Penelitian ini membahas ekspresi kritik melalui disfemisme terhadap pemberitaan kasus Setya Novanto di media massa daring dengan memperhatikan latar belakang disfemisme itu digunakan. Disfemisme digunakan media massa daring untuk mengekspresikan kritik kasus korupsi e-KTP Setya Novanto. Penelitian ini menggunakan paradigma kualitatif untuk mengungkap ekspresi kritik melalui disfemisme dan latar belakang pemakaiannya di media massa daring sekaligus menjadi pokok masalah dalam tulisan ini. Tulisan ini menggunakan konsep Kurniawati (2011:55) dan Zollner (1997:92). Temuannya adalah ekspresi kritik melalui disfemisme di media massa daring cenderung berkonotasi negatif, yaitu tidak baik, tidak disukai, dan tidak dihormati. Ada delapan alasan mengapa disfemisme digunakan terhadap pemberitaan kasus Setya Novanto di media massa daring, yaitu (1) menyatakan hal yang tabu atau tidak senonoh; (2) menyatakan rasa tidak suka atau tidak setuju terhadap seseorang atau sesuatu; (3) citra negatif tentang seseorang atau sesuatu; (4) menyatakan kemarahan atau kejengkelan; (5) menunjukkan rasa tidak hormat; (6) menghina atau mencela, (7) melebihkan sesuatu atau hiperbola; (8) menghujat atau mengritik. Selain itu, disfemisme melebihkan sesuatu atau hiperbola paling banyak ditemukan dalam data, tetapi tetap mengekspresikan kritik untuk menghujat dan menjatuhkan.