Agustinus Anung Widodo
Pusat Penelitian Pengelolaan Perikanan dan Konservasi Sumber Daya Ikan, Ancol-Jakarta

Published : 3 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 3 Documents
Search

SELEKTIVITAS JARING LIONGBUN TERHADAP BEBERAPA JENIS IKAN PARI DI LAUT JAWA Agustinus Anung Widodo; Mahiswara Mahiswara; Ralph Thomas Mahulette
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 16, No 4 (2010): (Desember 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (341.195 KB) | DOI: 10.15578/jppi.16.4.2010.259-266

Abstract

Jaring liongbun telah berkembang untuk menangkap sumber daya ikan pari di Laut Jawa. Jaring liongbun merupakan jaring insang dasar dengan ukuran mata 50 inci. Walaupun telah lama berkembang, namun data dan informasi keragaan teknisnya belum banyak tersedia. Sementara itu data dan informasi tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka mendukung pengelolaan sumber daya ikan pari yang berkelanjutan. Oleh karena itu Balai Riset Perikanan Laut telah melakukan penelitian selektivitas jaring liongbun terhadap beberapa jenis ikan pari di Laut Jawa. Metode penelitian adalah dengan melakukan pengambilan contoh secara acak (random sampling) di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan, Cirebon, Jawa Barat pada bulan April, Agustus, dan Desember 2007. Data yang dicatat adalah jenis (spesies) dan ukuran lebar cawan ikan pari yang tertangkap jaring liongbun dan didaratkan di Pelabuhan Perikanan Nusantara Kejawanan. Data dianalisis secara deskriptif dan hasil analisis disajikan secara naratif, tabel, dan grafik. Ukuran ikan yang pertama kali tertangkap atau width of first captured merupakan 50% dari kumulatif persentase ikan yang tertangkap dari alat tangkap, ditulis sebagai W50%, sehingga Wc=W50%. Ukuran ikan pari yang pertama kali dewasa atau width of first matured merupakan rata-rata ukuran contoh ikan pari yang pertama kali dewasa yang ditemukan di lapangan. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jaring liongbung bersifat selektif terhadap ikan pari jika Wc>Wm. Hasil penelitian ini menunjukan bahwa jaring liongbun dengan mata jaring berukuran 20 inci merupakan alat tangkap yang bersifat selektif bagi ikan pari jenis Himantura gerrardi, Himantura bleekeri, Aetoplatea zonura, dan Himantura jenkinsii.  Liongbun net has developed as gear for catching rays fish resource in Java Sea. Liongbun net is bottom gillnet with mesh size 20 inch. Although liongbun net has developed but data and information related to the liongbun net especially its technical performance is very lack. In other hand the data and information is needed on the rays fish resource management measure. In order to obtain data and information of selectiveness of liongbun net for some rays fish resource, Research Institute for Marine Fisheries has carried out a research on year of 2007. Research was conducted through random sampling in Kejawanan Fishing Port, Cirebon. The data covered species and disc width of rays caught by liongbun net in Java Sea. Width of first captured is 50% of cumulative frequency on selectiveness curve of liongbun net.Width of first matured is average of data width of first matured of rays those found in the field. Liongbun net is selective to the rays when Wc>Wm. Result of the research showed that liongbun net mesh size 20 inch was selective to rays in Java Sea.
BEBERAPA JENIS HASIL TANGKAP SAMPINGAN (BYCATCH) KAPAL RAWAI TUNA DI SAMUDERA HINDIA YANG BERBASIS DI CILACAP Budi Iskandar Prisantoso; Agustinus Anung Widodo; Mahiswara Mahiswara; Lilis Sadiyah
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 16, No 3 (2010): (September 2010)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (165.238 KB) | DOI: 10.15578/jppi.16.3.2010.185-194

Abstract

Ikan-ikan tuna di Samudra Hindia dieksploitasi menggunakan rawai tuna oleh Jepang sejak tahun 1952, kemudian menyusul Korea dan Taiwan pada tahun 1964. Rawai tuna di Indonesia mulai digunakan sejak tahun 1973, sejak didirikannya PT. Perikanan Samodera Besar, yang berbasis di Benoa, Bali. Kemudian alat tangkap ini berkembang dengan pesat sejak tahun 1990-an, di mana pada tahun 2001 mencapai 618 kapal kemudian meningkat menjadi 705 kapal pada tahun 2002 serta 746 kapal pada tahun 2010. Target dari rawai tuna di Samudra Hindia adalah ikan madidihang atau tuna mata besar (Thunnus obesus). Walaupun demikian, banyak jenis-jenis ikan lain yang ikut tertangkap sebagai hasil tangkap sampingan. Ikan tuna sirip biru selatan tertangkap dianggap sebagai byproduct karena nilai ekonominya yang sangat tinggi, sedangkan ikan paruh panjang, cucut, ikan teleost lainnya, penyu, dan burung laut sebagai bycatch. Ikan cucut tertangkap sebagai bycatch hanya 10 spesies dari 61 spesies yang diketahui di Samudra Hindia. Jenis ikan teleost lain tertangkap tujuh jenis. Jenis-jenis penyu yang tertangkap adalah penyu hijau (Chelonia mydas) dalam trip pertama tiga ekor dan trip ketiga satu ekor, dan penyu sisik (Eretmochelys imbricata) trip kedua dua ekor dan trip ketiga dua ekor. Burung laut hanya tertangkap dua ekor pada trip ketiga (bulan Oktober 2004) dengan rata-rata laju tangkap 0,20 ekor burung laut per 1.000 pancing. Tuna species in the Indian Ocean have been exploited since 1952 by Japanese tuna longliners and followed by Taiwanese and Korean longliners in 1964. Indonesian company started to use this gear since 1973 when the government established PT. Perikanan Samodera Besar based in Benoa, Bali. In 1990s, this gear employed rapidly, where in 2001 the number of the boats was 618 boats, in 2002 increased up to 705 boats and became 746 boats in 2010. The main target of longline in Indian Ocean is yellowfin and bigeye tunas, however, many other species were caught as bycatch. Southern bluefin tuna was also caught but deemed as byproduct, whilst billfishes, sharks, rays, and other teleosts, turtle, and seabirds as bycatch. There were 61 shark species known from Indian Ocean, but only 10 species were caught. There were 7 species of other teleosts caught. The sea turtle caught were green sea turtle (Chelonia mydas), three in the first trip and one in the third trip. The other species caught was hawksbill sea turtle (Eretmochelys imbricate), two in the second trip and two in the third trip. There was only two seabirds caught during the third trip (October 2004), it meant that the possibility of bird caught was 0.20 at 1,000 hooks.
HASIL TANGKAP SAMPINGAN (HTS) PADA PERIKANAN RAWAI TUNA DI SAMUDERA PASIFIK Agustinus Anung Widodo; Budi Iskandar Prisantoso; R Thomas Mahulette
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 17, No 4 (2011): (Desember 2011)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (1839.843 KB) | DOI: 10.15578/jppi.17.4.2011.265-276

Abstract

Masalah umum yang dihadapi dalam operasi penangkapan ikan terhadap sumberdaya yang sifatnya multi spesies dan multi-cohort di daerah tropis adalah diperolehnya hasil tangkapan bukan spesies target yang biasa disebut hasil tangkap samping (HTS) atau by-catch. Saat ini informasi mengenai HTS pada perikanan rawai tuna di Indonesia yang beroperasi di Samudera Pasifik masih terbatas. Disisi lain informasi tersebut sangat dibutuhkan dalam rangka pelaksanaan pengelelolaan sumberdaya tuna yang memadai. Penelitian yang bertujuan untuk mendapatkan infomasi tentang HTS pada perikanan rawai tuna di Samudera Pasifik dilakukan di Bitung bulan Mei sampai Juli 2010. Penelitian dilakukan dengan dua cara yaitu melalui pengambilan contoh di pusat pendaratan armada rawai tuna (port sampling) dan observer di kapal rawai tuna (onboard observer). Port sampling dilakukan setiap hari pada minngu keempat selama bulan Mei sampai Oktober 2010. Onboard observer dilakukan sebanyak dua trip operasi penangkapan rawai tuna. Data yang dikumpulkan meliputi aspek operasional rawai tuna, jeni ikan HTS dan ukuran panjang cagak ikan HTS. Hasil riset menunjukkan bahwa rata-rata laju pancing HTS selama Mei sampai Oktober 2010 adalah 19,6 kg/100 mata pancing per tawur. Sebanyak 16 spesies HTS rawai tuna dapat diidentifikasi yang didominasi oleh ikan setuhuk hitam atau black marlin (Makaira indica). Ukuran low jaw fork length (LJFL) ikan ikan setuhuk hitam dan ikan meka secara berturut-turut adalah 97-198 cm (modus 141-160 cm), 94-241 cm (modus 161-180 cm) dan ukuran fork length ikan tikusan adalah 96-190 cm (modus 121-140 cm). The common fishing operation problematic in tropical waters which characterized by multispecies and multi-cohort resource is the numbers of bycatch exploited. Currently, the information of bycatch in the longline fishery especially operated in the Pacific Ocean is limited. On the other hand, this information is necessary for the implementation tuna fisheries management framework. The objective of this research is to collate the information of Pacific tuna longline bycatch landed in Bitung during the period of May until July 2010. Research conducted in two ways i.e. through port sampling at the central landing of tuna longline and observer onboard. Port sampling was conducted in the forth week during May until October 2010, whilst observer onboard was conducted in two trips within that period. Data collected consists of operational aspects of tuna longliners, species composition of bycatch and its fork length. Results of this research showed that the average of hook rate during the period of May October 2010 was 19.10 kg/100 hooks per set. Sixteen species of tuna longline bycatch have been identified and showed that black marlin (Makaira indica) was predominant. Size of Low Jaw Fork Length (LJFL) of blackmarlin, swordfish and thresher shark were 97-198 cm (mode 141-160 cm), 94-241 cm (mode 161-180 cm) and 96- 190 cm (121-140 cm) respectively.