This Author published in this journals
All Journal ALQALAM
Zakaria Syafe'i
IAIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten

Published : 4 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 4 Documents
Search

PROBLEMATIKA HUKUM HIBAH DAN WAKAF Zakaria Syafe'i
Al Qalam Vol 22 No 1 (2005): January - April 2005
Publisher : Center for Research and Community Service of UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten-Serang City-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (839.41 KB) | DOI: 10.32678/alqalam.v22i1.1442

Abstract

Hibah adalah bentuk pemindahan hak milik kepada orang lain, ketika ia masih hidup tanpa mengharap imbalan, sedangkan wakaf adalah pemindahan hak milik yang dapat dimanfaatkan untuk kepentingan umum. Pada keduanya memiliki nilai positif sebagai bagian dari taqarrub dan ibadah kepada Allah, di sisi lain sebagai wujud dari rasa solidaritas, sikap kepedulian dan tanggungjawab sosial dalam rangka pemberdayaan kesejahteraan masyarakat, pelayanan kesehatan, peningkatan kualitas sumber daya manusia dan eksistensi agama islam. Namun demikian, faktor integritas pribadi yang lemah, kekosongan spiritual dan nafsu keserakahan manusia, tidak jarang terjadi pemberian hibah atau wakaf menjadi problem, karena ada di antara manusia yang menarik kembali hibah atau wakafnya baik dilakukan oleh yang menghibahkan atau yang mewakafkan atau oleh pihak keluarganya. Dalam kasus hibah, tidak dibenarkan harta yang telah dihibahkan ditarik kembali, kecuali hibah dari orang tua kepada anak-anaknya. Sebab akan menjadi sumber konflik dalam keluarga, bila hibah tersebut diberikan tanpa mencerminkan adanya rasa keadilan. Oleh karena itu, hibah tersebut bisa ditarik kembali atau sama sekali dibatalkan. Untuk mencapai rasa keadilan di antara anak-anak itu, hibah harus diberikan secara merata dan tidak ada unsur membeda­bedakan atau dilakukan secara proporsional, di mana anak yang sudah diberi fasilitas lebih oleh orang tuanya tidak diberikan bagian yang sepadan dengan anak yang belum pernah mendapatkan fasilitas apa pun, sehingga ia diberikan harta yang berlebih dari lainnya. Adapun persoalan harta yang diwakafkan, maka bagi yang mewakafkan dengan dalih apa pun tidak bisa untuk menarik kembali wakafnya baik dilakukan oleh waqif maupun keluarganya. Alasan yang membolehkan menarik kembali harta wakaf itu landasan hukumnya lemah dan tidak patut dijadikan dasar hukum. Ketentuan harta wakaf harus benda tidak bergerak lantaran manfaatnya abadi dan terus menerus, maka untuk zaman modern sekarang ini perlu dipertimbangkan bahwa apapun benda yang diwakafkan itu dapat diterima dan yang terpenting benda tersebut dapat dimanfaatkan dan hasilnya berguna bagi kepentingan umum. Adapun menjual atau menukar benda harta wakaf itu, meski secara yuridis tidak diperkenankan, maka hukum itu dapat berubah menjadi boleh sepanjang kemaslahatan mengehendaki demikian, asalkan penggantian dan penukarannya tidak menghilangkan substansi dari manfaat yang akan diperoleh dari wakaf tersebut. Kata Kunci: Hibah, Wakal, Hukum Islam.
DIALEKTIKA HUKUM ISLAM DI INDONESIA Zakaria Syafe'i
Al Qalam Vol 25 No 1 (2008): January - April 2008
Publisher : Center for Research and Community Service of UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten-Serang City-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1074.726 KB) | DOI: 10.32678/alqalam.v25i1.1673

Abstract

Dalam sejarah pembentukan hukum Islam di Indonesia, UU pertama yang diberlakukan adalah UU No. 22 tahun 1946 tentang perkawinan dan Perceraian. UU ini hanya berlaku untuk wilayah pulau, Jawa,yang kemudian setelah Indonesia merdeka diperluas wilayah berlakunya untuk seluruh Indonesia dengan UU No. 32 tahun 1954, Undang-undang tentang Pencatatan Nikah, Thalaq dan rujuk.Transformasi hukum Islam di Indoseia terus bergulir dari sejak Republik ini berdiri. bukan saja hanya pada bidang hukum keluarga tetapi merambah ke berbagai hukum lainnya, seperti PP No. 70 dan 72 tahun 1992 yang menjelaskan Bank bagi hasil dan UU No. 7 tahun 1992 sebagai Bank berdasarkan syari'at. UU No. 10 tahun 1998 tentang Perbankan yang melegitimasi perbankan syari'at, UU No. 17 tahun 1999 tentang penyelenggaraan Ibadah Haji. UU No.23 tahun 1999 tentang BI yang memberi mandat pembentukan Bank atau Cabang Bank Syari'ah Pemerintah. UU No. 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat. Terakhir sekali UU No.44 tahun 1999 tentang pelaksanaan keistimewaan Propinsi Istimewa Aceh yang juga menyangkut tentang pelaksanaan syari'at Islam.Hukum Islam yang semakin mendapat perhatian untuk menjadi bagian dari sistem hukum nasional tersebut, ternyata sebagai bentuk dari akomodasi negara terhadap Islam. Meski ada pihak yang mengkhawatirkan dengan bentuk akomodasi negara terhadap Islam ini, justru memberikan angin segar dan peluang bagi hukum Islam untuk menjadi bagian dari sistem hukum nasionaLKata Kunci: hukum Islam di Indonesia, sistem hukum nasional, transformasi hukum islam
KONTROVERSI HUKUM PERKAWINAN BERBEDA AGAMA Zakaria Syafe'i
Al Qalam Vol 24 No 1 (2007): January - April 2007
Publisher : Center for Research and Community Service of UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten-Serang City-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1247.354 KB) | DOI: 10.32678/alqalam.v24i1.1659

Abstract

Perkawinan berbeda agama adalah perkawinan antara orang yang berlainan agama, seperti perkawinan orang Islam (pria/wanita) dengan orang bukan Islam (pria/wanita), baik kafir musyrik maupun Ahli Kitab (Yahudi dan Nasrani). Bagi Negara Indonesia, perkawinan itu telah diatur dalam UU No.1 / 1974, dan Kompilasi Hukum Islam, bahkan telah difatwakan oleh MUI, bahwa “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang perempuan yang tidak beragama Islam”.Sebagian kecil umat Islam Indonesia membolehkan perkawinan berbeda agama, sehingga mengundang kontroversi dengan umat Islam umumnya yang berpendirian bahwa perkawinan berbeda agama itu haram. Alasan mereka adalah Q.S. Al Baqarah: 221. Kata al-musyrikat pada ayat tersebut dipahami sebagai kafir musyrik dari Bangsa Arab, tidak termasuk untuk musyrik non Arab. Karena itu, penganut agama Hindu, Budha, Majusi, Shobiun dan lainnya dibolehkan untuk dinikahi. Sedangkan Q.S. AI-Maidah: 5, secara mutlak membolehkan dilakukannya perkawinan dengan Ahli Kitab baik kitabiyah harbiyah atau dzimmiyah. Proses istinbath hukumnya, mereka menggunakan pendekatan analisis teks dan historis. Tujuannya dalam rangka mewujudkan semangat misi Islam itu sendiri yang harus mencerminkan pluralitas, kasih sayang antar umat beragama, toleransi dan pembebasan.Perkawinan berbeda agama menurut kebanyakan ulama tidak dibolehkan kecuali mengawini wanita Ahli kitab dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhi agar tidak merugikan Islam. Adapun metode istinbath hukum menggunakan pendekatan analisis teks, historis, sosiologis, dan kajian illat hukum. Hasilnya dapat disimpulkan bahwa perkawinan beda agama itu hukumnya haram, li syadz al-dzari'ah (menyumbat sesuatu yang akan menjadi jalan menuju kerusakan). Perkawinan berbeda agama ini akan lebih banyak menimbulkan mafsadat dan mudarat, lebih-lebih dalam kondisi sosial, politik dan ekonomi seperti di Indonesia. Karena itu perlu optimalisasi pelaksanaan UU No.1 / 1974 dan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.
KONTEKSTUALISASI HUKUM ISLAM TENTANG KONVERSI AGAMA (RIDDAH) DI INDONESIA Zakaria Syafe'i
Al Qalam Vol 27 No 2 (2010): May - August 2010
Publisher : Center for Research and Community Service of UIN Sultan Maulana Hasanuddin Banten-Serang City-Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1226.436 KB) | DOI: 10.32678/alqalam.v27i2.1096

Abstract

Kontekstualisasi Hukum Islam tentang Konversi Agama (Riddah) di Indonesia