Isa Nagib Edrus
Balai Penelitian Perikanan Laut, Jakarta

Published : 5 Documents Claim Missing Document
Claim Missing Document
Check
Articles

Found 5 Documents
Search

STATUS POPULASI IKAN NAPOLEON DI WILAYAH TAMAN NASIONAL BUNAKEN DAN KABUPATEN KARAS FAK-FAK Isa Nagib Edrus; Sasanti R Suharti; Yvonne Sadovy
Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol 20, No 2 (2014): (Juni 2014)
Publisher : Pusat Riset Perikanan, BRSDM KP.

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (130.613 KB) | DOI: 10.15578/jppi.20.2.2014.113-119

Abstract

Penelitian ikan napoleon di perairan Bunaken pada Oktober 2012 dan Kabupaten Karas pada Nopember 2010 bertujuan untuk mengetahui status populasi ikan tersebut di bawah usaha perlindungan otoritas Taman Nasional Bunaken dan pasca penutupan penangkapannya di Karas.  Metode Underwater Visual Census digunakan untuk mendapatkan data jumlah individu dan ukuran tubuh ikan napoleon.  Hasil penelitian menunjukkan bahwa rata-rata kepadatan ikan napoleon dari luas wilayah sensus 19,26 hektar di Bunaken adalah 1,71 individu per hektar dan dari luas sensus 44,61 hektar di perairan Karas adalah 1,41 individu per hektar. Distribusi panjang frekuensi populasi ikan ini di kedua wilayah tersebut menunjukkan adanya dua kelompok umur, dimana interval ukuran panjang adalah antara 15 cm sampai 100 cm.  Perkembangan populasi ikan tersebut di Bunaken selama 7 tahun menunjukkan peningkatan sebesar 427,5%, sedang di Karas selama kurun waktu 5 tahun sebesar 298%. Namun pertumbuhan populasi sebesar ini ternyata belum masuk pada kategori status kelimpahan yang membaik. Jadi perlindungan ikan ini disarankan untuk lebih diperketat dengan cara melakukan moratorium. Study on humphead wrasse fish in Bunaken and Karas district waters recpectively in October 2012 and November 2010 were aimed to determine population status of the fish under protecting regulations of the Bunaken National Park Authority and fishing closed session in Karas.  A method used to get population sizes and body sizes was the Napoleon Underwater Visual Census. The results showed that an average of fish density was 1,71 individual/ha of 19.26 ha in area census at Bunaken and it was 1,41 individual/ha of 44.61ha in area census of Karas waters. Distribution frequencies of the fish population were under two cohorts  with body size interval ranged from 15cm to 100 cm. Population trend during seven  years in Bunaken have increased in 427.5 % and those during five years in Karas have increase in 298%; however, such population growing has not be categorized yet as a good level of abundance status. Thus, the study suggested to strictly protect the humphead warsse by using a moratorium approach. 
ARAH KEBIJAKAN PENGEMBANGAN PERIKANAN TANGKAP DI SEKITAR TELUK SALEH, NUSA TENGGARA BARAT Isa Nagib Edrus; Suprapto Suprapto
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 5, No 1 (2013): (Mei 2013)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (2728.859 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.5.1.2013.25-38

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk memberikan arah pengembangan perikanan tangkap di Teluk Saleh. Pendekatan yang digunakan adalah analisis agroekosistem yang memformulasikan data dan informasi yang tersedia ke dalam bentuk ruang, waktu, alur, dan kebijakan yang mempengaruhi sifatsifat (properties) dari sistem perikanan yang ada, antara lain produktivitas, stabilitas, sustainabilitas, dan equitabilitas, sehingga terbentuk hipotesis kerja pengembangan perikanan Teluk Saleh. Hasil analisi menunjukkan bahwa adanya beberapa faktor penting sebagai pendukung dan penghambat terhadap empat sifat agroekosistem tersebut. Pertanyaan kunci yang muncul adalah bagaimanamemberdayakan faktor-faktor pendukung dan memperkecil faktor faktor negatif yang menjadi penghambat, di mana dengannya proses produksi tidak menjadi eksternalitas antar usaha perikanan, dan teknologi tepat guna apa untuk pengembangannya. Untuk itu, diformulasikan 10 hipotesis kerja dalam rangka pengembangan usaha perikanan tangkap di Teluk Saleh.This paper aimed to provide a development direction for fisheries in the Saleh Bay. The approach used was an agro-ecosystem analysis by which the data and information given were formulated interesting in spaces, times, flow chart, and decision and those will influence the properties of existing fishery system, such as productivity, stability, sustainability, and equitability, from which working hypotheses will be created to improve the Saleh Bay fishing development The results showed that there were some crucial factors supporting and weakening toward the agro-ecosystem properties. A key question determined was how to empower the supporting factors and minimize the weakeningfactors of the properties fromwhich production processes will not be externality among fishery activities, and what kinds of the proper technologies to develop them. Hence, it’s formulated ten working hypotheses in terms of fishing development activities in Saleh Bay.
PENILAIAN KEPADATAN POPULASI IKAN NAPOLEON (Cheilinus undulatus Ruppell 1835) DALAM KAITANNYA DENGAN KEPENTINGAN PENGELOLAAN DI INDONESIA Isa Nagib Edrus
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 4, No 2 (2012): (November 2012)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (52.435 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.4.2.2012.79-84

Abstract

Penerapan regulasi pengelolaan ikan Napoleon memerlukan informasi lain seperti kriteria kepadatan populasi. Tulisan ini adalah sisntesa atas kriteria tersebut yang bermanfaat untuk menilai tingkat status populasi ikan ini di alam, sehingga dapat dijadikan pedoman dalam pengelolaannya. Hasil sintesa menunjukkan bahwa kriteria kepadatan dapat dibagi menjadi 5 kategori, yaitu 1). Status dalam kategori sangat kritis, dimana populasi dengan kepadatan sangat rendah (0–2 ekor/ha); 2). Status dalam kategori masih rentan dan mulai membaik, dimana populasi dengan kepadatan rendah (2,1 - 4 ekor/ha); 3). Status dalam kategori membaik, dimana populasi dengan kepadatan sedang 4,1- 6 ekor/ha; 4). Status dalam kategori mendekati normal, dimana populasi dengan kepadatan tinggi (6,1 –8 ekor/ha); dan 5). Status dalam kategori normal, dimana populasi dengan kepadatan sangat tinggi (8,1 – 10 ekor/ha).Aplication of the management regulation for Humphead Wrasse fish depend on further information like population density criteria. This paper is a synthesis on the criteria being usefull to value some levels of the fish natural states in order to be a guidance for monitoring, fishing and conserving. The results show that density criteria may divide into five categories, such as 1. The population may be under at risk with lowest level of density (from 0 to 2 individual per hectar); 2. The population may be still in danger but in earliest renewal with low level of density (from 2,1 to 4 individual per hectar); 3. The population may be under recovery with moderate level of density (from 4,1 to 6 individual per hectar); 4. The population may be under primary habitual with high level of density (from 6,1 to 8 individual per hectar); and 5. The population may be under normal condition with high level of density (from 8,1 to 10 individual per hectar).
ANALISIS PENGEMBANGAN KAWASAN MINAPOLITAN KOTA BENGKULU Isa Nagib Edrus
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 7, No 2 (2015): (November 2015)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (505.588 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.7.2.2015.79-92

Abstract

Tulisan ini bertujuan untuk menyusun arahan pengembangan kawasan minapolitan berbasis kegiatan budidaya perikanan Kota Bengkulu. Pendekatan dalam menilai kawasan tersebut menggunakan analisis agroekosistem. Hasil analisis menunjukan bahwa prioritas pengembangan kawasan minapolitan secara berurut adalah: (1) pengembangan infrastruktur, sarana dan prasarana; (2) pengembangan kawasan terpadu budidaya lele dan kelembagaan; (3), restrukturisasi sistem pembinaan dan pelayanan di kawasan minapolitan, dan (4), pengembangan kawasan terpadu budidaya bandeng. Prioritas komoditas yang layak dikembangkan berturut-turut adalah (1) budidaya lele; (2) budidaya nila; (3) budidaya gurami; dan (4) budidaya bandeng. Pengembangan budidaya lele di wilayah kota dan budidaya bandeng di wilayah pesisir merupakan opsi yang terbaik. This paper has aimed to making some guidelines for the minapolitan area development based on fishpond culture activities in Bengkulu City. An approach used to value the areas was Agroecosystem analysis. Outputs of analysis showed that the development priorities for a minapolitan area respctively are (1) Infrastructure and facility development; (2) integrated areal development for catfish pondculture and institution establisment; (3) education and service systems in a minapolitan area; and (4) integrated areal development for milkfish-pondcultures. Pondculture priorities of commodities feasible developed respectivelly are (1) catfish; (2) nila; (3) gurami, and (4) milkfish.
KEBIJAKAN PENGOPERASIAN BUBU DENGAN ALAT BANTU TERUMBU KARANG BUATAN DAN RUMPON DI WILAYAH REHABILITASI PERAIRAN KEPULAUAN SERIBU Isa Nagib Edrus
Jurnal Kebijakan Perikanan Indonesia Vol 6, No 1 (2014): (Mei 2014)
Publisher : Pusat Riset Perikanan

Show Abstract | Download Original | Original Source | Check in Google Scholar | Full PDF (217.335 KB) | DOI: 10.15578/jkpi.6.1.2014.11-22

Abstract

Ujicoba bubu bersama terumbu karang buatan dan rumpon di wilayah rehabilitasi perairan Pulau Pari dan Pramuka adalah untuk menentukan kesesuaian paket teknologi alat tangkap dan alat bantu dalam usaha perikanan yang layak dari sisi teknis, sosial dan ekonomi. Tulisan ini merupakan sintesa kebijakan pola pemanfaatan bubu dengan dua alat bantu pengumpul ikan. Pendekatan yang digunakan adalah analisis kebijakan dengan memformulasikan semua informasi yang relevan dan hasil penelitian terkait. Hasil analisis menunjukkan bahwa penggunaan bubu dalam perikanan multi alat tangkap dengan pemanfaatan alat bantu penangkapan tergolong efektif secara teknis, sosial dan ekonomis. CPUE bubu dari 4 hari perendaman/trip adalah ratarata 1,1 kg/unit/trip untuk nelayan Pulau Pari yang mengoperasikan bubu di dekat terumbu buatan dan 2,4 kg/unit/trip untuk nelayan Pulau Pulau Pramuka yang menaruh bubu di bawah rumpon. Perikanan bubu tergolong layak ekonomi jika terintegrasi dengan perikanan multi alat tangkap. Nilai tambah pendapatan dari penggunaan bubu berkisar pada Rp. 196.000–Rp. 400.000 per trip. Perikanan bubu memiliki prospek yang baik untuk dikembangkan dalam skala besar melalui diversifikasi usaha perikanan di wilayah perairan yang direhabilitasi dan aplikasinya dapat diterima nelayan. Alat bantu rumpon memberikan pengaruh lebih besar pada hasil tangkap bubu dibanding hanya penggunaan karang buatan. The pot application by using artificial reefs and payaos as rehabilited fishing grounds in the waters of Pari and Pramuka Islands was to determine technological, social and economical feasible fisheries used pots and the both of fish aggregation divices (FAD). This paper is policy making of pot utility design using two kinds of the FAD. Policy analysis is an approach used to formulate any relevant information and related study results. The analysis showed that pot applications in multi gears fisheries using FAD were effective by technical, social and economical senses. Cacth Per Unit of Effort (CPUE) average of pots set 4 days per trip in the adjacent area of artificial reefs by the Pari island fisherfolks was 1.1 kg/unit/trip and those were operated under payaos by Pramuka Island fisherfolks was 2.4 kg/unit/trip. Pot fishery was feasible economic if it’s fishing had been integrated with multi gear fishery. Added values of the pot fishing income ranged from Rp. 196,000 to Rp. 400,000 per fishing trip. Pot fishery was propective to be intensively developed throught diversity fisheries in rehabilited water regions and it’s application get fisherfolk positive responses.