Claim Missing Document
Check
Articles

Found 2 Documents
Search

PERAN PEMERINTAH DAERAH TERHADAP PERLINDUNGAN HUTAN ADAT PASCA PUTUSAN MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 35/PUU-X/2012 Daisyta Mega Sari; Akhyaroni Fu'adah
Jurnal Penelitian Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Vol 1, No 1 (2014)
Publisher : Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (350.759 KB)

Abstract

AbstractThe rights of indigenous people have been guaranteed in Article 18(B) paragraph (2) of our constitution, however there are  actions that have potentially decrease such right, e.g. the Act of Forestry, which categorizes Community Forest under State Forest.  This leads to conflicts between these forests. Subsequently, Constitutional Court issued the Decision of Constitutional Court 35/PUU-X/2012, which distinguishes Community Forest and State Forest. Nonetheless, this decision did not give significant  progress to the matter, as it is interpreted as conditionally constitutional. Moreover, in accordance to the Basic Agrarian Law and the Constitution, the Community Forest shall be distinct, in order to recognize the indigenous people’s rights, however this  is not properly upheld by the Local Government. There are little number of local regulations that recognizes existence of such  right, therefore cooperation between indigenous people and the Local Government shall be made until the existence of such  rights are recognized, and prosperity may be reached. IntisariHak-hak masyarakat adat telah terjamin dalam Pasal 18(B) ayat (2) dalam UUD NRI 1945. Tetapi, masih ada tindakan yang dapat mengurangi hak tersebut, e.g. Undang-Undang Kehutanan, yang mengkategorisasikan Hutan Adat dibawah Hutan Negara. Hal ini menimbulkan konflik diantara kedua hutan tersebut. Atas hal ini Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusan 35/PUU-X/2012 yang membedakan Hutan Adat dengan Hutan Negara. Namun, putusan ini tidak memberi kemajuan secara signifikan, dikarenakan putusan tersebut dianggap konstitusional bersyarat. Selain itu, sesuai dengan UUPA dan UUD, Hutan Adat harus dibedakan untuk menjamin hak-hak masyarakat adat, akan tetapi hal ini tidak diimplementasikan dengan baik oleh Pemerintah Daerah. Masih sedikit peraturan daerah yang mengakui adanya hak-hak tersebut. Kerjasama antara masyarakat adat dan Pemerintah Daerah sangat dibutuhkan hingga tercapainya pengakuan hak-hak tersebut, dan kesejahteraan untuk masyarakat adat.
PENGELOLAAN ARSIP KELEMBAGAAN PANWAS KABUPATEN MANGGARAI DALAM MENDUKUNG PELAKSANAAN FUNGSI DEMOKRASI: Array Dian Agung Wicaksono; Daisyta Mega Sari
Jurnal Kearsipan Vol 11 No 1 (2016): -
Publisher : Arsip Nasional Republik Indonesia

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar

Abstract

Pemerintah menetapkan Kabupaten Manggarai sebagai satu dari 205 daerah yang masuk dalam tahapan pertama menuju penyelenggaraan Pilkada serentak pada tahun 2020 mendatang. Penyelenggaraan Pilkada tersebut dilaksanakan pada tahun 2015. Panwas selaku organ yang menjalankan fungsi pengawasan di Kabupaten Manggarai sayangnya belum optimal karena pengaruh beberapa faktor, seperti kompleksitas Pilkada, tingginya potensi sengketa/konflik, keterlambatan pelantikan komisioner Panwas, serta diperparah dengan kurangnya manajemen internal kelembagaan itu sendiri. Lebih lanjut, realisasi fungsi pengawasan ini masih sebatas pada konteks represif, sementara pada konteks preventif masih belum terlaksana dengan baik. Hal ini tak lain karena tidak adanya arsip kerja kelembagaan Panwas terdahulu yang sebenarnya dapat dijadikan sebagai modal perbaikan kerja lembaga ke depan, serta dapat ditindaklanjuti dengan analisis pemetaansengketa/konflik Pilkada di Kabupaten Manggarai.