract The existence of the principle of presumption of innocence is important both from the point of material criminal law and criminal procedural law, especially from the point of view of human rights. However, in the practice of criminal justice, there are still deviations and abuses of authority, both because of the weaknesses of the normative provisions as well as differences in perceptions among law enforcers (especially prosecutors and judges). The research method used in this study is descriptive analysis and the approach used in this research is a normative juridical approach, namely by reviewing or analyzing secondary data in the form of secondary legal materials by understanding the law as a set of regulations or positive norms in the system. legislation that regulates the problems in this research. After the secondary and primary data were collected, a qualitative analysis was then carried out. Based on the results of data analysis, it is concluded that the recognition of the principle of the presumption of innocence is closely related to human rights that must be respected and upheld, and the rights of the suspect or defendant must also be respected. To support the principle of presumption of innocence in law enforcement, the Criminal Procedure Code has provided a set of rights that must be respected and protected by law enforcers. Keberadaan asas praduga tidak bersalah sangat penting baik dari sudut hukum pidana materil maupun hukum acara pidana, terutama dari sudut pandang hak asasi manusia. Namun, dalam praktik peradilan pidana, masih terdapat adanya penyimpangan dan penyelewengan wewenang baik karena adanya kelemahan-kelemahan dari ketentuan normatif maupun serta perbedaan persepsi di kalangan penegak hukum (khususnya jaksa dan hakim) Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah deskriptif analisis dan pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yaitu dengan mengkaji atau menganalisis data sekunder yang berupa bahan-bahan hukum sekunder dengan memahami hukum sebagai perangkat peraturan atau norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan yang mengatur mengenai permasalahan dalam penelitian ini. Setelah data sekunder dan primer terkumpul, kemudian diadakan analisis secara kualitatif . Berdasarkan hasil analisis data, disimpulkan bahwa Pengakuan tentang asas praduga tak bersalah berhubungan erat dengan hak-hak asasi manusia yang harus dihormati dan dijunjung tinggi. serta hak-hak tersangka atau terdakwa juga harus dihormati. Untuk menopang asas praduga tak bersalah dalam penegakan hukum, maka KUHAP telah memberikan seperangkat hak yang wajib dihormati dan dilindungi oleh para penegak hukum.