Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

Makna Hukum Pada Prinsip Tata Kelola Perspektif Pengadaan Vaksin Dan Pelaksanaan Vaksinasi Covid-19 I Nyoman Prabu Buana Rumiartha
Jurnal Ilmiah Raad Kertha Vol 4, No 1 (2021)
Publisher : Universitas Mahendradatta

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47532/jirk.v4i1.262

Abstract

Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2021 Tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden Nomor 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona COVID-19 (Perpres 14/2021) telah diterbitkan oleh Presiden. Perpres tersebut diterbitkan untuk pengadaan vaksin serta pelaksanaan vaksinasi COVID-19 di Indonesia. Pada ketentuan  Pasal 11 Ayat (1) Dalam hal terjadi keadaan kahar (force majeure) sebagaimana tercantum dalam kontrak atau kerjasama dan/atau kegagalan pemberian persetujuan penggunaan pada masa darurat (emergency use authorization) atau penerbitan Nomor lzin Edar (NIE) Vaksin COVID-19, pelaksanaan kontrak atau kerjasama dalam pengadaan VaksinCOVID-19 dapat dihentikan.Berikutnya pada Pasal 11 Ayat (2) Keadaan kahar (force majeure) sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan suatu keadaan yang terjadi di luar kehendak para pihak dalam kontrak atau kerjasama dan tidak dapat diperkirakan sebelumnya, sehingga kewajiban yang ditentukan dalam kontrak atau kerjasama menjadi tidak dapat dipenuhi meliputi keseluruhan proses pengadaan Vaksin COVID-19 termasuk penyerahan Vaksin COVID- 19.Selanjutnya pada Pasal 11 Ayat (3) Dalam hal pelaksanaan kontrak atau kerjasama sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilanjutkan, para pihak dapat melakukan perubahan kontrak atau kerjasama dengan mengacu prinsip tata kelola yang baik.Khusus pada ketentuan Pasal 11  ayat (3) Perpres 14/2021 pada frasa “prinsip tata kelola’’ dalam hal ini makna hukum pada frasa “prinsip tata kelola’’ tersebut menimbulkan kekaburan norma (vague norm) yang berakibat pada timbulnya ketidakpastian hukum terhadap pengaturan pasal tersebut yang tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan prinsip tata kelola. Bahwa dapat disebut mengandung tafsir suatu norma yang kabur dalam hal ini diperkuat dengan tidak adanya suatu penjelasan yang signifikan dan atau suatu penjelasan yang lugas dan terarah untuk menjelaskan suatu makna “prinsip tata kelola’’.Makna pada frasa “prinsip tata kelola’’ tersebut dapat menimbulkan kekaburan norma (vague norm) yang berakibat pada timbulnya ketidakpastian hukum terhadap pengaturan Pasal 11  ayat (3) Perpres 14/2021, maka diperlukannya suatu revisi terhadap pengaturan Pasal 11  ayat (3) Perpres 14/2021 terkait Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Corona COVID-19.
Politik Hukum Agraria Pada Tanah Ulayat I Nyoman Prabu Buana Rumiartha
Jurnal Aktual Justice Vol 4 No 1 (2019): Aktual Justice
Publisher : Magister Hukum Pascasarjana Univeristas Ngurah Rai

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | DOI: 10.47329/aktualjustice.v4i1.472

Abstract

The responsive character of Law Number 5 of 1960 concerning Basic Regulations on the Principles of Agrarian Law is reflected in the norms contained in Article 5. The politics of agrarian law on customary land also refers to Article 18B paragraph (2) of the 1945 Constitution which emphasizes: "The state recognizes and respect indigenous peoples and their traditional rights as long as they are still alive and in accordance with the development of society and the principles of the Unitary State of the Republic of Indonesia as regulated in law ". The above constitutional guarantees can then be traced in the UUPA, particularly in Article 5 of the UUPA which states that national agrarian law is based on customary law. This means that the legal strength of land rights for customary communities is highly guaranteed in Indonesia's positive law. That the control of ulayat / customary land is not regulated in writing but it is felt in the mind of each member of the customary law community, besides that the customary law community has historically been founded in philosophy before the birth of the Indonesian State.