Kami bukan lagiBunga pajanganYang layu dalam jambanganCantik dalam menurutIndah dalam menyerahMolek tidak menentangKe neraka mesti ngikutKe sorga hanya menumpang(Kutipan puisi Sugiarti Siswadi dengan nama samaran Damaira, 1956). Saya ingin memulai pembahasan kali ini dengan satu pertanyaan utama, yang barangkali terkesan teramat besar: apakah yang telah ditawarkan dan dihadirkan oleh perempuan penulis kepada kesusastraan Indonesia?Kemungkinan jawabannya bisa beragam, mulai dari estetika kekaryaan yang menyajikan tema serta kesegaran penggunaan bahasa, jangkauannya yang memperkaya ragam pengucapan, usahanya mendobrak tabu maupun mendekonstruksi nilai norma pada umumnya, serta sebagainya. Kita tentu pula membutuhkan serangkaian penelitian sastra yang komprehensif demi menguraikan pertanyaan ini, termasuk pembacaan-pembacaan mendalam atas kekaryaan mereka, sebab kita menyadari betapa kayanya spektrum penciptaan para penulis ini yang sejalan dengan niatan mereka merespons kenyataan pada zamannya. Kita mengenal beberapa nama perempuan penulis, semisal Nh. Dini, Toety Heraty, Djenar Maesa Ayu, Okky Madasari, Intan Paramaditha, Ratih Kumala, serta nama-nama lain yang bertumbuh sampai kini di berbagai kawasan negeri ini. Demikian pula, terdapat penulis lain dari masa lalu yang terpinggirkan, sekaligus terkuburkan, dikarenakan alasan-alasan yang sebagian besar amat politis, di antaranya Rukiah Kertapati, Sugiarti Siswadi, Suwarsih Djojopuspito, dan seterusnya—dan mereka seluruhnya, baik yang kita kenali ataupun tidak banyak kita ketahui, mencoba mengetengahkan narasi-narasi bandingan atas aneka rupa realitas, baik yang mereka temui maupun tersuratkan dalam karya-karya penulis lainnya.Melalui tulisan ini saya juga ingin mengajak Anda untuk melihat bahwa kekaryaan para perempuan sejatinya sebentuk upaya mereka dalam meretas sekat dan pembatasan yang selama ini lekat dengan sosoknya, baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari komunitas sosial dan budaya tertentu. Barangkali, di samping jawaban-jawaban di atas, apa yang fundamental dihadirkan para perempuan penulis ini tidak lain ialah sebuah proses negoisasi atau bahkan ‘tantangan’ terhadap segala sistem berpikir serta sistem sosial masyarakat kita.