Philip Teguh Imanto
Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut, Gondol

Published : 9 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 9 Documents
Search

POLA PEMANGSAAN LARVA IKAN KAKAP MERAH, Lutjanus sebae Regina Melianawati; Philip Teguh Imanto; Made Suastika
Jurnal Riset Akuakultur Vol 1, No 1 (2006): (April 2006)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (433.76 KB) | DOI: 10.15578/jra.1.1.2006.49-54

Abstract

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola pemangsaan dari larva ikan kakap merah, L. sebae umur 5 dan 10 hari yang dipelihara dengan kondisi pencahayaan alami. Pengambilan sampel dilakukan setiap satu jam pada masing-masing umur tersebut. Hasil pengamatan menunjukkan bahwa secara alami pola pemangsaan larva L. sebae tergantung pada kondisi pencahayaan, di mana aktivitas pemangsaan berlangsung secara maksimal pada saat tersedia pencahayaan dengan intensitas yang mencukupi untuk larva menangkap mangsanya. Intensitas cahaya minimal yang diperlukan oleh larva L. sebae untuk melakukan pemangsaan berada pada kisaran 400—600 lux. Maksimal pemangsaan satu larva pada umur 5 dan 10 hari adalah 6,2 dan 25,3 individu rotifer. Lama waktu pencernaan larva umur 5 dan 10 hari adalah 4 dan 5 jam, sedangkan laju cerna larva pada masing-masing umur tersebut adalah 1,50 dan 2,76 individu rotifer per jam.The aim of this research was to get the information about the feeding pattern of emperor snapper L. sebae larvae at 5 and 10 days olds reared under natural light intensity. Larvae samples were taken every hour from each age. The result showed that naturally, feeding pattern of emperor snapper larvae depend on the light intensity condition, feeding activity would be done when the light intensity was enough available for supporting larvae to feed. Minimum light intensity that needed by the larvae for feeding activity was range between 400—600 lux. Maximum feeding per larvae at 5 and 10 days olds were 6.2 and 25.3 individual rotifers. Digestion time of larvae at those ages was 4 and 5 hours, while digestion rate were 1.50 and 2.76 individual rotifers per hour.
KULTUR ROTIFER DENGAN BEBERAPA JENIS PAKAN DAN KOMBINASINYA Mustika Wati; Philip Teguh Imanto
Jurnal Riset Akuakultur Vol 4, No 3 (2009): (Desember 2009)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (160.892 KB) | DOI: 10.15578/jra.4.3.2009.349-356

Abstract

Tujuan penelitian untuk mengetahui jenis dan kombinasi pakan yang terbaik pada kultur rotifer secara intensif. Penelitian menggunakan pakan alga Nannochloropsis oculata, ragi roti (Saccharomyces cerevisiae), vitamin B dan Scott’s emulsion, perlakuan pakan A) N.oculata, B) ragi roti + Scott’s emulsion, C) Ragi roti + Scott’s emulsion + Vit.B12, dan D) N.oculata + ragi roti + Vit.B12 + Scott’s emulsion. Wadah penelitian menggunakan kontainer plastik putih volume 20 L. dengan media pemeliharaan 18 L, densitas awal adalah 56 ekor rotifer/mL. Produksi tertinggi adalah 33,4 juta ekor         rotifer (1.867 ekor rotifer/mL) pada perlakuan D) dengan persentase produksi telur harian mencapai 29%. Peringkat kedua produksi ada pada perlakuan A) yang hanya mengandalkan N. oculata. Hasil pengamatan menunjukkan peranan vital alga sebagai dasar sumber energi yang akan berlipat hasilnya dengan penambahan suplemen yang essensial untuk memacu kemampuan reproduksi rotifer. Intensifikasi budidaya dan produksi rotifer dapat dikembangkan dengan pakan dasar alga dikombinasikan dengan suplemen essensial, dan didukung pengaturan kondisi pencahayaan yang tepat, diyakini akan memberikan hasil yang optimal.The aim of this study was to find out types of feed and their combinations for intensive culture of rotifer. Feeds used were Nannochloropsis oculata, beaker yeast (Saccharomyces cerevisiae), vitamin B12 and Scott’s emulsion. The treatments consisted of A) N.oculata, B) beaker yeast + Scott’s emulsion, C) beaker yeast + Scott’s emulsion + Vit.B12, and D) N. oculata + beaker yeast + Vit.B12 + Scott’s emulsion. White plastic containers were used for culturing the rotifer in 18 L. culture medium, with initial density of 56 ind./mL. The highest production was 33.4 million rotifers (1,867 rotifer/mL) in treatment D with daily production of eggs of 25%, and the second was reached by treatment A) (algae only). This result showed the important role of algae as a basic energy source for growth and rotifer reproduction can be accelerated with the addition of essential supplements. Development of intensive culture of rotifer using algae as a basic feed, combined with essential supplements, and cultured under appropriate light intensity could result in optimum growth of rotifer.
MANAJEMEN KULTUR ROTIFER DENGAN TANGKI VOLUME KECIL Philip Teguh Imanto
Jurnal Riset Akuakultur Vol 4, No 1 (2009): (April 2009)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (190.908 KB) | DOI: 10.15578/jra.4.1.2009.139-145

Abstract

Keberhasilan pembenihan ikan sangat dipengaruhi keberhasilan produksi jasad pakan rotifer secara tepat dan efisien. Penelitian kultur rotifer dengan tangki volume kecil bertujuan untuk mendapatkan efisiensi produksi yang paling optimal dan memenuhi prinsip dasar akuakultur low volume high density. Penelitian menggunakan tangki polyethylene dengan volume 500 L dan volume media awal 100 L, padat tebar awal 200 ind. rotifer per mL dengan sediaan pakan dasar fitoplankton Nannocloropsis occulata, ragi roti (0,05 g/mio.rot./feeding) dan suplemen Scott emulsion (0,005 g/mio.rot./feeding). Penelitian dilakukan secara bertahap; tahap pertama (I) tanpa penambahan air laut, peningkatan volume hanya dari penambahan 15 L Nannochloropsis tiap hari sampai hari kelima, tahap kedua (II) dengan penambahan alga 40 L dan air laut 40 L; serta tahap ketiga (III) dengan menggandakan pemberian ragi roti. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pada percobaan tahap I: total produksi rata-rata 122,37 x 106 ind. rotifer, pada tahap II: 97,67 x 106 ind. rotifer, dan pada tahap III: dicapai rata-rata total produksi tertinggi dengan 187,17 x 106 ind. rotifer per tanki kultur 500 L. Pengelolaan kultur pada tahap III memberikan hasil terbaik dengan simpangan terkecil antar tangki kultur ulangan, dan membuktikan sebagai pengelolaan terbaik untuk kultur rotifer dengan tangki volume kecil. Success of marine seed production is highly influenced by effective and efficient production performance of life food rotifer. Observation on rotifer culture using small volume tank was aimed to get the optimum production and efficiency, to fulfill the basic principle of aquaculture “low volume high density”. Polyethylene tanks of 500 L. were used as culture container, with initial 100 liter sea water as culture medium and initial density of 200 ind. rotifer per mL. N. occulata, baker yeast (0.05 g/mio.rotifer/feeding) and Scott emulsion (0.005 g/mio.rotifer/feeding) were used as basic feed, and applied differently among three trials. First trial without seawater addition, increasing volume of culture media was only from 15 L. of N. occulata within 5 days culture, second trial was done with addition of seawater of 40 L and 40 L of N. occulata every day; and the last trial with twice dosage of baker yeast from trial I and II. The result showed that the average total production from the first trial was 122.37 x 106 ind. rotifer and the second trial was decreased to 97.67 x 106 ind. rotifer. Highest average total production was achieved by the last trial with 187.17 x 106 ind. rotifer per culture tank 500 L. Culture management on the third trial gave the best result with the lowest deviation among replication tanks, and proved as the best management practice for small-scale culture container.
KERAGAAN COPEPODA CYCLOPOIDA: Apocyclops sp. PADA KONDISI KULTUR Philip Teguh Imanto; Gede Suwarthama Sumiarsa
Jurnal Riset Akuakultur Vol 5, No 3 (2010): (Desember 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (280.03 KB) | DOI: 10.15578/jra.5.3.2010.363-372

Abstract

Copepoda pada dasarnya adalah udang berukuran mikroskopik yang menjadi rantai pakan alami yang penting di perairan bebas. Investigasi jenis-jenis copepod lokal akan membantu menyiapkan informasi untuk pengembangan budidayanya sebagai jasad pakan alami. Penelitian dilakukan dengan mengkoleksi jenis Cyclopoida lokal perairan pantai Gerokgak, Buleleng, Bali, diisolasi dan dikembangbiakkan dengan pakan kombinasi antara alga Nannochloropsis oculatta, tepung terigu, ragi roti, dan hati ayam dalam tangki beton 5 m3. Tiga ratus individu Cyclopoida yang membawa telur ditempatkan pada tiga wadah kultur bervolume satu liter. Pengamatan pada pertumbuhan individu dilakukan dengan sampling setiap hari dan setiap dua hari untuk melihat perkembangan telurnya. Jenis Cyclopoida lokal termasuk famili Cyclopidae dan genus Apocyclops spp. Kecepatan pertumbuhan mencapai 20 µm setiap harinya, dan dari fase copepodit mencapai ukuran dewasa membawa telur dianalisis selama 12 hari, perkembangan telur memerlukan waktu maksimal 10 hari, sehingga estimasi siklus umur minimal adalah 22 hari. Produktivitas rata-rata telur Apocyclops spp. pada penelitian ini diestimasi sebanyak 36 (minimum16-maksimum 65) butir per individu betina. Penelitian kultur lebih lanjut difokuskan pada optimalisasi suhu, salinitas, oksigen terlarut pada media hingga optimalisasi pada jenis pakan.Copepod, a microscopic shrimp, is an important member in natural food chain in waters. Investigating the types of local copepod will provide valuable information for the development of other natural live feed culture. The research was carried out by collecting local Cyclopoida species from Gerokgak coastal waters, Buleleng Regency-Bali, isolated and cultured with combination feed of algae Nannochloropsis oculatta, wheat flour, yeast bread and chicken liver in 5 m3 concrete tank. Three hundred individuals of Cyclopoida carrying eggs were placed in three beaker glasses of one-liter culture volume. An observation on the individual growth was done by daily sampling and every two days to see the development of the eggs. The type of local Cyclopoid was classified as Cyclopidae family in the genus of Apocyclops spp. The growth rate reached 20 ìm per day, and from copepodite to adult carrying eggs took 12 days, the egg development took maximum 10 days, and the estimate of the minimum age cycle was 22 days. The average productivity of egg of Apocyclops spp. in this study was estimated to be 36 (min. 16-max. 65) eggs per female. Further culture studies focusing on the optimization of temperature, salinity, dissolved oxygen in the media and nutritional aspects, need to be further studied.
PENGARUH INTENSITAS CAHAYA TERHADAP PEMANGSAAN LARVA IKAN CLOWN (Amphiprion ocellaris) PADA AWAL PEMELIHARAAN Ketut Maha Setiawati; Philip Teguh Imanto; Daniar Kusumawati
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 3 (2007): (Desember 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (317.143 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.3.2007.359-364

Abstract

Penelitian pemangsaan larva ikan clown (Amphiprion ocellaris) pada awal pemeliharaan dan umur sepuluh hari dilakukan menggunakan tangki serat kaca (fiberglass) volume 200 L. Pakan zooplankton rotifera disediakan sejak telur menetas dengan kepadatan 5 ind./mL. Mulai D-8 zooplankton nauplii Artemia ditambahkan dengan kepadatan 1.700 ind./tangki. Pengambilan sampel dilakukan pada umur 1 hari dan sepuluh hari, masing-masing 10 ekor larva/sampling dengan interval waktu 3 jam. Larva diukur kemudian dibedah dan dianalisis jumlah pemangsaaannya dengan bantuan stereoscopic microscope. Hasil analisis menunjukkan peranan intensitas cahaya dalam aktivitas pemangsaannya sebesar 5 individu rotifera dengan intensitas cahaya 70 lux pada pagi hari, sedang pemangsaan tertinggi terjadi pada pukul 13.00—16.00 dengan pemangsaan 57 individu rotifera pada saat intensitas cahaya menurun. Spektrum warna cahaya diduga lebih berperanan pada kemampuan maksimal memangsa dari larva ikan laut.Observation on feeding activity of clown fish (A. ocellaris) larvae have been conducted in 200 L. fiberglass tanks. Zooplankton rotifers were used as initial feed at a rate of 5 ind./mL. After eight days culture, nauplii Artemia were added at rate of 1,700 ind./ tank. Sampling was done on D-1 and D-10 at 10 individuals even sampling at three hours interval. The larvae were measured under a stereoscopic microscope, examining the digestion apparatus to count number of rotifers and nauplii Artemia as well. The result showed that the role of light intensity in feeding: 5 individual rotifer at 70 lux in early morning for D-1 larvae. The highest feeding occurred at 13.00-16.00 in the after noon at 57 individual rotifer when light intensity decreased. Color spectrum of light were predicted having more roles related to the maximum feeding rate  of clown fish larvae.
PERKEMBANGAN AWAL LARVA KERAPU KERTANG (Epinephelus lanceolatus) Philip Teguh Imanto; Made Suastika
Jurnal Riset Akuakultur Vol 2, No 3 (2007): (Desember 2007)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, Badan Riset dan Sumber Daya Manusia Kelautan dan Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (228.56 KB) | DOI: 10.15578/jra.2.3.2007.365-372

Abstract

Observasi pada larva kerapu kertang (E. lanceolatus) dilaksanakan di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut (BBRPBL), Gondol-Bali, untuk mengumpulkan informasi dasar tentang perkembangan awal morfologi larva yang penting untuk menunjang keberhasilan pembenihannya. Larva berasal dari telur hasil pemijahan yang dirangsang dengan hormon (di Taiwan) dan ditransportasikan segera setelah menetas (D-0) melalui transportasi udara ke laboratotium pembenihan BBRPBL, Gondol. Pengamatan dilakukan dengan memanfaatkan fasilitas tangki 500 L dengan sistem air resirkulasi. Dari data yang dihimpun diketahui bahwa rata-rata panjang total larva (D-1) 2,48 mm; D-8 3,17 mm; dan tumbuh dengan cepat mencapai 10,79 mm pada D-19. Kuning telur larva yang berumur sehari (D-1) rata-rata bervolume 150,3 x 10-4 mm3 dan pada hari ketiga terserap 42,61% dan habis pada hari keempat (D-4). Butir minyak larva D-1 sebesar 41,9 x 10-4 mm3 dan masih tersisa sebesar 0,34 x 10-4 mm3 sampai dengan D-6. Mulut larva diperhitungkan sudah mencapai lebar sebesar 200 μm pada D-2. dan mampu untuk memangsa rotifer sejalan dengan pigmentasi mata yang mulai terjadi pada D-2 dan sempurna pada D-3. Dari analisis pertumbuhan terjadi titik belok (flexion point) pada D-8 dan setelah itu terjadi kurva pertumbuhan yang cepat y= 0,6747x-2,5508. Berdasarkan hasil observasi tersebut maka pemberian pakan awal untuk larva kerapu kertang sudah bisa diberikan pada D-2 akhir (sore), pada D-8 komposisi pakan alami sudah harus diubah dengan memberikan pakan yang lebih besar dan bernutrisi tinggi.Observation on early development of E. lanceolatus larvae have been conducted in laboratory condition at Gondol Research Institute for Mariculture (GRIM) Bali; the purpose was to gain basic data mainly on the larval development stage to support both larval rearing and aquaculture technique of this species. The larvae from egg were produced by induced spawning technique and transported on D-0 to GRIM. Observation have been conducted in 500 L tank with recirculation (close system) facilities. Morphological data showed that the total length of larvae on D-1 was 2.48 mm, became 3.17 mm on D-8 and grew faster to reach 10.75 mm on D-19. The volume of yolk on D-1 was 150.3 x 10-4 mm3 and was absorbed 42,61% on D-3 and finished on D-4. Oil globule on D-1 was 41.9 x 10-4 mm3 and still remained 0.34 x 10-4 mm3 on D-6. The mouth width of larval was 200  μm on D-2 and able to catch and feed rotifer in line with eye pigmentation where started from D-2 (in the afternoon) and became completed on D-3 early morning. The flexion point was on D-8 with faster growth with curve at y= 0.6747x–2.5508 afterward. Based on this result, there are some key points, first feeding for king grouper larvae might start on late D-2, and on D-8 larval feed should be changed with bigger size and more nutritious feed.
BEBERAPA TEKNIK TRANSPORTASI IKAN LAUT HIDUP DAN FASILITASNYA PADA PERDAGANGAN IKAN LAUT DI BELITUNG Philip Teguh Imanto
Media Akuakultur Vol 3, No 2 (2008): (Desember 2008)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1212.243 KB) | DOI: 10.15578/ma.3.2.2008.181-188

Abstract

Permintaan produk perikanan laut di masa datang tidak dapat dipenuhi hanya dari hasil penangkapan, sehingga produksi hasil budidaya akan memegang peranan sangat penting pada pemenuhan kebutuhan ikan yang berkualitas, karena dapat disampaikan dalam kondisi hidup. Teknik transportasi ikan laut hidup menjadi faktor utama bagaimana menyampaikan produk budidaya sebaik mungkin. Observasi pada kegiatan transportasi ikan laut hidup dilakukan di wilayah budidaya laut di Belitung bertujuan untuk mengetahui perkembangan teknologi transportasi ikan laut hidup dan faktor-faktor penting dalam penyelenggaraannya. Wawancara dan dokumentasi dilakukan sebagai cara untuk menghimpun data dan informasi. Hasil observasi menunjukkan ada tiga bentuk teknik transportasi ikan laut hidup di wilayah Belitung, yaitu transportasi laut, transportasi darat, dan transportasi udara. Faktor yang berperan pada transportasi ikan laut hidup adalah kualitas media, pemuasaan, pendinginan, pembiusan, oksigenasi, dan kadar garam. Faktor-faktor tersebut berkaitan dengan proses-proses pencernaan, metabolisme hingga konsumsi oksigen. Butir penting dari transportasi ikan laut hidup adalah menurunkan tingkat konsumsi oksigen serendah mungkin, meniadakan pencemaran pada media pengangkut, menstabilkan kondisi oksigen terlarut dan suhu media pengangkut, serta meningkatkan daya angkut.
PERKEMBANGAN AWAL LARVA KAKAP MERAH, Lutjanus sebae Philip Teguh Imanto; Regina Melianawati
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 9, No 1 (2003): (Vol.9 No.1 2003)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (6749.344 KB) | DOI: 10.15578/jppi.9.1.2003.11-19

Abstract

Telaah perkembangan awal larva kakap merah L. sebae dilakukan dalam kondisi laboratorium di Balai Besar Riset Perikanan Budidaya Laut
POLA PENYERAPAN NUTRISI ENDOGEN DAN PERKEMBANGAN MORFOLOGIS PADA STADIA AWAL LARVA IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatusl Philip Teguh Imanto; Regina Melianawati; Bejo Slamet
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 9, No 2 (2003): (Vol, 9 No. 2 2003)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (9456.517 KB) | DOI: 10.15578/jppi.9.2.2003.9-20

Abstract

Penefitian bertujuan untuk mengetahui aktivitas penyerapan nutrisi endogenous dan waktu terjadinya kelengkapan morfologis larva ikan napoleon stadia awal.